oleh: Candiki Repantu
MAKNA WILAYAH Al-FAQIH[1]
Wilayah
dalam bahasa Arab berarti kedaulatan, kekuasaan, perwalian dan
pengawasan.[2] Dalam terminologi syiah, kata ini menjadi
istilah kunci perumusan politik Islam, yang mengindikasikan kepemimpinan
universal. Adapun faqih, secara etimologis, dari bahasa Arab
yang bermakna “seseorang yang baik pemahamannya”. Berbeda dengan fahim,
arif, atau alim dan kata serupa lainnya, —yang sifat katanya,
cenderung menyatakan pengalaman, ciri khas, dan selamanya tidak lepas dari
sebuah kualitas—maka faqih telah menjadi term khusus yang berkaitan
dengan ilmu yurisprudensi Islam (fikih), artinya, seorang faqih adalah
seorang yang ahli dalam ilmu fikih, mirip dengan hakim yang berarti seorang
yang ahli hukum dan tabib yang berarti ahli dalam pengobatan.
Oleh karena itu pada kajian ini, kata faqih tidaklah
sembarang pengetahuan yang diperoleh seseorang atau ahli pada umumnya, tetapi
tertuju pada kelompok ahli yang khusus, yang mengambil spesialisasi dalam ilmu
fikih. Jadi faqih adalah seorang mujtahid yang berhak
mengeluarkan hukum Islam dan mengeluarkan fatwa yang berhubungan dengan
peraturan-peraturan Islam yang sah dari sumber-sumber yang asli.[3]
Dengan demikian wilayatul faqih secara sederhana berarti sebuah
sistem pemerintahan yang kepemimpinannya di bawah kekuasaan seorang faqih yang
adil dan berkompeten dalam urusan agama dan dunia atas seluruh kaum muslimin di
‘Negeri Islam’ yang bersumber dari kekuasaan dan kedaulatan absolut Allah atas
umat manusia dan alam semesta. Dalam bentuk aplikatifnya di Iran pemimpin
tertinggi wilayatul faqih ini disebut juga dengan rahbar dan wali
al-amr.
Konsepsi wilayah faqih ini, seperti dijelaskan sebelumnya,
merupakan kelanjutan dari doktrin kenabian dan imamah, yang mana secara
periodik dalam sejarah syiah, kepemimpinan universal berdasarkan mandat ilahi
terbagi pada empat periode, yaitu periode nabi, periode imam, periode kegaiban sughro
(gaib kecil), dan periode kegaiban kubro (gaib besar/sempurna).
Selama imam ke-12 mengalami gaib kubra (kegaiban
panjang), hingga ia muncul (zuhur) kembali pada akhir zaman, maka para
ulama (faqih) dinobatkan menjadi penerus rangkaian kepemimpinan umat
ini sebagai wakil imam (naib al-imam). Meskipun begitu, sebagaimana
para imam mengambil alih seluruh peran kepemimpinan umat dari Nabi Saw, maka
para faqih juga memiliki hak dan peran yang sama dalam hal ini.
Tepatnya, mereka mewakili pelaksanaan peran ini dari imam, yakni imam terakhir
(Muhammad al-Mahdi) yang sedang gaib. Bahkan dipercayai bahwa para ulama
seperti ini mendapatkan bimbingan imam yang sedang gaib tersebut.
Hanya bedanya, jika para imam mendapatkan kedudukannya dari Allah, sehingga
dengan demikian maksum (terpelihara dari kesalahan), para ulama (faqih)
ini memperoleh kedudukannya berdasarkan kualifikasi yang dimilikinya. Dan,
tidak seperti Nabi dan imam, mereka tidaklah maksum. Dalam bentuk
formalnya, di Republik Islam Iran, faqih yang berkedudukan sebagai Wali
Faqih dipilih oleh suatu Dewan Ahli yang beranggotakan para ulama
terkemuka, yang memperoleh jabatannya itu lewat pemilu demokratis seperti akan
diuraikan berikutnya.
SEJARAH
GAGASAN WILAYAH AL-FAQIH
Meskipun dipopulerkan bahkan secara praktis baru berhasil
dilaksanakan oleh Imam Khumaini, tetapi pemikiran mengenai konsepsi wilayah
al-faqih bukanlah hal baru dalam tata politik syiah. Setidaknya ia telah
menjadi kajian oleh tokoh-tokoh syiah klasik seperti Syeikh Thusi, Sayid
Murtadha, Bahrul ulum, Syeikh Mufid, Muhaqqiq al-Hilli, Muhaqqiq Karaki, dan
lain-lainnya.
Syeikh Mufid (w 1022M) yang merupakan salah seorang ulama besar
syiah telah mengajukan gagasan bahwa pemimpin yang ditunjuk oleh Tuhan
merupakan sosok yang diakui sebagai pemegang otoritas untuk menyuruh atau
melarang melukai dan membunuh dalam konteks amar ma’ruf nahi munkar. Pelaksanaan
perintah itu dilakukan oleh para Imam-imam maksum yang terpilih, atau oleh para
penguasa yang ditunjuk oleh imam maksum, atau oleh para fuqaha syiah
yang telah ditunjuk oleh imam-imam maksum sebagai para pemimpin masyarakat Islam
sekaligus pelaksana syariat Islam.[4]
Penjelasan Syeikh Mufid bahwa para imam maksum telah memberi
kepercayaan pembuatan keputusan tentang pelaksanaan hukum-hukum Islam kepada
para fakih syiah mereka,[5] telah menegaskan tentang posisi fakih yang
menggantikan posisi imam untuk mengimplementasikan hukum-hukum ilahi menjadi
petunjuk jelas akan konsepsi wilayah al-faqih. Lebih jauh ia
mengungkapkan, “(Penerapan hukum-hukum Islam) secara nyata mendukung seseorang
(fakih) yag telah ditunjuk pemegang kekuasaan atas tugas tersebut, atau telah
ditunjuk olehnya sebagai orang yang bertanggung jawab atas sejumlah utusan
pokoh yang dimilikinya. Maka, ia harus melaksanakan keputusan hukum Islam,
menerapkan perintah-perintah hukum agama, ber-amar ma’ruf nahi
munkar, serta berjihad melawan kaum kafir.[6]
Di bawah ini akan dikutip beberapa penegasan ulama-ulama syiah
dari yang klasik hingga sekarang untuk mengetahui kontinuitas historis konsepsi
wilayah al-faqih:[7]
- Muhaqqia al-Hilli (w.1277) menyebutkan, “Merupakan sebuah perintah bahwa ‘bagian imam’ (hissat al-imam) dibagikan secara adil kepada mereka yang layak menerimanya oleh orang yang mempunyai otoritas disebabkan kedudukannya sebagai wakil imam (niyabah); sebagaimana dirinya juga bertanggung jawab untuk menunaikan berbagai kewajiban (agama) semasa kegaiban imam maksum.”
- Zainuddin bin Ali Amili alias Syahid Tsani (w. 1559 M) menerangkan, “Orang yang memiliki otoritas karena pendelegasian dari imam adalah fakih adil syiah yang memenuhi seluruh persyaratan untuk mengeluarkan fatwa-fatwa. Sebab, orang seperti ini adalah wakil dan yang ditunjuk Imam Zaman.”
- Muhaqqiq Karaki (w. 1561) mengungkapkan, “…Fakih yang memenuhi syarat penuh (faqih jami’ al-syarait), yang disebut mujtahid, adalah wakil atau deputi (naib) imam-imam maksum as dalam semua urusan berdasarkan konsep perwakilan (niyabah).
- Jawad bin Muhammad Husaini Amili (w. 1811) menegaskan, “Fakih ditunjuk Imam Zaman dan ini didukung argument (akal), ijma’, riwayat-riwayat, dan hadits-hadits.”
- Mulla Ahmad Naraqi (w.1829) lebih tegas lagi menyatakan bahwa fakih mempunyai wilayah (otoritas) atas dua permasalahan. Pertama, fakih mempunyai wilayah seperti dimiliki nabi dan para imam maksum sebagai pemimpin atas masyarakat dan benteng pertahanan Islam. Kedua, fakih mempunyai wilayah atas apa pun yang berhubungan dengan masalah spiritual dan keduniawian masyarakat yang perlu diselesaikan.
- Syeikh Muhammad Hasan Najafi (w. 1849) menulis, “Saya percaya bahwa Allah telah menjadikan kepatuhan dan kesetiaan pada para fukaha ‘pemegang otoritas’ (ulil amri) sebagai kewajiban kita; bukti-bukti mengenai pemerintahan fakih, khususnya hadis dari imam Mahdi membenarkan hal ini.”
- Bahrul Ulum (w. 1908) membicarakan masalah wilayah al-faqih dengan mengajukan beragam dalil, diantaranya ia berkata , “..untuk memelihara masyarakat Islam, Imam harus mengangkat seorang pengganti atau wakil yang tak lain kecuali seorang fakih yang memenuhi persyaratan lengkap.”
- Ayatullah Burujerdi (w. 1962) mengungkapkan bahwa pemerintahan fakih dalam segala urusan merupakan aksioma. Ia menulis, “…untuk menyimpulkan, berkenaan dengan apa yang dimengerti, tidak ada keberatan yang dapat dimunculkan untuk menolak kenyataan bahwa fakih adil diangkat untuk melihat masalah-masalah penting yang mempengaruhi masyarakat.”
- Ayatullah Syeikh Murtadha Ha’iri menganggap bahwa perintah suci dari Imam Gaib sebagai salah satu bukti tentang wilayah al-faqih, “Fakih adalah pemilik kewenangan yang ditunjuk—hujjah—imam. Menjadi hujjah yang diangkat imam, secara umum, berarti bahwa fakih memiliki kekuasaan dan menjadi rujukan dalam hal apa saja yang menjadi perhatian imam.”
- Imam Khumaini (w. 1989) yang dianggap sebagai peletak sistematis wilayah al-faqih dan mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mengimplementasikan hal tersebut. Baginya, para fakih menerima wilayah absolut yang memegang semua tanggung jawab dan kakuasaan Imam Zaman (Imam Mahdi). Untuk itu Imam Khumaini menulis, “Imam maksum telah mempercayakan atas apa pun kepada para fukaha di mana mereka memiliki kewenangan (wilayah)…dan bahwa fakih menerima semua kekuasaan dari Nabi saaw dan Imam ke-12 dalam aturan dan pemerintahan.”
Dengan keterangan ini, jelaslah bahwa konsepsi wilayah
al-faqih bukanlah gagasan asing yang tidak memiliki akar pemikiran dalam
sejarah Islam. Bahkan dalam bentuk praktisnya, para fukaha ini telah memainkan
peran penting dalam setiap pemerintahan baik secara langsung maupun tidak
seperti pada masa kekuasaan Dinasti Safawid, Dinasti Buwaihi, Dinasti Qajar,
Dinasti Pahlevi, dan tentunya secara factual pada masa Republik islam Iran
pasca Revolusi Islam. Imam khumaini sendiri mengakui bahwa wilayah
al-faqih bukanlah hal yang baru. Beliau menulis :
“Sebagaiman saya sebutkan sebelumnya, tema wilayah al-faqih
bukanlah hal yang baru. Bahkan masalah ini telah dibahas sejak dulu…saya hanya
membahasnya lebih panjang berkenaan dengan cabang-cabang pemerintahan yang
berbeda, untuk memberikan penjelasan yang lebih banyak tentang masalah ini.”[8]
Jadi, merujuk pada hal ini, maka Imam Khumaini sebenarnya
mengumandangkan kembali hal-hal yang telah dikaji, diulas dan diyakini oleh
para ulama dan masyarakat syiah. Teriakan Imam Khumaini ini, ternyata berhasil
menyadarkan kevakuman yang tejadi untuk mengalirkan semangat baru bagi usaha
membentuk pemerintahan ilahiah di bumi Allah yang diciptakan untuk diwarisi
oleh hamba-hamba yang shalih.
DASAR
WILAYAH AL-FAQIH
Telah diuraikan sebelumnya, bahwa sebagaimana dalam mazhab Ahl
al-Sunnah, dalam pemikiran syiah, otoritas dan kedaulatan hanyalah hak
preogatif Allah (Q.S. al-A‘raf: 54; Ali ‘Imran: 154; Yusuf: 40). Baru kemudin
Allah mendelegasikan haknya tersebut kepada Nabi Muhammad Saw (Q. S. al-Nisa‘:
80; al-Ahzab: 36). Setelah berakhirnya nubuwwah, hak-hak tersebut beralih
kepada ulu al-amri yang menurut kepercayaan Syi’ah Itsna ‘Asyariyah
adalah para Imam yang berjumlah dua belas orang. Imam mendapatkan haknya
sebagai penerus Nabi Muhammad Saw, yang tidak berstatus Nabi, dan tidak pula
membawa syariat, namun sebagai penjelas resmi syariat Nabi Muhammad saaw
langsung dari Allah, lewat Nabi Saw. Mereka disebut wali al-naìb.
Prinsipnya, karena sifat luthf (kasih sayang) dan hikmah
(kebijaksanaa)-Nya, Allah tak akan membiarkan suatu umat tanpa
bimbingan.[9] Dengan kata lain, Allah selalu mengirim
utusan pada setiap umat (Q.S. al-Nahl: 36). Jadi, kesinambungan
kepemimpinan sejak Nabi, Imam, hingga Faqih adalah suatu keniscayaan
keagamaaan. Di bawah ini, adalah hadis yang masyhur, bersumber dari Imam
Ja‘far al-Shadiq, Imam Keenam mazhab syiah, “Menyangkal wewenang
seorang mujtahid (faqih) berarti menentang wewenang Imam. Menentang wewenang
Imam berarti menentang wewenang Nabi Saw. Menentang wewenang Nabi Saw, berarti
menentang wewenang Allah. Menentang wewenang Allah, sama dengan syirik”. [10]
Hadis lain dari Imam Ja`far al-Shadiq menyebutkan: “Terlalu
besar kekuasaan Allah sehingga (tak mungkin) Dia meninggalkan dunia dan para
penghuninya tanpa seorang pemimpin dan pembimbing yang menegakkan keadilan.”
Imam Ja’far Shadiq ditanya, “Mungkinkah Allah membiarkan suatu masyarakat
tanpa pemimpin?” Dia menjawab, “Tak mungkin.” [11]
Kemudian Muhammad Baqir Sadr megemukakan, legitimasi atas otoritas
para Faqih ini dapat dilihat pada surah al-maidah ayat 44 :
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat yang di
dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab
itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi (nabiyyun] yang
berserah diri kepada Allah, oleh orang Alim mereka [Rabbaniyun], dan
pendeta-pendeta mereka [ahbar], disebabkan mereka diperintahkan memlihara
kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya (syuhadaa).” (Q.S. al-Maidah:
44)
Interpretasi Sadr atas ayat itu menjelaskan karakterisasi
yang menyentuh baik penafsiran konstitusional politis maupun suatu pemahaman
berkarakter syiah. Menurutnya, ada tiga kategori dari ayat ini, yaitu nabiyyun,
rabbaniyyun dan ahbar. Kelompok ahbar adalah ulama dari
syariat, dan rabbaniyyun membentuk sebuah lapisan tengah antara
kelompok nabi dan `alim, inilah level dari para Imam. Karena
itu adalah mungkin untuk mengatakan bahwa garis dari syahadah (pernyataan
kesaksian) dihadirkan oleh tiga mandataris yakni para Nabi (anbiya`), para
Imam sebagai penerus para nabi sesuai kehendak Allah (rabbani), dan
marja’`iyyah, yang dipertimbangkan sebagai kesinambungan (rasyid) dari
Nabi dan Imam dalam garis kelompok syahadah.[12]
Pada interpretasi ayat Alquran ini, Baqir Sadr telah mengekstraksi
suatu skema institusional syiah murni. Pertama, ia menghapus referensi
paten Yudais dengan mengkategorikan Taurat di bawah klasifikasi “buku
ketuhanan”. Kemudian, dengan mengaJukan kelompok rabbaniyun pada kedua
belas Imam Ja`fari, Sadr bagaikan telah melingkarkan sebuah cincin syiah yang
kuat pada interpretasinya. Para ahbar, diterjemahkan sebagai ahli
hukum (faqih), dimaksudkan untuk mengartikan marja’`iyah syiah—yang
bagi Shadr menetapkan badan saksi terakhir dalam garis syahadah—yang
dipercayakan untuk melindungi Kitab Suci setelah Nabi Muhammad dan Dua Belas
imam. Dibebani dengan suatu implikasi tanggung jawab publik, syahadah menganugerahkan
pada marja’`iyah tugas untuk menjaga Republik Islam.[13]
Tabathabai juga telah memberi penafsiran ayat ini dengan sangat
menarik. Ia menyatakan bahwa dari ayat ini, dipastikan terdapat satu tingkat (manzilah)
di antara lapisan anbiya` dan ahbar, yang merupakan
tingkat para Imam. Dan kombinasi antara kenabian serta imamah dalam
satu kelompok tidak merintangi mereka untuk terpisah satu sama lain.
Sebuah pemisahan formal diperkenalkan di antara tiga
kategori; golongan para nabi, golongan imam-imam dan golongan ulama. Imam Ali
berkata, ‘para Imam berada di bawah para Nabi’, bermakna bahwa mereka
terletak satu derajat di bawah tingkat para nabi mengacu pada gradasi ayat
tersebut, dengan cara yang sama sebagaimana para ahbar, yang tidak
lain adalah para ulama, berada di bawah para imam (rabbaniyun).[14]
Dalam konsep Wilayah al-Faqih, menurut Ahmad Mousawi, dan
Jalaluddin Rakhmat, kepemimpinan didasarkan atas empat prinsip filosofis: pertama,
Allah adalah Hakim Mutlak seluruh alam semesta dan segala isinya. Kedua,
kepemimpinan manusia (qiyadah al-basyariyah) yang mewujudkan hakimiyah
Allah di bumi ialah nubuwwah. Ketiga, garis imamah
melanjutkan garis nubuwah dalam memimpin umat. Keempat, para faqih
adalah khalifah para imam dan kepemimpinan umat dibebankan kepada
mereka.[15]
Dengan pemikirannya yang khas, Muhammad Taqi Misbah yazdi, salah
seorang anggota majma al-mudarrisin merumuskan dalil-dalil wilayah
al-faqih dalam dua ketegori yaitu dalil-dalil akal (aqliyah) dan
dalil-dalil wahyu (naqliyah). Secara rasional, pemerintahan merupakan
kebutuhan yang mendasar bagi kehidupan individu dan masyarakat, dan dalam
pemerintahan jelas dibutuhkan adanya pemimpin. Pemimpin tersebut, selama
kegaiban Imam Mahdi as, diberikan kepada para fakih yang memahami hukum Islam
dan persoalan masyarakat. Hal ini sesuai dengan mandat Imam Mahdi sendiri yang
bersabda, “Atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat, maka
kembalikanlah kepada para perawi hadits kami, karena sesungguhnya mereka adalah
hujjahku atas kamu dan aku adalah hujjah Allah atas mereka.” [16]
Hal ini, merupakan dalil bahwa seseorang yang mendekati derajat
kemaksuman harus menempati posisi imam maksum, dalam membimbing dan memimpin
umat. Posisi ini hanya layak ditempati oleh orang yang memiliki tiga
kompetensi, yakni pengetahuan mendalam tentang hukum dan peraturan dasar Islam
(faqahah), memiliki kepribadian dan akhlak mulia yang mampu mengontrol
ruh dan dirinya, untuk senantiasa mentaati Allah dan tidak akan secara sengaja
atau tidak sengaja melanggar hukum Islam (takwa), dan mampu mengatur masyarakat
serta memahami kondisinya (kafaah).[17]
Masih menurut Yazdi, dari sudut pandang Islam tidak ada manusia
yang memiliki hak secara intrinsik untuk mengatur orang lain, bahkan jika ia
mengeluarkan ketetapan-ketetapan yang benar dan adil, karena semua orang, sebagaimana
makhluk-makhluk Allah lain, adalah diciptakan dan merupakan kepunyaan Allah
Yang Maha Kuasa, dan tak seorang pun yang boleh turut campur dengan kepunyaan
orang lain tanpa izin pemiliknya. Seorang manusia tidak memiliki hak, bahkan
untuk menggunakan anggota tubuhnya sendiri dengan cara yang bertentangan dengan
kehendak Tuhan, dan sebagai konsekuensinya, ia tidak bisa membiarkan orang lain
melakukannya juga. Karenanya, satu-satunya yang memiliki hak mutlak untuk
memerintah dan menolak siapa pun dan apa pun hanyalah Tuhan Yang Maha Esa.
Semua otoritas dan wilayah harus berasal dari Dia atau paling tidak
dengan hukum-hukumnya. Jelas bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa tidak akan pernah
mengizinkan siapa pun untuk menjalankan hukum tanpa memiliki pengetahuan yang memadai
tentang hukum-hukumnya, atau tanpa jaminan kebenaran dari tindaknnya dan
kepatuhannya pada hukum-hukum ketuhanan, atau tanpa ketakwaan, dan kualifikasi
moral yang memadai.[18]
Interpretasi bahwa Allah pemegang kekuasaan Mutlak tampaknya
berlaku bagi mayoritas ulama Islam, baik syi’ah maupun sunni yang menganggap
Islam adalah agama dan kekuasaan (al-din wa al-daulah). Artinya, Islam
meyakini bahwa kedaulatan hanya milik Allah, dan umat manusia hanyalah
pelaksana-pelaksana kedaulatan Allah tersebut sebagai khalifah-khalifah Allah
di bumi.
Banyak ayat al-Quran yang bisa dijadikan dasar bagi politik Islam
yang mengindikasikan tentang Allah pemilik kedaulatan mutlak, antara lain:
“Katakanlah, `Wahai Tuhan Yang Mempunyai Kerajaan, Engkau
berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang
Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan
Engkau-lah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
(Q.S. Ali Imran: 26).
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi; dan Allah
Mahaperkasa atas sesuatu.” (Q.S. Ali Imran: 189)
“ Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang Khalifah di muka bumi.” (Q.S.
al-Baqarah: 30).
“Sesungguhnya
Aku akan menjadikanmu Imam bagi seluruh manusia. Ibrahim
berkata: ‘(Dan saya mohon juga) dari keturunanku’. Allah berfirman: ‘janji-Ku
(ini) tidak mengenai orang yang zalim.” (Q.S. al-Baqarah :
124).
“Allah
telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan beramal
shaleh (kebaikan), bahwa Dia akan menjadikan mereka sebagai khalifah di bumi,
Sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka sebagai khalifah..”
(QS. An-Nur : 55).
Ayat-ayat al-Quran tersebut, di samping ayat-ayat yang lain,
menegaskan bahwa Allah Swt adalah sumber segala kekuasaan. Ayat-ayat itu juga
menjelaskan bahwa dalam Islam tidak ada seorang pun yang mempunyai kekuasaan
mutlak, sehingga boleh memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Artinya,
meskipun seseorang telah mendapat restu Tuhan untuk menjadi pemimpin dan
penguasa di bumi, tetapi tetap tidak diperbolehkan memaksakan kepemimpinannya
tersebut tanpa persetujuan dan kesadaran masyarakat dalam mengimplementasikan
sendiri kepemimpinan ilahiah tersebut.
Hanya saja, al-Quran juga menegaskan bahwa Allah sebagai pemilik
kekuasaan mutlak menghendaki manusia agar mampu berperan sebagai wakil (khalifah)-Nya
di bumi. Oleh karena itu, manusia dapat mengklaim dirinya mempunyai kekuasaan
tak terbatas sepanjang digunakan hanya demi memenuhi kehendak-Nya.[19] Allah berfirman :
“Dan Dia-lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi
dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian yang lain beberapa derajat
untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu
amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
(Q.S. al-An-am: 165)
“Hai
Daud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka
berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan
Allah.”(Q.S. Sad: 26)
Dengan konsep kekuasaan seperti ini, tidak ada lagi pertentangan
antara kekuasaan Allah dan kebutuhan manusia akan adanya pemerintahan. Allah
Swt tetap berkedudukan sebagai satu-satunya pemilik kekuasaan itu. Tetapi, uji
coba kekuatan dan kekuasaan itu didelegasikan kepada Nabi Muhammad Saaw. atau
khalifah Allah di bumi yang mendapat instruksi untuk menegakkan pemerintahan
yang adil.[20] Bedanya, sunni menganggap kekuasaan
didelegasikan kepada masyarakat untuk melanjutkan tugas kepemimpinan, sementara
syiah memandang terdapat kontinuitas kepemimpinan yang diwariskan (imamah),
dan setelah kegaiban imam kedua belas, pemilik otoritas kepemimpinan berlanjut
kepada para Faqih yang dipilih oleh rakyat.
NEGARA
DALAM PERSPEKTIF WILAYAH AL-FAQIH
“Mengkaji pemerintahan Islam merupakan suatu kewajiban dalam
agama. Pemerintahan Islam mengimplementasikan aturan Allah di muka bumi
sekaligus sebagai sarana pelaksanaan tugas manusia sebagai khalifah Allah…
Kajian tentang pemerintahan Islam menggunakan rujukan tersendiri dalam bidang
kebudayaan yang secara mendasar dapat membangkitkan semangat sosial yang sangat
luar biasa.”[21]
Sayid Muhammad Baqir Sadr memulai bukunya Intoduction to
Islamic Political System dengan ungkapan di atas. Memang diantara yang
menjadi permasalahan yang sangat krusial dari dahulu sampai sekarang—bahkan
semakin hangat dan memuncak—serta dapat memancing debat dan kontroversi, baik
dalam literatur Islam ataupun kajian politik dan dinamika budaya kekuasaan
adalah “bagaimana membentuk suatu pemerintahan Islam yang dapat menata
keharmonisan hubungan antara agama dan politik (negara)?
Persoalan pemerintahan Islam sebenarnya disepakati sebagai salah
satu persoalan penting dalam Islam baik dari sisi akidah terlebih dalam studi
fiqh. Dalam studi akidah (teologis), berdasarkan pada konsepsi tauhid
dan an-nubuwah (Kenabian) sebagai ushuluddin (dasar agama)
dalam Islam, jelas dipahami bahwa Tuhan adalah pemegang mutlak kekuasaan di
dunia dan di akhirat, dan dengan izin-Nya pula, telah mendelegasikan wewenang
kepada Nabi Muhammad saww sebagai mandataris-Nya. Maka setidaknya ada enam
fungsi kenabian:
- Menerima syariat
- Menjelaskan syariat
- Mengamalkan syariat
- Menyebarkan syariat
- Memberi teladan dan membimbing umat
- Menjaga syariat dari kebatilan, penyelewengan dan kesalah pahaman.
Keenam fungsi kenabian tersebut mestilah diimplementasikannya
sesuai kemampuan dan kondisi yang meliputinya. Akan tetapi, nabi, tidak saja
pasrah mengikuti situasi dan jebakan kondisi, melainkan dengan kreatifitas dan
inovasinya berjuang keras untuk membaktikan diri sepenuhnya dalam usaha
mengaktualkan syariat-syariat Allah di permukaan bumi ini. Untuk itu, ia akan
berusaha membentuk suatu kekuatan massa yang mampu menjaga syariat Allah
tersebut dari kejahilan dan kejahatan manusia yang ingin merusaknya. Di sini,
kepemimpinan dan komunitas sosial-politik yang menjadi penting dan bermakna.
Pengemban wasiat kenabian, Imam Ali bin Abi Thalib menyatakan
tentang keharusan adanya pemerintahan, dengan kalimat yang fasih :
“Manusia tidak bisa berbuat apapun tanpa pemerintahan, baik atau
buruk. Di bawah naungan suatu pemerintahan, orang-orang yang beriman dapat
berjuang demi Allah, orang-orang kafir mendapatkan keuntungan duniawi mereka,
dan manusia memetik hasil kerja keras mereka. Melalui kekuasaan pemerintahlah,
pajak-pajak dikumpulkan, para penjajah diusir, keamanan jalan dilindungi, dan
orang-orang tertindas dapat menuntut kembali hak-hak mereka, hingga warga yang
saleh akan bahagia dan aman dari kejahatan si penindas.”[22]
Begitu pula, para ulama mengamini pandangan bahwa mendirikan
sebuah sistem pemerintahan adalah kewajiban yang mesti ditegakkan demi
terealisasinya kemaslahatan kaum muslimin.[23] Bahkan semua ahli ittifaq, suatu
petaka besar bagi masyarakat, hidup dalam rimba kehidupan tanpa aturan dan
pemimpin. Hal itu menjadi jelas, baik dari pendekatan normatif (naqliyah)
dan empiris-historis, maupun dari pendekatan rasional (aqliyah) dan
nalar filosofis.
Dengan berpegang pada wahyu dan akal, pengusung wilayah
al-faqih meyakini bahwa agama diturunkan untuk mengatur seluruh dimensi
kehidupan. Agar tujuan tersebut terealisasi secara baik, maka pemerintahan
sebagai suatu sarana untuk mengatur kehidupan bermasyarakat umat manusia, tidak
dapat dipungkiri sebagai bagian dari persoalan krusial keagamaan, bahkan
merupakan bagian penting untuk terealisasinya pelaksanaan hukum Tuhan di bawah
kendali manusia-manusia pilihan-Nya agar keadilan tercipta, kedamaian dan
kebahagiaan dunia dan akhirat di dapat. Karena mengimplementasikan syariat
merupakan kewajiban dan hal itu dapat terealisasikan melalui pendirian sebuah
negara, maka mendirikan pemerintahan Islam juga merupakan kewajiban (ma la
yatim al-wajib illa bihi fahuwa wajib). Imam Khumaini berkata:
“Menjaga dan membela pemerintahan merupakan kewajiban yang sangat
ditekankan, sementara merusak urusan-urusan kaum muslimin merupakan perbuatan
yang sangat dibenci. Kedua-dua kondisi ini hanya dapat terealisir dan
terenyahkan dalam kehidupan kaum muslimin dengan adanya seorang wali (penguasa)
dan pemerintahan… Menjaga dan membela wilayah teritorial kaum muslimin dari
serbuan musuh adalah sebuah keharusan, baik secara akal maupun syariat. Kondisi
ini mustahil dilakukan tanpa membentuk sebuah pemerintahan. Semua itu merupakan
kebutuhan kaum muslimin. Dan kebutuhan yang sangat vital ini mustahil tidak
mendapat perhatian Allah… Mungkinkah Allah yang terkenal dengan hikmah-Nya
membiarkan umat Islam tanpa menentukan kewajiban untuk mereka? Ataukah Allah rela
dengan berbagai kekacauan dan rusaknya sebuah sistem?”[24]
Dengan demikian, keberadaan negara dalam perspektif wilayah
al-faqih adalah sebuah keniscayaan, karena itu harus tetap menjadi
cita-cita yang tertanam kuat di dalam jiwa setiap kaum muslimin.
Lebih dari itu, negara dalam perspektif wilayah al-faqih
ini melintasi batas-batas geografis. Artinya, Islam mengklaim dirinya sebagai
agama universal yang diperuntukkan bagi semesta alam kapan pun dan di manapun (shalih
li kulli zaman wa al-makan), “Katakanlah: Hai manusia sesungguhnya aku
adalah utusan Allah kepadamu semua” (Q.S. al-A’raf: 158); “Dan Kami
tidak mengutusmu (hai Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta”
(Q.S. al-Anbiya: 107), “Kami mengutusmu menjadi rasul kepada segenap
manusia” (Q.S. al-Nisa: 79).
Dengan begitu, Negara Islam juga, merupakan negara yang meliputi
jagat raya dalam satu kesatuan yang utuh, di mana batas-batas yang disepakati bersama
oleh masyarakat tidak mempengaruhi sistem politik Islam yang monolitik.
Meskipun begitu, Negara Islam tetap menghargai dan bergantung pada mekanisme
yang memungkinkan dalam setiap masa. Maksudnya, dalam bentuk praktis
operasionalnya, Negara Islam dapat disesuaikan dengan berbagai hal yang
dianggap signifikan dalam perkembangan masyarakat serta tata politik dunia.
Misalnya, pada saat ini, dengan banyaknya sistem yang berdaulat dan perubahan
tata politik dunia, kesatuan yang utuh dari Negara Islam dapat dibagi-bagi ke
dalam unit-unit yang lebih kecil dengan kedaulatan negaranya masing-masing,
yang dikelola oleh para fakih yang berasal dari wilayahnya masing-masing.[25]
FUNGSI,
TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB WILAYAH AL-FAQIH
Melihat pada kontinuitas kepemimpinan ilahiah, yang melalui jalur
kenabian, kemudian dilanjutkan melalui garis imamah, dan juga ulama (faqih),
maka fungsi kepemimpinan mencakup empat hal yaitu :
- Fungsi legislatif yakni menemukan dan menerangkan syariat (hukum) yang datang dari sisi Allah dan menjadi sumber rujukan hukum. Kita ketahui bahwa tidak semua orang mampu untuk menggali khazanah wahyu Tuhan padahal kita di tuntut untuk menjalankan aturan Tuhan. Karenanya bagi yang tidak paham dianjurkan untuk bertanya pada yang memahami, “maka bertanyalah kepada kepada ahli zikr, jika kamu tidak mengetahui” (Q.S. an-Nahl: 43); “…Apa yang diberikan rasul kepadamu, maka terimalah ia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Q.S. al-Hasyr : 7).
- Fungsi yudikatif yakni memutuskan dan menyelesaikan berbagai perselisihan yang terjadi. Hal ini karena disatu sisi manusia merupakan makhluk sosial, namun di sisi lain hubungan sosial itu tidak selamanya harmonis.[26] Untuk itu diperlukan orang yang dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi. “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat”. (Q.S. al-Nisa: 105); “Manusia adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab dengan benar untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan…” (Q.S. al-Baqarah: 213);
“…Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta
putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah
dari mereka, maka mereka tidak akan memberi mudarat kepadamu sedikitpun. Dan
jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara
mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.” (al-Maidah: 42); “…maka putuskanlah
perkera mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu menuruti
hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu”
(Q.S. al-Maidah: 48); “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hokum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pelajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat.” (al-Nisa: 58); “Maka demi Tuhan-mu, mereka (pada
hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara
yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati
mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya.” (Q.S. an-Nisa: 65);[27]
- Fungsi eksekutif yakni memimpin dan mengatur masyarakat atau membentuk pemerintahan. Dalam suatu komunitas, agar hubungan diantara sesamanya harmonis maka diperlukan adanya pemimpin yang menegakkan hukum-hukum, “Nabi itu lebih berhak bagi diri orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri” (Q.S. al-Ahzab: 6), Ambillah olehmu (Muhammad) sedekah untuk membersihkan mereka dan mengembangkan kehidupan mereka” (Q.S. at-Taubah: 103). “Hai orang-orang yang beriman, tatatilah Allah dan tatatilah rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (Q.S. al-Nisa: 59); “Sesunguhnya pemimpin kamu adalah Allah, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat selagi mereka ruku” (al-Maidah: 55).
- Fungsi edukatif yakni menjadi pembimbing dan pendidik umat untuk mensucikan mereka menuju kesempurnaan kemanusiaan yang sesuai dengan aturan ilahiah, “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan hikmah serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (Q.S. al-Baqarah: 151); “Dan Kami tidak menutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui … dan Kami turunkan kepadamu al-Quran agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (Q.S. an-nahl: 43-44), “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Q.S. al-Jumuah: 2)
Keempat fungsi ini merupakan wewenang pemimpin. Meskipun begitu,
secara praktis pemimpin dapat mendelegasikan wewenangnya tersebut kepada orang
lain –dengan tetap dibawah kendalinya— yang dipilihnya, atau yang memenuhi
syarat yang ditetapkannya, “Dan berkatalah Musa kepada saudaranya yaitu
Harun, ‘gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah
kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan”. (Q.S. Al-A’raf:
142).
Melihat pada empat fungsi kepemimpinan di atas, maka tugas-tugas
para faqih (ulama) membutuhkan kompetensi yang tinggi dan teruji baik
dari sisi kompetensi intelektual maupun kompetensi keribadian dan keterampilan
memimpin.
Adapun menurut ‘Ain Najaf sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin
Rahmat, tugas para faqih adalah sebagai berikut:[28]
- Tugas intelektual (al-‘amal al-fikry); ia harus mengembangkan berbagai pemikiran sebagai rujukan umat. Ia dapat mengembangkan pemikiran ini dengan mendirikan majelis-majelis ilmu, pesantren, atau hauzah; menyusun kitab-kitab yang bermanfaat bagi manusia yang meliputi ilmu Alquran, al-hadis, aqaid, fiqih, ushul fiqh, ilmu-ilmu aqliyah, matematika, tarikh, ilmu bahasa, kedokteran, biologi, kimia dan fisika; membuka perpustakaan-perpustakaan ilmiah.
- Tugas bimbingan keagamaan; ia harus menjadi rujukan (marja’‘) dalam menjelaskan halal dan haram. Ia mengeluarkan fatwa tentang berbagai hal yang berkenaan dengan hukum-hukum Islam.
- Tugas komunikasi dengan umat (al-ittishal bi al-ummah); ia harus dekat dengan umat yang dibimbingnya. Ia tidak boleh terpisah dan membentuk kelas elit. Akses pada umat diperolehnya melalui hubungan langsung, mengirim wakil ke setiap daerah secara permanen, atau menyampaikan khutbah.
- Tugas menegakkkan syi‘ar Islam; ia harus memelihara, melestraikan dan menegakkan berbagai manifestasi ajaran Islam. Ini dapat dilakukannya dengan membangun masjid, meramaikannya dan menghidupkan ruh Islam di dalamnya; dengan menyemarakkan upacara-upacara keagamaan dan merevitalisasikan maknanya dalam kehidupan aktual; dan dengan menghidupkan sunah Rasulullah Saw. sambil menghilangkan bid‘ah-bid‘ah jahiliyah dalam pemikiran dan kebiasan umat.
- Tugas mempertahankan hak-hak umat; ia harus tampil membela kepentingan umat, bila hak-hak mereka dirampas. Ia harus berjuang “meringankan penderitaan mereka dan melepaskan belenggu-belenggu yang memasung kebebasan mereka”.
- Tugas berjuang melawan musuh-musuh Islam dan kaum Muslim; faqih (ulama) adalah mujahidin yang siap menghadapi lawan-lawan Islam bukan saja dengan pena dan lidah, tetapi juga dengan tangan dan dadanya. Mereka selalu mencari syahadah sebagai kesaksian atas komitmennya yang total terhadap Islam.
Dengan bahasa berbeda tapi mengandung esensi yang sama, Murtadha
Muthahhari menulis tentang tugas dan tanggung jawab wali faqih (pemimpin
para faqih)[29] :
- Seorang wali mengingatkan manusia akan musuh-musuhnya dan menanamkan semangat berjuang dan melawan penindas.
- Seorang wali menanamkan cinta kepada keindahan ilahiyah.
- Seorang wali menanamkan kepada manusia kebencian akan maksiat dan dosa.
- Seorang wali menunjukkan asal mula perintah, petunjuk dan hukum yang harus dipatuhi.
- Seorang wali melatih manusia untuk melindungi dan memelihara benteng ideologi di atas dengan segala risikonya.
- Seorang wali mengajar manusia untuk memegang teguh dan menjaga syari‘ah setelah memerangi dan menundukkan nafsu-nafsunya yang rendah.
- Seorang wali menanamkan pada diri manusia hasrat untuk taqarrub kepada Allah, berkhidmat kepada manusia, berbuat baik dan penyayang pada semua makhluk Allah.
Melihat fungsi, kedudukan, sifat dan kewajiban fuqaha dalam
falsafah Wilayah al-Faqih, dapat dipahami betapa berat tanggung jawab
dan kewajiban yang harus dilaksanakan para faqih. Hadis yang berasal
dari Imam Ali Ridha di bawah ini, menurut Yamani menjelaskan peran seorang
wali:[30]
“Pemimpin
(wali) umat adalah sarana untuk melindungi iman dan jaminan bagi persatuan
struktur sosial, pengembangan ekonomi, dan penerapan hukum-hukum Tuhan.
Keberadaannya menjamin keamanan perbatasan negeri dan penerapan hudud (hukum
pidana). Ia menjamin pemberian hak-hak Ilahi, memelihara integritas iman, dan
menjaga kehormatan umat Islam. ia menimbulkan kemarahan dan kesedihan di hati
kaum munafik dan merancang penghancuran kaum kafir. Imam umat adalah
penggembala rakyat, negarawan dan administrator-cakap urusan-urusan mereka,
yang kehendak dan keteguhannya tak pernah memudar dan melemah.”
Jika rumusan tugas dan tanggung jawab faqih di atas titik
tekannya bersifat umum, maka pada tataran yang lebih khusus, setelah
terbentuknya Republik Islam dan setelah terpilihnya wali faqih, maka
menurut Muhammad Baqir al-Shadr, wali faqih secara resmi
mewakili Islam. Mujtahid yang memegang otoritas tersebut adalah wakil umum Imam
Mahdi a.s. yang hak-hak hukumnya sebagai berikut :
- Ia merupakan pilar utama pemerintahan, yang memperoleh kedudukannya melalui otoritasnya. Ia adalah pemimpin tertinggi angkatan bersenjata.
- Dia memutuskan apakah suatu konstitusi yang dikonsepsikan sesuai atau tidak dengan hukum Islam.
- Dialah yang secara final menyetujui hukum-hukum sosial yang berlaku dalam perundang-undangan bebas.
- Jika timbul perbedaan terhadap poin-poin di atas, maka wali al-faqih menunjuk hakim pengadilan untuk memutuskan isu-isu tersebut.
- Ia mendirikan lembaga-lembaga peradilan di seluruh pelosok negeri untuk mendengar, memutuskn kasus-kasus dan untuk memelihara kepentingan-kepentingan dari partai-partai yang dirugikan. [31]
Seorang alim yang memenuhi kriteria-kriteria seperti di atas
dijabarkan dalam konsep Wilayah al-Faqih biasanya dijuluki marja’`i
taqlid. Masyarakat Islam syiah terbagi ke dalam dua golongan: mujtahid
dan muqallid. Mujtahid adalah orang yang memiliki kemampuan
berijtihad. Dalam konsep syiah, ijtihad selalu terbuka, tetapi tidak
semua orang dipandang mampu melakukannya. Yang tidak mampu harus merujuk kepada
ulama ikutan mereka (marja’). Kepada marja’, mereka bukan
saja menyerahkan keputusan-keputusan agama, melainkan juga memberikan zakat dan
khumus. Tetapi, kalau ulama itu cacat atau bersalah, umat dengan
serentak akan meningggalkan ulama tersebut. Sistem ini melahirkan ulama yang
secara alami terseleksi, bebas dari penguasa, dan berakar di masyarakat.
WEWENANG
MUTLAK WILAYAH
AL-FAQIH
Gambaran fungsi, tanggung jawab, dan kekuasaan faqih yang
diuraikan di atas setidaknya memberikan suatu garis demarkasi akan keabsolutan
wewenang faqih yang nyaris tak terbatas, sebab menjadi mendataris resmi nabi
dan para imam as. terutama Imam Mahdi afs. Imam Khumaini, peletak sistematis
konsep wilayah al-faqih menegaskan bahwa kewenangan seorang fakih yang
adil sama dengan wilayah nabi saaw. dan para imam as. meskipun kedudukan (maqam)
nabi dan imam jelas tidak sama dengan maqam-nya para fakih. Namun,
yang menjadi dasar pikir kewenangan fakih adalah fungsinya bukan kedudukannya (maqam).[32]
Dengan ini, maka jelaslah bahwa seorang fakih memiliki semua
tanggung jawab dan kekuasaan atas seluruh teritorial dan individual manusia.
Kewenangan ini dalam tata politik syiah disebut dengan wilayah al-faqih
al-mutlaqah (kewenangan faqih secara mutlak).[33] Kemutlakan ini memiliki dua cakupan:
Pertama,
masyarakat seluruhnya, atas siapa sang fakih menggenggam wilayah (mawla
‘alayhim). Di sini fakih memiliki kekuasaan (kewenangan) atas tiap-tiap
individu baik muslim maupun non-muslim, mujtahid maupun muqallid,
bahkan terhadap dirinya sendiri.
Kedua,
masalah-masalah di mana ia (fakih) menggenggam kekuasaan. Pada posisi ini,
fakih mempunyai otoritas dalam semua urusan masyarakat dan dapat mengeluarkan
peraturan, perintah, dan larangan untuk mereka sesuai dengan yang diwajibkan
bagi semuanya. Penggunaan otoritas fakih seputar masalah-masalah yang
diperintahkan—baik itu mewajibkan atau mengharamkan—bersifat mengikat secara
syariat.[34]
Ayatullah al-Uzhma Sayid Ali Khamenei, yang pada saat ini memegang
amanat sebagai wali faqih menggantikan Imam Khumaini menegaskan bahwa
seluruh kaum muslimin wajib mematuhi perintah-perintah wila’iyah
(perintah pemegang kepemimpinan) yang dikeluarkan pemimpin muslimin (wali
amr al-muslimin) dan wajib menerima sepenuhnya perintah dan larangannya,
termasuk seluruh fukaha besar dan para muqallid. Keterikatan kepada wilayah
al-faqih ini, menurut Sayid Ali Khemenei, merupakan keyakinan yang tidak
dapat dipisahkan dari keterikatan kepada pada Islam dan wilayah para imam
maksum (wilayah al-aimmah).[35]
Lebih lanjut tentang wilayah al-mutlaqah, Sayid Ali
Khemene’i menjelaskan :
“Yang dimaksud dengan wewenang mutlak (wilayah al-muthlaqah)
bagi fakih yang memenuhi persyaratan ialah bahwa Islam, yang merupakan agama murni
dan pamungkas agama-agama samawi dan yang kekal hingga hari kiamat, adalah
agama yang memerintah dan mengatur masyarakat. Karenanya, harus ada penguasa,
hakim Syar’i, dan pemimpin di tengah masyarakat Islam yang terdiri
dari semua lapisan agar dapat menjaga umat dari musuh-musuh Islam dan muslimin
serta menjaga sistem mereka, menegakkan keadilan, mencegah yang kuat agar tidak
menindas yang lemah, dan menyediakan sarana-sarana kebudayaan, politik, dan
sosial bagi kemajuan dan perkembangan mereka.
“Masalah ini dalam tingkat penerapan kadang kala bertentangan
dengan keinginan-keinginan, ambisi-ambisi, kepentingan-kepentingan, dan
kebebasan sebagian orang. Ketika melaksanakan taklif kepemimpinan
dalam acuan fikih Islam, penguasa kaum muslimin wajib mengambil
tindakan-tindakan yang dibutuhkan kapan saja ia memandang perlu hal itu.
“Yang bertalian dengan kemaslahatan umum bagi Islam dan muslimin
hendaknya keinginan dan kewenangannya mengungguli keinginan dan kewenangan
orang-orang di saat terjadi pertentangan.” [36]
Penjelasan dan uraian ini dengan gamblang telah menggariskan
wewenang mutlak wali faqih untuk dipatuhi oleh seluruh kaum muslim
(syiah). Namun, perlu pula ditegaskan bahwa wewenang yang dimiliki oleh fakih
tersebut, dalam batas-batas hukum Islam yang keberlakuannya dan pelaksanaannya
bukan hanya bagi masyarakat namun juga bagi fakih itu sendiri. Artinya, seorang
fakih, dengan wewenang mutlaknya, tidaklah akan menjadi pemimpin tataliter dan
otoriter yang diktator sehingga bebas dari pelaksanaan hukum-hukum Tuhan, sebab
dalam menggunakan kekuasaannya seorang fakih harus memahami dan
mempertimbangkan beragam faktor, seperti ketepatan, kebutuhan, prioritas, dan
kondisional persyaratan pelaksanaan hukum-hukum yang diputuskannya.[37] Pada sisi yang lain, kondisi ketakwaan dan
keadilan (adalah) yang dimiliki seorang fakih jelas memberikan
penjagaan total kepada dirinya untuk tidak berperilaku yang melanggar syariat
dan menunjukkan kehinaan dirinya.
KUALIFIKASI
MENJADI WALI
FAQIH
Pemimpin adalah manusia pilihan Tuhan, bukan pilihan manusia,
karenanya untuk mengaktualkan kepemimpinan ilahiah ini, masyarakat mesti
bersandar pada pesan-pesan Tuhan dalam memilih pemimpin, seperti : alim,
adil, mampu mengatur masyarakat, dan sebagainya. Artinya, orang yang memenuhi
karakteristik yang dibuat Tuhanlah yang pantas untuk dipilih menjadi pemimpin dan
ditaati, “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan
taatlah kepada Rasul dan ulul amri yang berada diantara kamu. (Q.S.
al-Nisa: 59), Dialah yang menjadikan kamu khalifah (penguasa) di bumi”
(Q.S. Fathir: 39).
Namun tidak ada paksaan kepada masyarakat dalam menentukan pilihan
tersebut, “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk melaksanakan amanah
itu kepada ahlinya”. (Q.S. al-Nisa: 58) “ Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang Khalifah di muka bumi.” (Q.S.
al-Baqarah: 30) Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu Imam bagi
seluruh manusia. Ibrahim berkata: ‘(Dan saya mohon juga) dari
keturunanku’. Allah berfirman: ‘janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang
zalim.” (Q.S. al-Baqarah: 124). “Allah telah berjanji kepada
orang-orang yang beriman di antara kalian dan beramal shaleh (kebaikan), bahwa
Dia akan menjadikan mereka sebagai khalifah di bumi, Sebagaimana Dia telah
menjadikan orang-orang sebelum mereka sebagai khalifah..” (QS. An-Nur : 55
Dari sudut pandang syiah, sejak kegaiban besar (gaib kubro;
major occultation) Imam Mahdi atau Imam Zaman, tidak ada orang khusus yang
talah diangkat untuk menjadi kepala pemimpin umat Muslim. Itulah mengapa dalam
hadits-hadits yang berkenaan dengan kepemimpinan selama periode ini, hanya
persyaratan-persyaratan dan karakteristik-karakteristik umum yang harus
dimiliki seorang pemimpin. Ini menunjukkan bahwa hal itu terserah kepada umat
sendiri untuk memilih seorang sebagai pemimpin mereka. Misalnya,
diriwayatkan bahwa Rasulullah saaw bersabda, “Tidaklah layak kepemimpinan
kecuali bagi orang yang memilki tiga sifat: wara’ yang menghalanginya untuk
bermaksiat kepada Allah, ketabahan yang dapat mengendalikan amarahnya, dan
kebaikan dalam memimpin rakyatnya yang membuat ia bagaikan seorang ayah yang penuh
kasih.[38]
Menurut Murtadha Muthahhari, kualifikasi-kualifikasi utama seorang
pemimpin selama kegaiban Imam Mahdi adalah :
- Beriman kepada Allah, wahyu-wahyu-Nya, dan ajaran-ajaran Nabi-Nya. (Q.S. An-Nisa: 141)
- Jujur, taat kepada hukum-hukum Islam, dan sungguh-sungguh dalam pelaksanaannya. (Q.S. Yunus: 124; Q.S. 38; 26)
- Pengetahuan Islam yang memadai, sesuai dengan kedudukannya yang mulia (Q.S. Al-Baqarah: 35)
- Cukup kompeten memegang posisi tersebut dan bebas dari setiap cacat yang tidak sesuai dengan kepemimpinan Islam.
- Standar hidupnya sama dengan hidup orang-orang yang berpenghasilan rendah.[39]
Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa untuk menjadi
refresentasi tertinggi dari pemerintahan Islam seorang Faqih
disyaratkan sebagai berikut:
- Ia harus orang yang saleh dan mempunyai berbagai kualitas penting untuk menjadi mujtahid mutlak, yakni seorang mujtahid peringkat pertama yang sepenuhnya berkompoten untuk menguraikan hukum secara terperinci dan sampai kepada keputusan-keputusan mandiri.
- Kecenderungan pemikirannya harus menunjukkan keyakinan yang kokoh terhadap pemerintahan Islam dan menyadari pentingnya membela pemerintahan Islam.
- Otoritas keagamaannya harus diterima dan diakui sesuai dengan tradisi-tradisi syiah sepanjang sejarah.
- Dia harus memberikan dukungan kepada mayoritas anggota-anggota dewan konsultatif Wilayah al-Faqih. Di samping itu, sejumlah “para pelayan agama” yag jumlahnya di tentukan dalam konstitusi, seperti para ulama, pelajar-pelajar pusat keagamaan, Imam shalat berjamaah, para khatib, dan pemikir-pemikir Islam harus mendukung syarat-syarat keterpilihannya.
Dari gambaran tersebut, jelaslah, untuk menjadi seorang faqih
bukanlah suatu pemberian gratis, melainkan usaha ikhtiariyah yang
panjang, berat, dan penuh kesungguhan, sehingga berkat perjuangannya, seseorang
akan memiliki ilm, ‘aql, taqwa (ketaatan), idarah (keahlian-keahlian
administratif) dan hilm (belas kasih) yang merupakan kemestian bagi
seorang faqih yang akan menduduki posisi kepemimpinan dan harus
membuktikan dirinya lolos dari seleksi alamiah yang berlaku di dunia
syiah. [40]
Dengan dasar-dasar ini, sebagai pemimpin umat, secara teoritisasi
umum dalam sistem politik syiah, dirumuskan syarat untuk menjadi seorang wali
faqih, yaitu harus memenuhi tiga kompetensi, yaitu :
- Faqahah; yaitu mujtahid mutlak yang mampu menetapkan kesimpulan tentang hukum-hukum syara` dari sumber-sumbernya. .[41]
- ‘Adalah,[42] yaitu tetap teguh menjalankan syariat Islam dan memilki pribadi yang bersih, saleh dan takwa sehingga menjadikan dirinya tidak mengikuti nafsu dan kecenderungan duniawi.
- Kafa’ah; yaitu memiliki kecerdasan dan pengetahuan yang luas sehingga terampil mengurus kehidupan umat, memahami kebutuhan zaman, mengurusi permasalahan sosial, politik, administratif, kemanan, ekonomi, dan sebagainya yang merupakan unsur-unsur penting dalam sebuah negara.
Sebagai usulan konkritnya, untuk memenuhi ketiga kompetensi di
atas, disusunlah usaha bersama dalam mengkader pribadi-pribadi yang memiliki
potensi keunggulan dalam bidang-bidang tersebut. Beragam disiplin ilmu menjadi
acuan formal, sebagai penilaian dan penentuan keberhasilan seseorang memenuhi
persyaratan menjadi wali faqih. Contohnya, untuk mengasah kemampuan faqahah[43] diperlukan pembelajaran ilmu fiqih dan
ushul fiqih, untuk kemampuan adalah diperoleh melalui ajaran dan
amalan irfani (tasawuf); dan untuk kafaah didapat dengan
mempelajari secara sungguh-sungguh pemikiran filsafat dan ilmu-ilmu sosial.
Jadi, dalam bentuk praktisnya, ketiga rumusan tersebut ditafsirkan
dengan aneka pemikiran dan bentuk formalitas dalam sebuah Negara, sebab wali
faqih adalah realitas sosial yang ditentukan oleh masyarakat Muslim dan
eksistensinya didasarkan pada prinsip-prinsip hukum Islam. Jika
ditemukan hanya seorang pribadi yang memilik ketiga kompetensi tersebut secara
baik maka secara otomatis ia memiliki restu ilahiah untuk menduduki posisi
pemimpin Islam (wali faqih). Jika, dalam kasus di mana terdapat lebih
dari satu orang untuk dipilih sebagai pemegang posisi wali al-faqih, masyarakat
mempunyai hak untuk memilih salah seorang di antara mereka melalui suatu
referendum.
Orang-orang tersebut merupakan para wakil yang sah dari
pemerintahan Islam. secara hukum, mereka mempunyai hak yang sama dalam persolan
ini. Setiap individu mempunyai hak memilih dan mengambil bagian dalam berbagai
aktivitas politik. Mereka juga bebas menjalankan upacara-upacara keagamaan
mereka.[44]
[1] Wilayah al-Faqih adalah bahasa
Arab, dalam bahasa Persia Velayat-e Faqih. lihat: Heinz Halm. Shi’a
Islam from Religion to Revolution. (Princeton: Markus Wiener Publishers,
1997), h. 138.
[2] Ali Mishkini. Wali faqih. (Jakarta:
Risalah Masa, 1991), h. 24.
[3] Ali Mishkini. Wali, h. 24.
[4] Lihat Mehdi Hadavi Tehrani. Negara
Ilahiah.(Jakarta: Al-Huda, 2005), h. 42.
[5] Mehdi Hadavi Tehrani. Negara, h.
42.
[6] Mehdi Hadavi Tehrani. Negara, h.
43.
[7] Penjelasan para ulama syiah ini disadur dari
penelitian Mehdi Hadavi Tehrani. Negara, h.46-54.
[8] Imam Khumaini. Sistem Pemerintahan
Islam. (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002) h.133-134.
[9] Mehdi Hadavi Tehrani merumuskan dalil
kebijaksanaan (hikmah) ini sebagai berikut: “Berdasarkan bukti
keberadaan Tuhan dan akhirat, akal menyimpulkan bahwa tindakan manusia
mempunyai akibat yang tak dapat dihapuskan dalam kehidupan akhiratnya. Namun,
upaya pribadi semata tidak akan cukup untuk seseseorang menyaksikan dan
meneliti dengan jelas akibat-akibat, sebab-sebab, dan hubungan-hubungan
perbuatannya itu. Oleh karena itu, lewat kebijaksanaan-Nya, Tuhan (sebagai
pencipta dunia dan manusia) harus menunjukkan kepada manusia jalan menuju
keselamatan dengan mengirimkan para utusan-Nya.” Lihat Mehdi Hadavi Tehrani.
Nagara, h. 58.
[10] Yamani. Antara Al-Farabi dan Khumaini:
Filsafat Politik Islam. (Bandung: Mizan, 2002), h. 114-115.
[11] Yamani. Antara, h. 116.
[12] Chibli Mallat. Menyegarkan Islam.
(Bandung: Mizan, 2001), h. 99-100.
[13] Chibli Mallat. Menyegarkan, h.
101.
[14] Muhammad Husayn Tabathabai. al-Mizan fi
Tafsir al-quran Juz VI.(Beirut: 1970), h. 362
[15] Ahmad Mousawi. Teori Wilayah al-Faqih:
Asal Mula dan Penampilannya dalam Literatur Hukum Syiah. dalam Mumtaz
Ahmad. ed. Teori Politik Islam. (Bandung: Mizan, 1993), h. 129.
[16] Muhammad Taqi Misbah Yazdi. Nazhrah
‘Abirah ila Nazhariyati wilayah al-faqih. (Qum: Majam’ al-alami li ahl
al-bait, 2006), h. 120. Dalam buku ini bisa dilihat dalil-dalil lainnya dengan
ulasan panjang lebar melalui premis-premis akal dan beragam riwayat dari para
Imam syiah yang dijadikan dalil-dalil untuk wilayah al-faqih.
[17] Muhammad Taqi Misbah Yazdi. Nazhrah,
h. 105. lihat juga Muhammad Taqi Misbah Yazdi. Sekilas Tentang Filsafat
Politik Islam, dalam Jurnal Al-Huda, Vol III, No. 9, 2003, h. 97.
[18] Muhammad Taqi Misbah Yazdi. Sekilas
Tentang Filsafat Politik Islam, dalam Jurnal Al-Huda, Vol III,
No. 9, 2003, h. 97 .
[19] Khalid Ibrahim Jindan. Teori Politik
Islam. (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), h. 73-74 .
[20] Khalid Ibrahin Jindan. Teori, h.
74.
[21] Sayid Muhammad Baqir Sadr. Introduction
to Islamic Political System. (London: Islamic Seminary Publication, 1987),
h. 1.
[22] Sayid Syarif Radhi. Nahj al-Balaghah
Vol. I. (Qum: Sayid Mujtaba Musawi Lari Foundation, tt), hlm. 204-205.
[23] Lihat Ibnu Taymiyah. Al-Siyasah
al-Syariah fi Islahi al-Ra’I wa al-Rai’yyah (Beirut: Dar al-Kitab
al-Arabiyyah, tt); Al-Ghazali. Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad
(Beirut: Darul Kitab Al-‘Ilmiyah, 1998); al-Mawardi. al-Ahkam
al-Sulthaniyyah. (Jakarta: Darul Falah, 2000).
[24] Imam Khomeini. Kitab Al-Bai’ juz II,
hal 461-462.
[25] Lihat Mehdi Hadavi Tehrani. Negara,
h. 79-80.
[26] Lihat penjelasannya dalam Jawadi Amuli.
Sistem Pengadilan Islam dalam al-Quran. dalam Jurnal al-Huda, Vol.III, No.
9, 2003, h. 5-9.
[27] Masih banyak ayat-ayat yang bicara senada,
misalnya al-Nisa: 105 dan 135; al-Hadid: 25-26; al-Ahzab: 36.
[28] Jalaluddin Rahmat. Islam Alternatif. (Bandung:
Mizan, 1998), h. 258. Lihat juga Imam Khomeini. Sistem, h. 27-41.
[29] Jalaluddin Rakhmat. Islam, h. 14.
[30] Yamani. Antara, h. 116. Mengenai
penetapan Wilayah al-Faqih dalam nash juga dapat dilihat dalam Imam
Khomeini. Sistem, h. 113-134.
[31] Muhammad Baqir Shadr. Sistem Politik
Islam. (Jakarta: Lentera, 2001), h. 105.
[32] Imam Khumaini. Sistem, h. 58.
[33] Lihat penjelasannya dalam Misbah Yazdi.
Nazhrah, h. 128-138.
[34] Lihat Mehdi Hadavi Tehrani. Negara,
h. 75-76.
[35] Sayid Ali Khamene’i. Fatwa-Fatwa.
(Jakarta: Al-Huda, 2003), jawaban untuk soal 58, h.40.
[36] Sayid Ali Khamene’i. Fatwa, soal
59, h. 40.
[37] Mehdi Hadavi Tehrani. Negara, h.
77-79.
[38] Al-Kulaini, Ushul al-Kafi (Beirut:
Muassasah al-a’lami li al-Mathbuat, 2005), h. 232. lihat kitab
al-Hujjah bab Ma Yajibu min Haqq al-Imam ala al-Raiyah wa Haqq
al-Raiyyah ala al-Imam.
[39] Murtadha Muthahhari. Kepemimpinan Islam.
(Banda Aceh: Gua Hira, 1991), h.22.
[40] Chibli Mallat. Menyegarkan, h. 65.
[41] Imam Ja’far ash-Shadiq juga berkata: “Sesungguhnya
kami tidak menganggap seorang faqih dari kalian adalah faqih, sampai dia
menjadi seorang yang muhaddats. Maksudnya, ketika ia diajak berbicara
secara batin, diberi pengetahuan, maka dia mendapatkan ilham. Periwayat ini
merasa keheranan dan berkata, “Dapatkan seorang faqih menjadi muhaddats?
Mungkinkan seorang faqih menjadi muhaddats?] Muhaddats adalah ciri-ciri khusus
para nabi dan imam. Imam Shadiq as berkata, ‘Dia akan
mufahham (diberi pemahaman) dan orang yang diberi pemahaman itu adalah muhaddats”.
Lihat Murtadha Muthahari. Kenabian Terakhir. (Jakarta: Lentera, 2001),
h. 166.
[42] Mujtahid dan Marja’ disyaratkan
bukan hanya ahli dalam fikih saja, tetapi juga kesucian hati. Imam Ali bin Abi
Thalib berkata: “Faqih berada pada posisi yang paling tinggi, mengeluarkan
setiap yang masuk. Seorang yang hendak menerapkan berbagai cabang pada
pokoknya; mesti memiliki sifat di atas keadilan. Kita tidak hendak mengatakan
bahwa mereka menerima wahyu atu ilham, tetapi mestilah lebih tinggi dari yang
lain. Memiliki kesucian dan kecerahan hati yang senantiasa mendukung dan
membimbingnya. Tidak cukup hanya dilengkapi kekuatan berpikir, tetapi juga
mesti dilengkapi dengan kekuatan jiwa dan maknawiyah. Lihat, Murtadha
Muthahari. Kenabian, h. 166.
[43] Untuk kompetensi faqahah,
misalnya, banyak dirumuskan dalam buku-buku fiqih persayaratan seseorang untuk
dikategorikan sebagai ahli fikih atau mujtahid. Diantaranya harus
menguasai disiplin ilmu-ilmu keislaman diantaranya Bahasa Arab dengan aneka
cabangnya, fiqih dan Ushul Fiqh, ilmu Hadis, Ilmu al-Rijal
(Ilmu menyelidiki para penyebar hadis dan orang-orang yang membentuk mata
rantai penyebaran sejak masa kemunculan hadis), dan pengetahuan penuh tentang
ayat-ayat al-Quran (ulum al-Quran). Lihat Ali Mishkini, Wali,
h. 9-10.
[44] Chibli Mallat, Menyegarkan, h.65.