Tuesday, September 17, 2013

WILAYAH AL-FAQIH




oleh: Candiki Repantu
MAKNA WILAYAH Al-FAQIH[1]
 
Wilayah dalam bahasa Arab berarti kedaulatan, kekuasaan, perwalian dan pengawasan.[2] Dalam terminologi syiah, kata ini menjadi istilah kunci perumusan politik Islam, yang mengindikasikan kepemimpinan universal. Adapun faqih, secara etimologis, dari bahasa Arab yang bermakna “seseorang yang baik pemahamannya”. Berbeda dengan fahim, arif, atau alim dan kata serupa lainnya, —yang sifat katanya, cenderung menyatakan pengalaman, ciri khas, dan selamanya tidak lepas dari sebuah kualitas—maka faqih telah menjadi term khusus yang berkaitan dengan ilmu yurisprudensi Islam (fikih), artinya, seorang faqih adalah seorang yang ahli dalam ilmu fikih, mirip dengan hakim yang berarti seorang yang ahli hukum dan tabib yang berarti ahli dalam pengobatan.

Oleh karena itu pada kajian ini, kata faqih tidaklah sembarang pengetahuan yang diperoleh seseorang atau ahli pada umumnya, tetapi tertuju pada kelompok ahli yang khusus, yang mengambil spesialisasi dalam ilmu fikih. Jadi faqih adalah seorang mujtahid yang berhak mengeluarkan hukum Islam dan mengeluarkan fatwa yang berhubungan dengan peraturan-peraturan Islam yang sah dari sumber-sumber yang asli.[3]

Dengan demikian wilayatul faqih secara sederhana berarti sebuah sistem pemerintahan yang kepemimpinannya di bawah kekuasaan seorang faqih yang adil dan berkompeten dalam urusan agama dan dunia atas seluruh kaum muslimin di ‘Negeri Islam’ yang bersumber dari kekuasaan dan kedaulatan absolut Allah atas umat manusia dan alam semesta. Dalam bentuk aplikatifnya di Iran pemimpin tertinggi wilayatul faqih ini disebut juga dengan rahbar dan wali al-amr.

Konsepsi wilayah faqih ini, seperti dijelaskan sebelumnya, merupakan kelanjutan dari doktrin kenabian dan imamah, yang mana secara periodik dalam sejarah syiah, kepemimpinan universal berdasarkan mandat ilahi terbagi pada empat periode, yaitu periode nabi, periode imam, periode kegaiban sughro (gaib kecil), dan periode kegaiban kubro (gaib besar/sempurna).

Selama imam ke-12 mengalami gaib kubra (kegaiban panjang), hingga ia muncul (zuhur) kembali pada akhir zaman, maka para ulama (faqih) dinobatkan menjadi penerus rangkaian kepemimpinan umat ini sebagai wakil imam (naib al-imam). Meskipun begitu, sebagaimana para imam mengambil alih seluruh peran kepemimpinan umat dari Nabi Saw, maka para faqih juga memiliki hak dan peran yang sama dalam hal ini. Tepatnya, mereka mewakili pelaksanaan peran ini dari imam, yakni imam terakhir (Muhammad al-Mahdi) yang sedang gaib. Bahkan dipercayai bahwa para ulama seperti ini mendapatkan bimbingan imam yang sedang gaib tersebut. Hanya bedanya, jika para imam mendapatkan kedudukannya dari Allah, sehingga dengan demikian maksum (terpelihara dari kesalahan), para ulama (faqih) ini memperoleh kedudukannya berdasarkan kualifikasi yang dimilikinya. Dan, tidak seperti Nabi dan imam, mereka tidaklah maksum. Dalam bentuk formalnya, di Republik Islam Iran, faqih yang berkedudukan sebagai Wali Faqih dipilih oleh suatu Dewan Ahli yang beranggotakan para ulama terkemuka, yang memperoleh jabatannya itu lewat pemilu demokratis seperti akan diuraikan berikutnya.


SEJARAH GAGASAN WILAYAH AL-FAQIH
Meskipun dipopulerkan bahkan secara praktis baru berhasil dilaksanakan oleh Imam Khumaini, tetapi pemikiran mengenai konsepsi wilayah al-faqih bukanlah hal baru dalam tata politik syiah. Setidaknya ia telah menjadi kajian oleh tokoh-tokoh syiah klasik seperti Syeikh Thusi, Sayid Murtadha, Bahrul ulum, Syeikh Mufid, Muhaqqiq al-Hilli, Muhaqqiq Karaki, dan lain-lainnya.

Syeikh Mufid (w 1022M) yang merupakan salah seorang ulama besar syiah telah mengajukan gagasan bahwa pemimpin yang ditunjuk oleh Tuhan merupakan sosok yang diakui sebagai pemegang otoritas untuk menyuruh atau melarang melukai dan membunuh dalam konteks amar ma’ruf nahi munkar. Pelaksanaan perintah itu dilakukan oleh para Imam-imam maksum yang terpilih, atau oleh para penguasa yang ditunjuk oleh imam maksum, atau oleh para fuqaha syiah yang telah ditunjuk oleh imam-imam maksum sebagai para pemimpin masyarakat Islam sekaligus pelaksana syariat Islam.[4]

Penjelasan Syeikh Mufid bahwa para imam maksum telah memberi kepercayaan pembuatan keputusan tentang pelaksanaan hukum-hukum Islam kepada para fakih syiah mereka,[5] telah menegaskan tentang posisi fakih yang menggantikan posisi imam untuk mengimplementasikan hukum-hukum ilahi menjadi petunjuk jelas akan konsepsi wilayah al-faqih. Lebih jauh ia mengungkapkan, “(Penerapan hukum-hukum Islam) secara nyata mendukung seseorang (fakih) yag telah ditunjuk pemegang kekuasaan atas tugas tersebut, atau telah ditunjuk olehnya sebagai orang yang bertanggung jawab atas sejumlah utusan pokoh yang dimilikinya. Maka, ia harus melaksanakan keputusan hukum Islam, menerapkan perintah-perintah hukum agama, ber-amar ma’ruf nahi munkar, serta berjihad melawan kaum kafir.[6]

Di bawah ini akan dikutip beberapa penegasan ulama-ulama syiah dari yang klasik hingga sekarang untuk mengetahui kontinuitas historis konsepsi wilayah al-faqih:[7]
  1. Muhaqqia al-Hilli (w.1277) menyebutkan, “Merupakan sebuah perintah bahwa ‘bagian imam’ (hissat al-imam) dibagikan secara adil kepada mereka yang layak menerimanya oleh orang yang mempunyai otoritas disebabkan kedudukannya sebagai wakil imam (niyabah); sebagaimana dirinya juga bertanggung jawab untuk menunaikan berbagai kewajiban (agama) semasa kegaiban imam maksum.”
  2. Zainuddin bin Ali Amili alias Syahid Tsani (w. 1559 M) menerangkan, “Orang yang memiliki otoritas karena pendelegasian dari imam adalah fakih adil syiah yang memenuhi seluruh persyaratan untuk mengeluarkan fatwa-fatwa. Sebab, orang seperti ini adalah wakil dan yang ditunjuk Imam Zaman.”
  3. Muhaqqiq Karaki (w. 1561) mengungkapkan, “…Fakih yang memenuhi syarat penuh (faqih jami’ al-syarait), yang disebut mujtahid, adalah wakil atau deputi (naib) imam-imam maksum as dalam semua urusan berdasarkan konsep perwakilan (niyabah).
  4. Jawad bin Muhammad Husaini Amili (w. 1811) menegaskan, “Fakih ditunjuk Imam Zaman dan ini didukung argument (akal), ijma’, riwayat-riwayat, dan hadits-hadits.”
  5. Mulla Ahmad Naraqi (w.1829) lebih tegas lagi menyatakan bahwa fakih mempunyai wilayah (otoritas) atas dua permasalahan. Pertama, fakih mempunyai wilayah seperti dimiliki nabi dan para imam maksum sebagai pemimpin atas masyarakat dan benteng pertahanan Islam. Kedua, fakih mempunyai wilayah atas apa pun yang berhubungan dengan masalah spiritual dan keduniawian masyarakat yang perlu diselesaikan.
  6. Syeikh Muhammad Hasan Najafi (w. 1849) menulis, “Saya percaya bahwa Allah telah menjadikan kepatuhan dan kesetiaan pada para fukaha ‘pemegang otoritas’ (ulil amri) sebagai kewajiban kita; bukti-bukti mengenai pemerintahan fakih, khususnya hadis dari imam Mahdi membenarkan hal ini.”
  7. Bahrul Ulum (w. 1908) membicarakan masalah wilayah al-faqih dengan mengajukan beragam dalil, diantaranya ia berkata , “..untuk memelihara masyarakat Islam, Imam harus mengangkat seorang pengganti atau wakil yang tak lain kecuali seorang fakih yang memenuhi persyaratan lengkap.”
  8. Ayatullah Burujerdi (w. 1962) mengungkapkan bahwa pemerintahan fakih dalam segala urusan merupakan aksioma. Ia menulis, “…untuk menyimpulkan, berkenaan dengan apa yang dimengerti, tidak ada keberatan yang dapat dimunculkan untuk menolak kenyataan bahwa fakih adil diangkat untuk melihat masalah-masalah penting yang mempengaruhi masyarakat.”
  9. Ayatullah Syeikh Murtadha Ha’iri menganggap bahwa perintah suci dari Imam Gaib sebagai salah satu bukti tentang wilayah al-faqih, “Fakih adalah pemilik kewenangan yang ditunjuk—hujjah—imam. Menjadi hujjah yang diangkat imam, secara umum, berarti bahwa fakih memiliki kekuasaan dan menjadi rujukan dalam hal apa saja yang menjadi perhatian imam.”
  10. Imam Khumaini (w. 1989) yang dianggap sebagai peletak sistematis wilayah al-faqih dan mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mengimplementasikan hal tersebut. Baginya, para fakih menerima wilayah absolut yang memegang semua tanggung jawab dan kakuasaan Imam Zaman (Imam Mahdi). Untuk itu Imam Khumaini menulis, “Imam maksum telah mempercayakan atas apa pun kepada para fukaha di mana mereka memiliki kewenangan (wilayah)…dan bahwa fakih menerima semua kekuasaan dari Nabi saaw dan Imam ke-12 dalam aturan dan pemerintahan.”
Dengan keterangan ini, jelaslah bahwa konsepsi wilayah al-faqih bukanlah gagasan asing yang tidak memiliki akar pemikiran dalam sejarah Islam. Bahkan dalam bentuk praktisnya, para fukaha ini telah memainkan peran penting dalam setiap pemerintahan baik secara langsung maupun tidak seperti pada masa kekuasaan Dinasti Safawid, Dinasti Buwaihi, Dinasti Qajar, Dinasti Pahlevi, dan tentunya secara factual pada masa Republik islam Iran pasca Revolusi Islam.  Imam khumaini sendiri mengakui bahwa wilayah al-faqih bukanlah hal yang baru. Beliau menulis :

“Sebagaiman saya sebutkan sebelumnya, tema wilayah al-faqih bukanlah hal yang baru. Bahkan masalah ini telah dibahas sejak dulu…saya hanya membahasnya lebih panjang berkenaan dengan cabang-cabang pemerintahan yang berbeda, untuk memberikan penjelasan yang lebih banyak tentang masalah ini.”[8]
Jadi, merujuk pada hal ini, maka Imam Khumaini sebenarnya mengumandangkan kembali hal-hal yang telah dikaji, diulas dan diyakini oleh para ulama dan masyarakat syiah. Teriakan Imam Khumaini ini, ternyata berhasil menyadarkan kevakuman yang tejadi untuk mengalirkan semangat baru bagi usaha membentuk pemerintahan ilahiah di bumi Allah yang diciptakan untuk diwarisi oleh hamba-hamba yang shalih. 

DASAR WILAYAH AL-FAQIH
Telah diuraikan sebelumnya, bahwa sebagaimana dalam mazhab Ahl al-Sunnah, dalam pemikiran syiah, otoritas dan kedaulatan hanyalah hak preogatif Allah (Q.S. al-A‘raf: 54; Ali ‘Imran: 154; Yusuf: 40). Baru kemudin Allah mendelegasikan haknya tersebut kepada Nabi Muhammad Saw (Q. S. al-Nisa‘: 80; al-Ahzab: 36). Setelah berakhirnya nubuwwah, hak-hak tersebut beralih kepada ulu al-amri yang menurut kepercayaan Syi’ah Itsna ‘Asyariyah adalah para Imam yang berjumlah dua belas orang. Imam mendapatkan haknya sebagai penerus Nabi Muhammad Saw, yang tidak berstatus Nabi, dan tidak pula membawa syariat, namun sebagai penjelas resmi syariat Nabi Muhammad saaw langsung dari Allah, lewat Nabi Saw.  Mereka disebut wali al-naìb. 

Prinsipnya, karena sifat luthf (kasih sayang) dan hikmah (kebijaksanaa)-Nya, Allah tak akan membiarkan suatu umat tanpa bimbingan.[9] Dengan kata lain, Allah selalu mengirim utusan pada setiap umat (Q.S. al-Nahl: 36). Jadi, kesinambungan kepemimpinan sejak Nabi, Imam, hingga Faqih adalah suatu keniscayaan keagamaaan. Di bawah ini, adalah hadis yang masyhur, bersumber dari Imam Ja‘far al-Shadiq, Imam Keenam mazhab syiah, “Menyangkal wewenang seorang mujtahid (faqih) berarti menentang wewenang Imam. Menentang wewenang Imam berarti menentang wewenang Nabi Saw. Menentang wewenang Nabi Saw, berarti menentang wewenang Allah. Menentang wewenang Allah, sama dengan syirik”. [10]
 
Hadis lain dari Imam Ja`far al-Shadiq menyebutkan: “Terlalu besar kekuasaan Allah sehingga (tak mungkin) Dia meninggalkan dunia dan para penghuninya tanpa seorang pemimpin dan pembimbing yang menegakkan keadilan.” Imam Ja’far Shadiq ditanya, “Mungkinkah Allah membiarkan suatu masyarakat tanpa pemimpin?” Dia menjawab, “Tak mungkin.” [11]

Kemudian Muhammad Baqir Sadr megemukakan, legitimasi atas otoritas para Faqih ini dapat dilihat pada surah al-maidah ayat 44 :
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat yang di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang  menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi (nabiyyun] yang berserah diri kepada Allah, oleh orang Alim mereka [Rabbaniyun], dan pendeta-pendeta mereka [ahbar], disebabkan mereka diperintahkan memlihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya (syuhadaa).” (Q.S. al-Maidah: 44)

Interpretasi Sadr  atas ayat itu menjelaskan karakterisasi yang menyentuh baik penafsiran konstitusional politis maupun suatu pemahaman berkarakter syiah. Menurutnya, ada tiga kategori dari ayat ini, yaitu nabiyyun, rabbaniyyun dan ahbar. Kelompok ahbar adalah ulama dari syariat, dan rabbaniyyun membentuk sebuah lapisan tengah antara kelompok nabi dan `alim, inilah level dari para Imam. Karena itu adalah mungkin untuk mengatakan bahwa garis dari syahadah (pernyataan kesaksian) dihadirkan oleh tiga mandataris yakni para Nabi (anbiya`), para Imam sebagai penerus para nabi sesuai kehendak Allah (rabbani), dan marja’`iyyah, yang dipertimbangkan sebagai kesinambungan (rasyid) dari Nabi dan Imam dalam garis kelompok syahadah.[12]
 
Pada interpretasi ayat Alquran ini, Baqir Sadr telah mengekstraksi suatu skema institusional syiah murni. Pertama, ia menghapus referensi paten Yudais dengan mengkategorikan Taurat di bawah klasifikasi “buku ketuhanan”. Kemudian, dengan mengaJukan kelompok rabbaniyun pada kedua belas Imam Ja`fari, Sadr bagaikan telah melingkarkan sebuah cincin syiah yang kuat pada interpretasinya. Para ahbar, diterjemahkan sebagai ahli hukum (faqih), dimaksudkan untuk mengartikan marja’`iyah syiah—yang bagi Shadr menetapkan badan saksi terakhir dalam garis syahadah—yang dipercayakan untuk melindungi Kitab Suci setelah Nabi Muhammad dan Dua Belas imam. Dibebani dengan suatu implikasi tanggung jawab publik, syahadah menganugerahkan pada marja’`iyah tugas untuk menjaga Republik Islam.[13]

Tabathabai juga telah memberi penafsiran ayat ini dengan sangat menarik. Ia menyatakan bahwa dari ayat ini, dipastikan terdapat satu tingkat (manzilah) di antara lapisan anbiya` dan ahbar, yang merupakan tingkat para Imam. Dan kombinasi antara kenabian serta imamah dalam satu kelompok tidak merintangi mereka untuk terpisah satu sama lain.

Sebuah  pemisahan formal diperkenalkan di antara tiga kategori; golongan para nabi, golongan imam-imam dan golongan ulama. Imam Ali berkata, ‘para Imam berada di bawah para Nabi’, bermakna bahwa mereka terletak satu derajat di bawah tingkat para nabi mengacu pada gradasi ayat tersebut, dengan cara yang sama sebagaimana para ahbar, yang tidak lain adalah para ulama, berada di bawah para imam (rabbaniyun).[14]
Dalam konsep Wilayah al-Faqih, menurut Ahmad Mousawi, dan Jalaluddin Rakhmat, kepemimpinan didasarkan atas empat prinsip filosofis: pertama, Allah adalah Hakim Mutlak seluruh alam semesta dan segala isinya. Kedua, kepemimpinan manusia (qiyadah al-basyariyah) yang mewujudkan hakimiyah Allah di bumi ialah nubuwwah. Ketiga, garis imamah melanjutkan garis nubuwah dalam memimpin umat. Keempat, para faqih adalah khalifah para imam dan kepemimpinan umat dibebankan kepada mereka.[15]

Dengan pemikirannya yang khas, Muhammad Taqi Misbah yazdi, salah seorang anggota majma al-mudarrisin merumuskan dalil-dalil wilayah al-faqih dalam dua ketegori yaitu dalil-dalil akal (aqliyah) dan dalil-dalil wahyu (naqliyah). Secara rasional, pemerintahan merupakan kebutuhan yang mendasar bagi kehidupan individu dan masyarakat, dan dalam pemerintahan jelas dibutuhkan adanya pemimpin. Pemimpin tersebut, selama kegaiban Imam Mahdi as, diberikan kepada para fakih yang memahami hukum Islam dan persoalan masyarakat. Hal ini sesuai dengan mandat Imam Mahdi sendiri yang bersabda, “Atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat, maka kembalikanlah kepada para perawi hadits kami, karena sesungguhnya mereka adalah hujjahku atas kamu dan aku adalah hujjah Allah atas mereka.” [16]

Hal ini, merupakan dalil bahwa seseorang yang mendekati derajat kemaksuman harus menempati posisi imam maksum, dalam membimbing dan memimpin umat. Posisi ini hanya layak ditempati oleh orang yang memiliki tiga kompetensi, yakni pengetahuan mendalam tentang hukum dan peraturan dasar Islam (faqahah), memiliki kepribadian dan akhlak mulia yang mampu mengontrol ruh dan dirinya, untuk senantiasa mentaati Allah dan tidak akan secara sengaja atau tidak sengaja melanggar hukum Islam (takwa), dan mampu mengatur masyarakat serta memahami kondisinya (kafaah).[17]

Masih menurut Yazdi, dari sudut pandang Islam tidak ada manusia yang memiliki hak secara intrinsik untuk mengatur orang lain, bahkan jika ia mengeluarkan ketetapan-ketetapan yang benar dan adil, karena semua orang, sebagaimana makhluk-makhluk Allah lain, adalah diciptakan dan merupakan kepunyaan Allah Yang Maha Kuasa, dan tak seorang pun yang boleh turut campur dengan kepunyaan orang lain tanpa izin pemiliknya. Seorang manusia tidak memiliki hak, bahkan untuk menggunakan anggota tubuhnya sendiri dengan cara yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, dan sebagai konsekuensinya, ia tidak bisa membiarkan orang lain melakukannya juga. Karenanya, satu-satunya yang memiliki hak mutlak untuk memerintah dan menolak siapa pun dan apa pun hanyalah Tuhan Yang Maha Esa. Semua otoritas dan wilayah harus berasal dari Dia atau paling tidak dengan hukum-hukumnya. Jelas bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa tidak akan pernah mengizinkan siapa pun untuk menjalankan hukum tanpa memiliki pengetahuan yang memadai tentang hukum-hukumnya, atau tanpa jaminan kebenaran dari tindaknnya dan kepatuhannya pada hukum-hukum ketuhanan, atau tanpa ketakwaan, dan kualifikasi moral yang memadai.[18]

Interpretasi bahwa Allah pemegang kekuasaan Mutlak tampaknya berlaku bagi mayoritas ulama Islam, baik syi’ah maupun sunni yang menganggap Islam adalah agama dan kekuasaan (al-din wa al-daulah). Artinya, Islam meyakini bahwa kedaulatan hanya milik Allah, dan umat manusia hanyalah pelaksana-pelaksana kedaulatan Allah tersebut sebagai khalifah-khalifah Allah di bumi.

Banyak ayat al-Quran yang bisa dijadikan dasar bagi politik Islam yang mengindikasikan tentang Allah pemilik kedaulatan mutlak, antara lain:

Katakanlah, `Wahai Tuhan Yang Mempunyai Kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkau-lah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S. Ali Imran: 26).

Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi; dan Allah Mahaperkasa atas sesuatu.” (Q.S. Ali Imran: 189)

“ Sesungguhnya Aku  hendak  menjadikan  seorang Khalifah di muka bumi.” (Q.S. al-Baqarah: 30).
“Sesungguhnya  Aku akan menjadikanmu Imam bagi  seluruh  manusia. Ibrahim berkata: ‘(Dan saya mohon juga) dari keturunanku’. Allah berfirman: ‘janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim.” (Q.S. al-Baqarah : 124).
“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan beramal shaleh (kebaikan), bahwa Dia akan menjadikan mereka sebagai khalifah di bumi, Sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka sebagai khalifah..” (QS. An-Nur : 55).
Ayat-ayat al-Quran tersebut, di samping ayat-ayat yang lain, menegaskan bahwa Allah Swt adalah sumber segala kekuasaan. Ayat-ayat itu juga menjelaskan bahwa dalam Islam tidak ada seorang pun yang mempunyai kekuasaan mutlak, sehingga boleh memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Artinya, meskipun seseorang telah mendapat restu Tuhan untuk menjadi pemimpin dan penguasa di bumi, tetapi tetap tidak diperbolehkan memaksakan kepemimpinannya tersebut tanpa persetujuan dan kesadaran masyarakat dalam mengimplementasikan sendiri kepemimpinan ilahiah tersebut.
Hanya saja, al-Quran juga menegaskan bahwa Allah sebagai pemilik kekuasaan mutlak menghendaki manusia agar mampu berperan sebagai wakil (khalifah)-Nya di bumi. Oleh karena itu, manusia dapat mengklaim dirinya mempunyai kekuasaan tak terbatas sepanjang digunakan hanya demi memenuhi kehendak-Nya.[19] Allah berfirman :

Dan Dia-lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian yang lain beberapa derajat untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S. al-An-am: 165)
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.”(Q.S. Sad: 26)

Dengan konsep kekuasaan seperti ini, tidak ada lagi pertentangan antara kekuasaan Allah dan kebutuhan manusia akan adanya pemerintahan. Allah Swt tetap berkedudukan sebagai satu-satunya pemilik kekuasaan itu. Tetapi, uji coba kekuatan dan kekuasaan itu didelegasikan kepada Nabi Muhammad Saaw. atau khalifah Allah di bumi yang mendapat instruksi untuk menegakkan pemerintahan yang adil.[20] Bedanya, sunni menganggap kekuasaan didelegasikan kepada masyarakat untuk melanjutkan tugas kepemimpinan, sementara syiah memandang terdapat kontinuitas kepemimpinan yang diwariskan (imamah), dan setelah kegaiban imam kedua belas, pemilik otoritas kepemimpinan berlanjut kepada para Faqih yang dipilih oleh rakyat.

NEGARA DALAM PERSPEKTIF WILAYAH AL-FAQIH
“Mengkaji pemerintahan Islam merupakan suatu kewajiban dalam agama. Pemerintahan Islam mengimplementasikan aturan Allah di muka bumi sekaligus sebagai sarana pelaksanaan tugas manusia sebagai khalifah Allah… Kajian tentang pemerintahan Islam menggunakan rujukan tersendiri dalam bidang kebudayaan yang secara mendasar dapat membangkitkan semangat sosial yang sangat luar biasa.”[21]

Sayid Muhammad Baqir Sadr memulai bukunya Intoduction to Islamic Political System dengan ungkapan di atas. Memang diantara yang menjadi permasalahan yang sangat krusial dari dahulu sampai sekarang—bahkan semakin hangat dan memuncak—serta dapat memancing debat dan kontroversi, baik dalam literatur Islam ataupun kajian politik dan dinamika budaya kekuasaan adalah “bagaimana membentuk suatu pemerintahan Islam yang dapat menata keharmonisan hubungan antara agama dan politik (negara)?
Persoalan pemerintahan Islam sebenarnya disepakati sebagai salah satu persoalan penting dalam Islam baik dari sisi akidah terlebih dalam studi fiqh. Dalam studi akidah (teologis), berdasarkan pada konsepsi tauhid dan an-nubuwah (Kenabian) sebagai ushuluddin (dasar agama) dalam Islam, jelas dipahami bahwa Tuhan adalah pemegang mutlak kekuasaan di dunia dan di akhirat, dan dengan izin-Nya pula, telah mendelegasikan wewenang kepada Nabi Muhammad saww sebagai mandataris-Nya. Maka setidaknya ada enam fungsi kenabian:
  1. Menerima syariat
  2. Menjelaskan syariat
  3. Mengamalkan syariat
  4. Menyebarkan syariat
  5. Memberi teladan dan membimbing umat
  6. Menjaga syariat dari kebatilan, penyelewengan dan kesalah pahaman.
Keenam fungsi kenabian tersebut mestilah diimplementasikannya sesuai kemampuan dan kondisi yang meliputinya. Akan tetapi, nabi, tidak saja pasrah mengikuti situasi dan jebakan kondisi, melainkan dengan kreatifitas dan inovasinya berjuang keras untuk membaktikan diri sepenuhnya dalam usaha mengaktualkan syariat-syariat Allah di permukaan bumi ini. Untuk itu, ia akan berusaha membentuk suatu kekuatan massa yang mampu menjaga syariat Allah tersebut dari kejahilan dan kejahatan manusia yang ingin merusaknya. Di sini, kepemimpinan dan komunitas sosial-politik yang menjadi penting dan bermakna.

Pengemban wasiat kenabian, Imam Ali bin Abi Thalib menyatakan tentang keharusan adanya pemerintahan, dengan kalimat yang fasih :

“Manusia tidak bisa berbuat apapun tanpa pemerintahan, baik atau buruk. Di bawah naungan suatu pemerintahan, orang-orang yang beriman dapat berjuang demi Allah, orang-orang kafir mendapatkan keuntungan duniawi mereka, dan manusia memetik hasil kerja keras mereka. Melalui kekuasaan pemerintahlah, pajak-pajak dikumpulkan, para penjajah diusir, keamanan jalan dilindungi, dan orang-orang tertindas dapat menuntut kembali hak-hak mereka, hingga warga yang saleh akan bahagia dan aman dari kejahatan si penindas.”[22]

Begitu pula, para ulama mengamini pandangan bahwa mendirikan sebuah sistem pemerintahan adalah kewajiban yang mesti ditegakkan demi terealisasinya kemaslahatan kaum muslimin.[23] Bahkan semua ahli ittifaq, suatu petaka besar bagi masyarakat, hidup dalam rimba kehidupan tanpa aturan dan pemimpin. Hal itu menjadi jelas, baik dari pendekatan normatif (naqliyah) dan empiris-historis, maupun dari pendekatan rasional (aqliyah) dan nalar filosofis.

Dengan berpegang pada wahyu dan akal, pengusung wilayah al-faqih meyakini bahwa agama diturunkan untuk mengatur seluruh dimensi kehidupan. Agar tujuan tersebut terealisasi secara baik, maka pemerintahan sebagai suatu sarana untuk mengatur kehidupan bermasyarakat umat manusia, tidak dapat dipungkiri sebagai bagian dari persoalan krusial keagamaan, bahkan merupakan bagian penting untuk terealisasinya pelaksanaan hukum Tuhan di bawah kendali manusia-manusia pilihan-Nya agar keadilan tercipta, kedamaian dan kebahagiaan dunia dan akhirat di dapat. Karena mengimplementasikan syariat merupakan kewajiban dan hal itu dapat terealisasikan melalui pendirian sebuah negara, maka mendirikan pemerintahan Islam juga merupakan kewajiban (ma la yatim al-wajib illa bihi fahuwa wajib). Imam Khumaini berkata:

“Menjaga dan membela pemerintahan merupakan kewajiban yang sangat ditekankan, sementara merusak urusan-urusan kaum muslimin merupakan perbuatan yang sangat dibenci. Kedua-dua kondisi ini hanya dapat terealisir dan terenyahkan dalam kehidupan kaum muslimin dengan adanya seorang wali (penguasa) dan pemerintahan… Menjaga dan membela wilayah teritorial kaum muslimin dari serbuan musuh adalah sebuah keharusan, baik secara akal maupun syariat. Kondisi ini mustahil dilakukan tanpa membentuk sebuah pemerintahan. Semua itu merupakan kebutuhan kaum muslimin. Dan kebutuhan yang sangat vital ini mustahil tidak mendapat perhatian Allah… Mungkinkah Allah yang terkenal dengan hikmah-Nya membiarkan umat Islam tanpa menentukan kewajiban untuk mereka? Ataukah Allah rela dengan berbagai kekacauan dan rusaknya sebuah sistem?”[24]
 
Dengan demikian, keberadaan negara dalam perspektif wilayah al-faqih adalah sebuah keniscayaan, karena itu harus tetap menjadi cita-cita yang tertanam kuat di dalam jiwa setiap kaum muslimin.
Lebih dari itu, negara dalam perspektif wilayah al-faqih ini melintasi batas-batas geografis. Artinya, Islam mengklaim dirinya sebagai agama universal yang diperuntukkan bagi semesta alam kapan pun dan di manapun (shalih li kulli zaman wa al-makan), “Katakanlah: Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua” (Q.S. al-A’raf: 158); “Dan Kami tidak mengutusmu (hai Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta” (Q.S. al-Anbiya: 107), “Kami mengutusmu menjadi rasul kepada segenap manusia” (Q.S. al-Nisa: 79).

Dengan begitu, Negara Islam juga, merupakan negara yang meliputi jagat raya dalam satu kesatuan yang utuh, di mana batas-batas yang disepakati bersama oleh masyarakat tidak mempengaruhi sistem politik Islam yang monolitik. Meskipun begitu, Negara Islam tetap menghargai dan bergantung pada mekanisme yang memungkinkan dalam setiap masa. Maksudnya, dalam bentuk praktis operasionalnya, Negara Islam dapat disesuaikan dengan berbagai hal yang dianggap signifikan dalam perkembangan masyarakat serta tata politik dunia. Misalnya, pada saat ini, dengan banyaknya sistem yang berdaulat dan perubahan tata politik dunia, kesatuan yang utuh dari Negara Islam dapat dibagi-bagi ke dalam unit-unit yang lebih kecil dengan kedaulatan negaranya masing-masing, yang dikelola oleh para fakih yang berasal dari wilayahnya masing-masing.[25]

 
FUNGSI, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB WILAYAH AL-FAQIH
Melihat pada kontinuitas kepemimpinan ilahiah, yang melalui jalur kenabian, kemudian dilanjutkan melalui garis imamah, dan juga ulama (faqih), maka fungsi kepemimpinan mencakup empat hal yaitu :
  1. Fungsi legislatif yakni menemukan dan menerangkan syariat (hukum) yang datang dari sisi Allah dan menjadi sumber rujukan hukum. Kita ketahui bahwa tidak semua orang mampu untuk menggali khazanah wahyu Tuhan padahal kita di tuntut untuk menjalankan aturan Tuhan. Karenanya bagi yang tidak paham dianjurkan untuk bertanya pada yang memahami, “maka bertanyalah kepada kepada ahli zikr, jika kamu tidak mengetahui” (Q.S. an-Nahl: 43); “…Apa yang diberikan rasul kepadamu, maka terimalah ia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Q.S. al-Hasyr : 7).
  2. Fungsi yudikatif yakni memutuskan dan menyelesaikan berbagai perselisihan yang terjadi. Hal ini karena disatu sisi manusia merupakan makhluk sosial, namun di sisi lain hubungan sosial itu tidak selamanya harmonis.[26] Untuk itu diperlukan orang yang dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi. “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat”. (Q.S. al-Nisa: 105); “Manusia adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab dengan benar untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan…” (Q.S. al-Baqarah: 213);
“…Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka, maka mereka tidak akan memberi mudarat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.” (al-Maidah: 42); “…maka putuskanlah perkera mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu menuruti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu” (Q.S. al-Maidah: 48); “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hokum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pelajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (al-Nisa: 58); “Maka demi Tuhan-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Q.S. an-Nisa: 65);[27]
  1. Fungsi eksekutif yakni memimpin dan mengatur masyarakat atau membentuk pemerintahan. Dalam suatu komunitas, agar hubungan diantara sesamanya harmonis maka diperlukan adanya pemimpin yang menegakkan hukum-hukum, “Nabi itu lebih berhak bagi diri orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri” (Q.S. al-Ahzab: 6), Ambillah olehmu (Muhammad) sedekah untuk membersihkan mereka dan mengembangkan kehidupan mereka” (Q.S. at-Taubah: 103). “Hai orang-orang yang beriman, tatatilah Allah dan tatatilah rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (Q.S. al-Nisa: 59); “Sesunguhnya pemimpin kamu adalah Allah, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat selagi mereka ruku” (al-Maidah: 55).
  2. Fungsi edukatif yakni menjadi pembimbing dan pendidik umat untuk mensucikan mereka menuju kesempurnaan kemanusiaan yang sesuai dengan aturan ilahiah, “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan hikmah serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (Q.S. al-Baqarah: 151); “Dan Kami tidak menutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui … dan Kami turunkan kepadamu al-Quran agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (Q.S. an-nahl: 43-44), “Dialah  yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Q.S. al-Jumuah: 2)
Keempat fungsi ini merupakan wewenang pemimpin. Meskipun begitu, secara praktis pemimpin dapat mendelegasikan wewenangnya tersebut kepada orang lain –dengan tetap dibawah kendalinya— yang dipilihnya, atau yang memenuhi syarat yang ditetapkannya, “Dan berkatalah Musa kepada saudaranya yaitu Harun, ‘gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan”. (Q.S. Al-A’raf: 142).
Melihat pada empat fungsi kepemimpinan di atas, maka tugas-tugas para faqih (ulama) membutuhkan kompetensi yang tinggi dan teruji baik dari sisi kompetensi intelektual maupun kompetensi keribadian dan keterampilan memimpin.
Adapun menurut ‘Ain Najaf sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rahmat, tugas para faqih adalah sebagai berikut:[28]
  1. Tugas intelektual (al-‘amal al-fikry); ia harus mengembangkan berbagai pemikiran sebagai rujukan umat. Ia dapat mengembangkan pemikiran ini dengan mendirikan majelis-majelis ilmu, pesantren, atau hauzah; menyusun kitab-kitab yang bermanfaat bagi manusia yang meliputi ilmu Alquran, al-hadis, aqaid, fiqih, ushul fiqh, ilmu-ilmu aqliyah, matematika, tarikh, ilmu bahasa, kedokteran, biologi, kimia dan fisika; membuka perpustakaan-perpustakaan ilmiah.
  2. Tugas bimbingan keagamaan; ia harus menjadi rujukan (marja’‘) dalam menjelaskan halal dan haram. Ia mengeluarkan fatwa tentang berbagai hal yang berkenaan dengan hukum-hukum Islam.
  3.  Tugas komunikasi dengan umat (al-ittishal bi al-ummah); ia harus dekat dengan umat yang dibimbingnya. Ia tidak boleh terpisah dan membentuk kelas elit. Akses pada umat diperolehnya melalui hubungan langsung, mengirim wakil ke setiap daerah secara permanen, atau menyampaikan khutbah.
  4. Tugas menegakkkan syi‘ar Islam; ia harus memelihara, melestraikan dan menegakkan berbagai manifestasi ajaran Islam. Ini dapat dilakukannya dengan membangun masjid, meramaikannya dan menghidupkan ruh Islam di dalamnya; dengan menyemarakkan upacara-upacara keagamaan dan merevitalisasikan maknanya dalam kehidupan aktual; dan dengan menghidupkan sunah Rasulullah Saw. sambil menghilangkan bid‘ah-bid‘ah jahiliyah dalam pemikiran dan kebiasan umat.
  5. Tugas mempertahankan hak-hak umat; ia harus tampil membela kepentingan umat, bila hak-hak mereka dirampas. Ia harus berjuang “meringankan penderitaan mereka dan melepaskan belenggu-belenggu yang memasung kebebasan mereka”.
  6. Tugas berjuang melawan musuh-musuh Islam dan kaum Muslim; faqih (ulama) adalah mujahidin yang siap menghadapi lawan-lawan Islam bukan saja dengan pena dan lidah, tetapi juga dengan tangan dan dadanya. Mereka selalu mencari syahadah sebagai kesaksian atas komitmennya yang total terhadap Islam.
Dengan bahasa berbeda tapi mengandung esensi yang sama, Murtadha Muthahhari menulis tentang tugas dan tanggung jawab wali faqih (pemimpin para faqih)[29] :
  1. Seorang wali mengingatkan manusia akan musuh-musuhnya dan menanamkan semangat berjuang dan melawan penindas.
  2. Seorang wali menanamkan cinta kepada keindahan ilahiyah.
  3. Seorang wali menanamkan kepada manusia kebencian akan maksiat dan dosa.
  4. Seorang wali menunjukkan asal mula perintah, petunjuk dan hukum yang harus dipatuhi.
  5. Seorang wali melatih manusia untuk melindungi dan memelihara benteng ideologi di atas dengan segala risikonya.
  6. Seorang wali mengajar manusia untuk memegang teguh dan menjaga syari‘ah setelah memerangi dan menundukkan nafsu-nafsunya yang rendah.
  7. Seorang wali menanamkan pada diri manusia hasrat untuk taqarrub kepada Allah, berkhidmat kepada manusia, berbuat baik dan penyayang pada semua makhluk Allah.
Melihat fungsi, kedudukan, sifat dan kewajiban fuqaha dalam falsafah Wilayah al-Faqih, dapat dipahami betapa berat tanggung jawab dan kewajiban yang harus dilaksanakan para faqih. Hadis yang berasal dari Imam Ali Ridha di bawah ini, menurut Yamani menjelaskan peran seorang wali:[30]
“Pemimpin (wali) umat adalah sarana untuk melindungi iman dan jaminan bagi persatuan struktur sosial, pengembangan ekonomi, dan penerapan hukum-hukum Tuhan. Keberadaannya menjamin keamanan perbatasan negeri dan penerapan hudud (hukum pidana). Ia menjamin pemberian hak-hak Ilahi, memelihara integritas iman, dan menjaga kehormatan umat Islam. ia menimbulkan kemarahan dan kesedihan di hati kaum munafik dan merancang penghancuran kaum kafir. Imam umat adalah penggembala rakyat, negarawan dan administrator-cakap urusan-urusan mereka, yang kehendak dan keteguhannya tak pernah memudar dan melemah.”
Jika rumusan tugas dan tanggung jawab faqih di atas titik tekannya bersifat umum, maka pada tataran yang lebih khusus, setelah terbentuknya Republik Islam dan setelah terpilihnya wali faqih, maka menurut Muhammad Baqir al-Shadr, wali faqih secara resmi mewakili Islam. Mujtahid yang memegang otoritas tersebut adalah wakil umum Imam Mahdi a.s. yang hak-hak hukumnya sebagai berikut :


  1. Ia merupakan pilar utama pemerintahan, yang memperoleh kedudukannya melalui otoritasnya. Ia adalah pemimpin tertinggi angkatan bersenjata.
  2. Dia memutuskan apakah suatu konstitusi yang dikonsepsikan sesuai atau tidak dengan hukum Islam.
  3. Dialah yang secara final menyetujui hukum-hukum sosial yang berlaku dalam perundang-undangan bebas.
  4. Jika timbul perbedaan terhadap poin-poin di atas, maka wali al-faqih menunjuk hakim pengadilan untuk memutuskan isu-isu tersebut.
  5. Ia mendirikan lembaga-lembaga peradilan di seluruh pelosok negeri untuk mendengar, memutuskn kasus-kasus dan untuk memelihara kepentingan-kepentingan dari partai-partai yang dirugikan. [31]
Seorang alim yang memenuhi kriteria-kriteria seperti di atas dijabarkan dalam konsep Wilayah al-Faqih biasanya dijuluki marja’`i taqlid. Masyarakat Islam syiah terbagi ke dalam dua golongan: mujtahid dan muqallid. Mujtahid adalah orang yang memiliki kemampuan berijtihad. Dalam konsep syiah, ijtihad selalu terbuka, tetapi tidak semua orang dipandang mampu melakukannya. Yang tidak mampu harus merujuk kepada ulama ikutan mereka (marja’). Kepada marja’, mereka bukan saja menyerahkan keputusan-keputusan agama, melainkan juga memberikan zakat dan khumus. Tetapi, kalau ulama itu cacat atau bersalah, umat dengan serentak akan meningggalkan ulama tersebut. Sistem ini melahirkan ulama yang secara alami terseleksi, bebas dari penguasa, dan berakar di masyarakat.


WEWENANG MUTLAK WILAYAH AL-FAQIH
Gambaran fungsi, tanggung jawab, dan kekuasaan faqih yang diuraikan di atas setidaknya memberikan suatu garis demarkasi akan keabsolutan wewenang faqih yang nyaris tak terbatas, sebab menjadi mendataris resmi nabi dan para imam as. terutama Imam Mahdi afs. Imam Khumaini, peletak sistematis konsep wilayah al-faqih menegaskan bahwa kewenangan seorang fakih yang adil sama dengan wilayah nabi saaw. dan para imam as. meskipun kedudukan (maqam) nabi dan imam jelas tidak sama dengan maqam-nya para fakih. Namun, yang menjadi dasar pikir kewenangan fakih adalah fungsinya bukan kedudukannya (maqam).[32]

Dengan ini, maka jelaslah bahwa seorang fakih memiliki semua tanggung jawab dan kekuasaan atas seluruh teritorial dan individual manusia. Kewenangan ini dalam tata politik syiah disebut dengan wilayah al-faqih al-mutlaqah (kewenangan faqih secara mutlak).[33] Kemutlakan ini memiliki dua cakupan:
Pertama, masyarakat seluruhnya, atas siapa sang fakih menggenggam wilayah (mawla ‘alayhim). Di sini fakih memiliki kekuasaan (kewenangan) atas tiap-tiap individu baik muslim maupun non-muslim, mujtahid maupun muqallid, bahkan terhadap dirinya sendiri.

Kedua, masalah-masalah di mana ia (fakih) menggenggam kekuasaan. Pada posisi ini, fakih mempunyai otoritas dalam semua urusan masyarakat dan dapat mengeluarkan peraturan, perintah, dan larangan untuk mereka sesuai dengan yang diwajibkan bagi semuanya. Penggunaan otoritas fakih seputar masalah-masalah yang diperintahkan—baik itu mewajibkan atau mengharamkan—bersifat mengikat secara syariat.[34]

Ayatullah al-Uzhma Sayid Ali Khamenei, yang pada saat ini memegang amanat sebagai wali faqih menggantikan Imam Khumaini menegaskan bahwa seluruh kaum muslimin wajib mematuhi perintah-perintah wila’iyah (perintah pemegang kepemimpinan) yang dikeluarkan pemimpin muslimin (wali amr al-muslimin) dan wajib menerima sepenuhnya perintah dan larangannya, termasuk seluruh fukaha besar dan para muqallid. Keterikatan kepada wilayah al-faqih ini, menurut Sayid Ali Khemenei, merupakan keyakinan yang tidak dapat dipisahkan dari keterikatan kepada pada Islam dan wilayah para imam maksum (wilayah al-aimmah).[35]
Lebih lanjut tentang wilayah al-mutlaqah, Sayid Ali Khemene’i menjelaskan :

“Yang dimaksud dengan wewenang mutlak (wilayah al-muthlaqah) bagi fakih yang memenuhi persyaratan ialah bahwa Islam, yang merupakan agama murni dan pamungkas agama-agama samawi dan yang kekal hingga hari kiamat, adalah agama yang memerintah dan mengatur masyarakat. Karenanya, harus ada penguasa, hakim Syar’i, dan pemimpin di tengah masyarakat Islam yang terdiri dari semua lapisan agar dapat menjaga umat dari musuh-musuh Islam dan muslimin serta menjaga sistem mereka, menegakkan keadilan, mencegah yang kuat agar tidak menindas yang lemah, dan menyediakan sarana-sarana kebudayaan, politik, dan sosial bagi kemajuan dan perkembangan mereka.

“Masalah ini dalam tingkat penerapan kadang kala bertentangan dengan keinginan-keinginan, ambisi-ambisi, kepentingan-kepentingan, dan kebebasan sebagian orang. Ketika melaksanakan taklif kepemimpinan dalam acuan fikih Islam, penguasa kaum muslimin wajib mengambil tindakan-tindakan yang dibutuhkan kapan saja ia memandang perlu hal itu.

“Yang bertalian dengan kemaslahatan umum bagi Islam dan muslimin hendaknya keinginan dan kewenangannya mengungguli keinginan dan kewenangan orang-orang di saat terjadi pertentangan.” [36]
Penjelasan dan uraian ini dengan gamblang telah menggariskan wewenang mutlak wali faqih untuk dipatuhi oleh seluruh kaum muslim (syiah). Namun, perlu pula ditegaskan bahwa wewenang yang dimiliki oleh fakih tersebut, dalam batas-batas hukum Islam yang keberlakuannya dan pelaksanaannya bukan hanya bagi masyarakat namun juga bagi fakih itu sendiri. Artinya, seorang fakih, dengan wewenang mutlaknya, tidaklah akan menjadi pemimpin tataliter dan otoriter yang diktator sehingga bebas dari pelaksanaan hukum-hukum Tuhan, sebab dalam menggunakan kekuasaannya seorang fakih harus memahami dan mempertimbangkan beragam faktor, seperti ketepatan, kebutuhan, prioritas, dan kondisional  persyaratan pelaksanaan hukum-hukum yang diputuskannya.[37] Pada sisi yang lain, kondisi ketakwaan dan keadilan (adalah) yang dimiliki seorang fakih jelas memberikan penjagaan total kepada dirinya untuk tidak berperilaku yang melanggar syariat dan menunjukkan kehinaan dirinya.


KUALIFIKASI MENJADI WALI FAQIH
Pemimpin adalah manusia pilihan Tuhan, bukan pilihan manusia, karenanya untuk mengaktualkan kepemimpinan ilahiah ini, masyarakat mesti bersandar pada pesan-pesan Tuhan dalam memilih pemimpin, seperti : alim, adil, mampu mengatur masyarakat, dan sebagainya. Artinya, orang yang memenuhi karakteristik yang dibuat Tuhanlah yang pantas untuk dipilih menjadi pemimpin dan ditaati, “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan ulul amri yang berada diantara kamu. (Q.S. al-Nisa: 59), Dialah yang menjadikan kamu khalifah (penguasa) di bumi” (Q.S. Fathir: 39).
Namun tidak ada paksaan kepada masyarakat dalam menentukan pilihan tersebut, “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk melaksanakan amanah itu kepada ahlinya”. (Q.S. al-Nisa: 58) “ Sesungguhnya Aku  hendak  menjadikan  seorang Khalifah di muka bumi.” (Q.S. al-Baqarah: 30) Sesungguhnya  Aku akan menjadikanmu Imam bagi  seluruh  manusia. Ibrahim berkata: ‘(Dan saya mohon juga) dari keturunanku’. Allah berfirman: ‘janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim.” (Q.S. al-Baqarah: 124). “Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan beramal shaleh (kebaikan), bahwa Dia akan menjadikan mereka sebagai khalifah di bumi, Sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka sebagai khalifah..” (QS. An-Nur : 55
Dari sudut pandang syiah, sejak kegaiban besar (gaib kubro; major occultation) Imam Mahdi atau Imam Zaman, tidak ada orang khusus yang talah diangkat untuk menjadi kepala pemimpin umat Muslim. Itulah mengapa dalam hadits-hadits yang berkenaan dengan kepemimpinan selama periode ini, hanya persyaratan-persyaratan dan karakteristik-karakteristik umum yang harus dimiliki seorang pemimpin. Ini menunjukkan bahwa hal itu terserah kepada umat sendiri untuk memilih seorang sebagai pemimpin mereka. Misalnya, diriwayatkan bahwa Rasulullah saaw bersabda, “Tidaklah layak kepemimpinan kecuali bagi orang yang memilki tiga sifat: wara’ yang menghalanginya untuk bermaksiat kepada Allah, ketabahan yang dapat mengendalikan amarahnya, dan kebaikan dalam memimpin rakyatnya yang membuat ia bagaikan seorang ayah yang penuh kasih.[38]
Menurut Murtadha Muthahhari, kualifikasi-kualifikasi utama seorang pemimpin selama kegaiban Imam Mahdi adalah :
  1. Beriman kepada Allah, wahyu-wahyu-Nya, dan ajaran-ajaran Nabi-Nya. (Q.S. An-Nisa: 141)
  2. Jujur, taat kepada hukum-hukum Islam, dan sungguh-sungguh dalam pelaksanaannya. (Q.S. Yunus: 124; Q.S. 38; 26)
  3. Pengetahuan Islam yang memadai, sesuai dengan kedudukannya yang mulia (Q.S. Al-Baqarah: 35)
  4. Cukup kompeten memegang posisi tersebut dan bebas dari setiap cacat yang tidak sesuai dengan kepemimpinan Islam.
  5. Standar hidupnya sama dengan hidup orang-orang yang berpenghasilan rendah.[39]
Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa untuk menjadi refresentasi tertinggi dari pemerintahan Islam seorang Faqih disyaratkan sebagai berikut:
  1. Ia harus orang yang saleh dan mempunyai berbagai kualitas penting untuk menjadi mujtahid mutlak, yakni seorang mujtahid peringkat pertama yang sepenuhnya berkompoten untuk menguraikan hukum secara terperinci  dan sampai kepada keputusan-keputusan mandiri.
  2. Kecenderungan pemikirannya harus menunjukkan keyakinan yang kokoh terhadap pemerintahan Islam dan menyadari pentingnya membela pemerintahan Islam.
  3. Otoritas keagamaannya harus diterima dan diakui sesuai dengan tradisi-tradisi syiah sepanjang sejarah.
  4. Dia harus memberikan dukungan kepada mayoritas anggota-anggota dewan konsultatif Wilayah al-Faqih. Di samping itu, sejumlah “para pelayan agama” yag jumlahnya di tentukan dalam konstitusi, seperti para ulama, pelajar-pelajar pusat keagamaan, Imam shalat berjamaah, para khatib, dan pemikir-pemikir Islam harus mendukung syarat-syarat keterpilihannya.
Dari gambaran tersebut, jelaslah, untuk menjadi seorang faqih bukanlah suatu pemberian gratis, melainkan usaha ikhtiariyah yang panjang, berat, dan penuh kesungguhan, sehingga berkat perjuangannya, seseorang akan memiliki ilm, ‘aql, taqwa (ketaatan), idarah (keahlian-keahlian administratif) dan hilm (belas kasih) yang merupakan kemestian bagi seorang faqih yang akan menduduki posisi kepemimpinan dan harus membuktikan dirinya lolos dari seleksi alamiah yang berlaku di dunia syiah. [40]
Dengan dasar-dasar ini, sebagai pemimpin umat, secara teoritisasi umum dalam sistem politik syiah, dirumuskan syarat untuk menjadi seorang wali faqih, yaitu harus memenuhi tiga kompetensi, yaitu :
  1. Faqahah; yaitu mujtahid mutlak yang mampu menetapkan kesimpulan tentang hukum-hukum syara` dari sumber-sumbernya. .[41]
  2. ‘Adalah,[42] yaitu tetap teguh menjalankan syariat Islam dan memilki pribadi yang bersih, saleh dan takwa sehingga menjadikan dirinya tidak mengikuti nafsu dan kecenderungan duniawi.
  3. Kafa’ah; yaitu memiliki kecerdasan dan pengetahuan yang luas sehingga terampil mengurus kehidupan umat, memahami kebutuhan zaman, mengurusi permasalahan sosial, politik, administratif, kemanan, ekonomi, dan sebagainya yang merupakan unsur-unsur penting dalam sebuah negara.
Sebagai usulan konkritnya, untuk memenuhi ketiga kompetensi di atas, disusunlah usaha bersama dalam mengkader pribadi-pribadi yang memiliki potensi keunggulan dalam bidang-bidang tersebut. Beragam disiplin ilmu menjadi acuan formal, sebagai penilaian dan penentuan keberhasilan seseorang memenuhi persyaratan menjadi wali faqih. Contohnya, untuk mengasah kemampuan faqahah[43] diperlukan pembelajaran ilmu fiqih dan ushul fiqih, untuk kemampuan adalah diperoleh melalui ajaran dan amalan irfani (tasawuf); dan untuk kafaah didapat dengan mempelajari secara sungguh-sungguh pemikiran filsafat dan ilmu-ilmu sosial.
Jadi, dalam bentuk praktisnya, ketiga rumusan tersebut ditafsirkan dengan aneka pemikiran dan bentuk formalitas dalam sebuah Negara, sebab wali faqih adalah realitas sosial yang ditentukan oleh masyarakat Muslim dan eksistensinya didasarkan pada prinsip-prinsip hukum Islam. Jika ditemukan hanya seorang pribadi yang memilik ketiga kompetensi tersebut secara baik maka secara otomatis ia memiliki restu ilahiah untuk menduduki posisi pemimpin Islam (wali faqih). Jika, dalam kasus di mana terdapat lebih dari satu orang untuk dipilih sebagai pemegang posisi wali al-faqih, masyarakat mempunyai hak untuk memilih salah seorang di antara mereka melalui suatu referendum.

Orang-orang tersebut merupakan para wakil yang sah dari pemerintahan Islam. secara hukum, mereka mempunyai hak yang sama dalam persolan ini. Setiap individu mempunyai hak memilih dan mengambil bagian dalam berbagai aktivitas politik. Mereka juga bebas menjalankan upacara-upacara keagamaan mereka.[44]

[1] Wilayah al-Faqih adalah bahasa Arab, dalam bahasa Persia Velayat-e Faqih. lihat: Heinz Halm. Shi’a Islam from Religion to Revolution. (Princeton: Markus Wiener Publishers, 1997), h. 138.
[2] Ali Mishkini. Wali faqih. (Jakarta: Risalah Masa, 1991), h. 24.
[3] Ali Mishkini. Wali, h. 24.
[4] Lihat Mehdi Hadavi Tehrani. Negara Ilahiah.(Jakarta: Al-Huda, 2005), h. 42.
[5] Mehdi Hadavi Tehrani. Negara, h. 42.
[6] Mehdi Hadavi Tehrani. Negara, h. 43.
[7] Penjelasan para ulama syiah ini disadur dari penelitian Mehdi Hadavi Tehrani. Negara, h.46-54.
[8] Imam Khumaini. Sistem Pemerintahan Islam. (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002) h.133-134.
[9] Mehdi Hadavi Tehrani merumuskan dalil kebijaksanaan (hikmah) ini sebagai berikut: “Berdasarkan bukti keberadaan Tuhan dan akhirat, akal menyimpulkan bahwa tindakan manusia mempunyai akibat yang tak dapat dihapuskan dalam kehidupan akhiratnya. Namun, upaya pribadi semata tidak akan cukup untuk seseseorang menyaksikan dan meneliti dengan jelas akibat-akibat, sebab-sebab, dan hubungan-hubungan perbuatannya itu. Oleh karena itu, lewat kebijaksanaan-Nya, Tuhan (sebagai pencipta dunia dan manusia) harus menunjukkan kepada manusia jalan menuju keselamatan dengan mengirimkan para utusan-Nya.” Lihat Mehdi Hadavi Tehrani. Nagara, h. 58.
[10] Yamani. Antara Al-Farabi dan Khumaini: Filsafat Politik Islam. (Bandung: Mizan, 2002), h. 114-115.
[11] Yamani. Antara, h. 116.
[12] Chibli Mallat. Menyegarkan Islam. (Bandung: Mizan, 2001), h.  99-100.
[13] Chibli Mallat. Menyegarkan, h. 101.
[14] Muhammad Husayn Tabathabai. al-Mizan fi Tafsir al-quran Juz VI.(Beirut: 1970), h. 362
[15] Ahmad Mousawi. Teori Wilayah al-Faqih: Asal Mula dan Penampilannya dalam Literatur Hukum Syiah. dalam Mumtaz Ahmad. ed. Teori Politik Islam. (Bandung: Mizan, 1993), h. 129.
[16] Muhammad Taqi Misbah Yazdi. Nazhrah ‘Abirah ila Nazhariyati wilayah al-faqih. (Qum: Majam’ al-alami li ahl al-bait, 2006), h. 120. Dalam buku ini bisa dilihat dalil-dalil lainnya dengan ulasan panjang lebar melalui premis-premis akal dan beragam riwayat dari para Imam syiah yang dijadikan dalil-dalil untuk wilayah al-faqih.
[17] Muhammad Taqi Misbah Yazdi. Nazhrah, h. 105. lihat juga Muhammad Taqi Misbah Yazdi. Sekilas Tentang Filsafat Politik Islam, dalam Jurnal Al-Huda, Vol III, No. 9, 2003, h. 97.
[18] Muhammad Taqi Misbah Yazdi. Sekilas Tentang Filsafat Politik Islam, dalam Jurnal Al-Huda, Vol III, No. 9, 2003, h. 97 .
[19] Khalid Ibrahim Jindan. Teori Politik Islam. (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), h. 73-74 .
[20] Khalid Ibrahin Jindan. Teori, h. 74.
[21] Sayid Muhammad Baqir Sadr. Introduction to Islamic Political System. (London: Islamic Seminary Publication, 1987), h. 1.
[22] Sayid Syarif Radhi. Nahj al-Balaghah Vol. I. (Qum: Sayid Mujtaba Musawi Lari Foundation, tt), hlm. 204-205.
[23] Lihat Ibnu Taymiyah. Al-Siyasah al-Syariah fi Islahi al-Ra’I wa al-Rai’yyah (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabiyyah, tt); Al-Ghazali. Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad (Beirut: Darul Kitab Al-‘Ilmiyah, 1998); al-Mawardi. al-Ahkam al-Sulthaniyyah. (Jakarta: Darul Falah, 2000).
[24] Imam Khomeini. Kitab Al-Bai’ juz II, hal 461-462.
[25] Lihat Mehdi Hadavi Tehrani. Negara, h. 79-80.
[26] Lihat penjelasannya dalam Jawadi Amuli. Sistem Pengadilan Islam dalam al-Quran. dalam Jurnal al-Huda, Vol.III, No. 9, 2003, h. 5-9.
[27] Masih banyak ayat-ayat yang bicara senada, misalnya al-Nisa: 105 dan 135; al-Hadid: 25-26;  al-Ahzab: 36.
[28] Jalaluddin Rahmat. Islam Alternatif. (Bandung: Mizan, 1998), h. 258. Lihat juga Imam Khomeini. Sistem, h. 27-41.
[29] Jalaluddin Rakhmat. Islam, h. 14.
[30] Yamani. Antara, h. 116. Mengenai penetapan Wilayah al-Faqih dalam nash juga dapat dilihat dalam Imam Khomeini. Sistem, h. 113-134.
[31] Muhammad Baqir Shadr. Sistem Politik Islam. (Jakarta: Lentera, 2001), h. 105.
[32] Imam Khumaini. Sistem, h. 58.
[33] Lihat penjelasannya dalam Misbah Yazdi. Nazhrah, h. 128-138.
[34] Lihat Mehdi Hadavi Tehrani. Negara, h. 75-76.
[35] Sayid Ali Khamene’i. Fatwa-Fatwa. (Jakarta: Al-Huda, 2003), jawaban untuk soal  58, h.40.
[36] Sayid Ali Khamene’i. Fatwa, soal 59, h. 40.
[37] Mehdi Hadavi Tehrani. Negara, h. 77-79.
[38] Al-Kulaini, Ushul al-Kafi (Beirut: Muassasah al-a’lami li al-Mathbuat, 2005), h. 232.  lihat kitab al-Hujjah bab Ma Yajibu min Haqq al-Imam ala al-Raiyah wa Haqq al-Raiyyah ala al-Imam.
[39] Murtadha Muthahhari. Kepemimpinan Islam. (Banda Aceh: Gua Hira, 1991), h.22.
[40] Chibli Mallat. Menyegarkan, h. 65.
[41] Imam Ja’far ash-Shadiq juga berkata: “Sesungguhnya kami tidak menganggap seorang faqih dari kalian adalah faqih, sampai dia menjadi seorang yang muhaddats. Maksudnya, ketika ia diajak berbicara secara batin, diberi pengetahuan, maka dia mendapatkan ilham. Periwayat ini merasa keheranan dan berkata, “Dapatkan seorang faqih menjadi muhaddats? Mungkinkan seorang faqih menjadi muhaddats?] Muhaddats adalah ciri-ciri khusus para nabi dan imam. Imam Shadiq as berkata,Dia akan mufahham (diberi pemahaman) dan orang yang diberi pemahaman itu adalah muhaddats”. Lihat Murtadha Muthahari. Kenabian Terakhir. (Jakarta: Lentera, 2001), h. 166.
[42] Mujtahid dan Marja’ disyaratkan bukan hanya ahli dalam fikih saja, tetapi juga kesucian hati. Imam Ali bin Abi Thalib berkata: “Faqih berada pada posisi yang paling tinggi, mengeluarkan setiap yang masuk. Seorang yang hendak menerapkan berbagai cabang pada pokoknya; mesti memiliki sifat di atas keadilan. Kita tidak hendak mengatakan bahwa mereka menerima wahyu atu ilham, tetapi mestilah lebih tinggi dari yang lain. Memiliki kesucian dan kecerahan hati yang senantiasa mendukung dan membimbingnya. Tidak cukup hanya dilengkapi kekuatan berpikir, tetapi juga mesti dilengkapi dengan kekuatan jiwa dan maknawiyah. Lihat, Murtadha Muthahari. Kenabian, h. 166.
[43] Untuk kompetensi faqahah, misalnya, banyak dirumuskan dalam buku-buku fiqih persayaratan seseorang untuk dikategorikan sebagai ahli fikih atau mujtahid. Diantaranya harus menguasai disiplin ilmu-ilmu keislaman diantaranya Bahasa Arab dengan aneka cabangnya, fiqih dan Ushul Fiqh,   ilmu Hadis, Ilmu al-Rijal (Ilmu menyelidiki para penyebar hadis dan orang-orang yang membentuk mata rantai penyebaran sejak masa kemunculan hadis), dan pengetahuan penuh tentang ayat-ayat al-Quran (ulum al-Quran). Lihat Ali Mishkini, Wali, h. 9-10.
[44] Chibli Mallat, Menyegarkan, h.65.