Konsep Wilayatul Faqih dan Ijtihad Imam Ayatullah Khumaini
Pandangan Akal
“Tentu saja, adalah jauh dari akal kalau Tuhan
menjadikan seorang yang jahil, dhalim, dan fasik sebagai wali dan hakim
muslimin; sebagai penanggungjawab jiwa dan harta benda mereka serta
memperhatikan dengan penuh jiwa dan harta masyarakat.
Adalah jauh juga dari a...kal bahwa
undang-undang seperti itu akan dilaksanakan. Kecuali bila berada di tangan alim
dan adil.” (Imam Khomeini qs, Kitab Bai’, j.2 h.465).
Karena hukumah/ pemerintahan Islam adalah
pemerintahan undang-undang Ilahi, maka adalah niscaya, berdasarkan akal, adanya
seorang faqih dan adil, di samping undang-undang tersebut. Sehingga
undang-undang Ilahi tersebut dapat berjalan sebagaimana mestinya dan terhindar
dari penyelewengan. Kalau tidak demikian, undang-undang tersebut akan jatuh ke
tangan orang yang tidak bertakwa atau tidak ahli dalam masalah fiqh; yang
kemudian menafsirkan dan menjelaskan segala sesuatunya berdasarkan kemauan dan
hawa nafsunya sendiri, sehingga bermuara pada penyelewengan.
Karena tujuan daripada
undang-undang tersebut adalah mengantarkan masyarakat manusia kepada
kesempurnaan (Allah), maka waliyu al-faqih haruslah memiliki kesempurnaan
maknawi. Dari sisi keberadaannya, ia adalah orang yang paling dekat kepada
Allah, setelah Rasulullah saww dan para imam as. Inilah makna daripada wali.
Karenanya, keberadaan wali al-faqih, berdasarkan akal, merupakan keniscayaan
dan keharusan.
Mencegah
Kediktatoran
Orang-orang yang tidak mengetahui
tujuan Islam pasti akan mengira bahwa wilayat al-faqih merupakan sebuah bentuk
kediktatoran. Padahal, sebenarnya ia mencegah munculnya kediktatoran. Justru
bila tidak ada wilayah al-faqih, maka yang muncul adalah pemerintahan tiran.
Hukumah Islam adalah pemerintahan
perundangan Ilahi, Al-Quran dan As-Sunnah. Dalam pemerintahan seperti ini,
Rasulullah saww dan Amirul Mukminin as pun menaati dan mengikuti undang-undang
tersebut. Mereka tidak bisa menyeleweng, bahkan hanya untuk satu langkah pun.
Allah berfirman: “Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan
atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang ia pada tangan kanannya.
Kemudian benar-benar Kami potong urat-tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak
ada seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat
nadi itu.” (QS Al-Haaqah 44-47).
Tidak ada kediktatoran dalam
Islam. Mereka yang hendak menjadi penjaga Islam tetapi kemudian menjadi
diktator, maka, berdasarkan hukum Islam, ia jatuh.
Wilayah
al-Faqih dalam Riwayat
Ketika ghaib-nya Imam Mahdi as,
apa kewajiban (taklif) umat Islam, dan mereka harus ruju’ (kembali) kepada
siapa dalam menghadapi masalah-masalah?
Berdasarkan riwayat yang diterima
dari Umar bin Khantalah, Imam Ja’far as bersabda: “Dalam perbedaan/perselisihan
riwayat hadits kami, harus kembali kepada mereka yang mengetahui halal-haram
berdasarkan kaidah hukum kami, atas pertimbangan akal dan syari’at.” Maka
dengan demikian, ulama terpilih sebagai pemerintah: “Sesungguhnya telah
kujadikan kalian sebagai hakim (pemerintah).” Dan mereka yang memiliki syarat
ini, telah terpilih dari sisi kami untuk permasalahan pemerintahan dan
pengadilan muslimin; dan muslimin tidak memiliki hak untuk ruju’ selain dari
mereka.
Dalam Shahih Qaddah dan riwayat
Abu Bukhtara disebutkan: “Al-ulama waratsatul anbiya’”. Tidak diragukan lagi
bahwa masalah wilayah berdasarkan pandangan akal –seperti harta warisan yang
dapat dipindahkan dari satu orang kepada yang lain– adalah dapat dipindahkan.
Bila seseorang memperhatikan ayat suci ini:
“An-Nabi awla bilmukminin min anfusikum.” Dan mengetahui riwayat ini: “Al-ulama
waratsatul anbiya.”, maka akan memahami tentang hal i’tibariyah ini yang,
berdasarkan akal, dapat dipindahkan.
Dalam Qawaid Naraqi hal. 186,
dari Fiqih Ridhawi, diriwayatkan: “Maqam (posisi) faqih di zaman ini seperti
posisi anbiya Bani Israil. Umumnya riwayat ini memahamkan kita bahwa masalah
pemerintahan dan wilayah bagi masyarakat yang dimiliki Nabi Musa as, adalah
juga ada pada fuqaha.
Amirul Mukminin berkata:
“Rasulullah bersabda: Ya Allah, rahmatilah para khalifahku.” Kata-kata ini
diulang sampai tiga kali. Ditanyakan kepada beliau: “Siapa khalifah
Rasulullah.” “Mereka yang sesudahku mengutarakan hadits dan sunnahku, mereka
yang mendidik umat (masyarakat) sesudahku.”
Tidak diragukan lagi bahwa
khalifah di sini adalah dalam semua masalah kenabian, bukan hanya dalam
menjelaskan masalah-masalah.
Dalam sebuah riwayat, Imam Musa
bin Ja’far berkata: “Fuqaha adalah benteng Islam, sebagaimana benteng
melindungi kota.”
Apakah faqih yang duduk di dalam
rumah bak harta karun dan tidak ikut terlibat dalam permasalahan kemasyarakatan
muslimin serta tidak memperhatikan urusan mereka, dapat digolongkan sebagai
benteng Islam? Merekakah penjaga Islam?
Imam Shadiq as, dari Rasulullah
saww bersabda: “Fuqaha menjadi kepercayaan dan menjadi penerima amanat Rasul
ketika mereka tidak memasuki (ketamakan, kelezatan, dan kekayaan) duniawi.”
Ditanyakan kepada beliau: “Wahai Rasulullah, masuknya mereka ke dalam dunia itu
bagaimana?” Beliau menjawab: “Mengikuti kekuatan pemerintah. Karena itu,
apabila mereka telah berbuat begitu, maka mereka akan takut kepada agamamu dan
menghindarkan diri.”
Berdasarkan hukum akal dan kewajiban-kewajiban
agama, tujuan dari bi’tsah (pengutusan) dan tugas Nabi, bukan hanya sebagai
pembicara; sehingga dapat dikatakan ketika ia meletakkan amanatnya kepada
fuqaha (yang dipercaya), adalah berarti bahwa dipercaya dalam menyampaikan
masalah (juru bicara) saja. Pada hakikatnya, kewajiban anbiya adalah menegakkan
sebuah sistem kemasyarakatan yang adil, dengan menjalankan undang-undang dan
hukum Ilahi.
Rasul terkena kewajiban untuk
melaksanakan hukum dan menegakkan sistem islami, dan ia ditentukan Allah
sebagai pemimpin dan hakim (pemegang hukum) bagi muslimin; menaatinya adalah
wajib. Maka faqih adil seharusnya menjadi hakim dan melaksanakan hukum serta
membentuk sistem masyarakat Islam.
Dalam sebuah riwayat dari Imam
Ridha as dikatakan: “Bagi masyarakat diperlukan imam yang berdiri (bangkit
memimpin), penjaga dan dipercaya.”
Dalam riwayat sebelumnya,
dikatakan bahwa fuqaha adalah orang yang dipercaya Rasul. Dengan sughra dan
kubra (premis minor dan mayor) ini, dapat disimpulkan: fuqaha harus menjadi
pemimpin masyarakat, sehingga tidak membiarkan Islam hancur dan hilang
hukum-hukumnya.
Dalam kitab: Akmal ad-Din wa Itmam an-Ni’mah, Ishaq
bin Ya’kub menulis surat kepada Wali Ashr (Imam Mahdi) as tentang masalah yang
ditanyakan kepadanya, dan Muhammad bin Utsman (wakil Imam Mahdi)
menyampaikannya. Jawaban surat tadi dikeluarkan dengan tulisan Imam sendiri:
“Dan peristiwa-peristiwa yang terjadi (kemasyarakatan), kembalilah kepada rawi
hadits kami. Karena mereka adalah hujjah bagi saya, dan saya adalah hujjah
Allah.”
Hujjah Allah adalah seorang yang
ditunjuk oleh Allah untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan. Semua pekerjaan,
tindakan, dan kata-katanya adalah hujjah bagi muslimin. Apabila seseorang
menyeleweng darinya, maka ia harus bertanggung jawab (memberikan alasan dan
jawaban/dalil). Apabila sebuah pekerjaan telah diperintahkan, maka kerjakanlah.
Hudud harus dilaksanakan. Ghanimah, zakat, dan sedekah harus dialokasikan
dengan tepat. Bila kalian menentang dan menyeleweng, maka Allah akan meminta
pertanggungjawabannya di hari kiamat nanti. Bila hujjah telah ada, tetapi masih
berpaling kepada sistem yang dhalim dalam menyelesaikan permasalahan, maka
Allah akan meminta pertanggungjawabannya. Padahal, Saya telah menentukan hujjah
bagi kalian, tetapi mengapa kalian tetap kembali kepada kedhaliman dan
peradilan penindas.
Hari ini, fuqaha Islam, bersumber
dari Imam as, menjadi hujjah bagi masyarakat. Semua hal dan urusan-urusan
muslimin telah diberikan kepada mereka: pemerintahan, berjalannya urusan
muslimin, mengambil dan menggunakan harta umum. Barangsiapa
menentang/menyeleweng, maka di hari kiamat nanti harus bertanggungjawab kepada
Allah. Sebagaimana, Rasulullah adalah hujjah Allah dan semua pekerjaan/hal
diserahkan kepadanya. Barangsiapa yang menyeleweng, maka ia harus
bertanggungjawab kepada Allah. (Imam Khomeini, Kitab Bai’, j. 2 h. 467-476).
Karena itu, wahai kalian (ulama
dien), dukunglah kami dengan tujuan ini. Bangkitlah atas tekanan penguasa yang
sedang menindas kalian dan mereka yang berusaha memadamkan api kerasulan. Cukup
bagi kami Allah Yang Esa. Kepada Dia kami bersandar. Kepada Dia kami menuju.
Nasib ada di tangan-Nya dan kembali kepada-Nya. (Imam Khomeini, Wilayat Faqih,
h. 148-154: Khutbah Imam Husain).
Syarat
Wali al-Faqih
Ketika pemerintahan Islam adalah
pengaturan Ilahi, yakni pemerintahan Islam adalah untuk melaksanakan
undang-undang dan mengamalkan keadilan Ilahi di tengah-tengah masyarakat, maka
wali al-faqih haruslah memiliki dua sifat dasar. Keduanya merupakan dasar
pemerintahan undang-undang yang tanpanya, menurut akal, pemerintahan Islam
tidak akan terbentuk. Keduanya adalah: pertama, ilmu terhadap undang-undang
tersebut, dan, kedua, keadilan (‘adalah).
Tentunya, ilmu tersebut dalam artian yang luas,
yang mencakup permasalahan:
1. Kifayah (memenuhi
standar kepemimpinan, leadership).
2. Shalahiyat
(berkelayakan untuk memimpin).
Hal itu tidak mungkin ditinggalkan
bagi seorang hakim, sehingga dapat dijadikan kriteria ketiga bagi pemimpin.
Tentunya, pemimpin dalam artian adil juga mencakup hal yang positif dalam
artian akal, seperti berani, melaksanakan tradisi dan perundangan agama, atau
keluarnya sifat-sifat negatif akhlak, seperti bakhil dan menerima raswah
(sogok).
Sebenarnya, dua dasar sifat tersebut telah
merupakan hal yang musalam (disepakati), yang sudah harus ada pada pemimpin
Islam. Jadi, pemimpin Islam harus faqih dan adil.
Kewajiban
Kifa’i Membentuk Pemerintahan
Faqih merupakan orang yang paling
bertanggungjawab atas wilayah dan penjagaan muslimin. Menegakkan pemerintahan
Islam merupakan kewajiban kifayah bagi semua fuqaha adil. Ketika seseorang
faqih berhasil membentuknya, faqih yang lain wajib mengikutinya. Dan bila
tegaknya suatu pemerintahan memerlukan kelompok fuqaha, mereka harus bersama
berusaha menegakkannya. Apabila kemungkinan untuk menegakkannya tidak ada,
kewajiban tidaklah jatuh. Sekalipun penegakannya terhalang, maka ketika itu, setiap
mereka memiliki wilayah terhadap muslimin. Mereka dapat menggunakan fasilitas
Baitul Mal agar dapat melaksanakan hudud, undang-undang pidana, termasuk juga
perekonomian wilayah dan pemerintahan yang menyangkut kehidupan muslimin.
Kewajiban Wali al-Faqih
·
Para imam dan fuqaha adil
memperhatikan bahwa sistem dan birokrasi pemerintahan untuk melaksanakan ahkam
Ilahi, terlaksananya struktur keadilan Islam, dan khidmat kepada umat.
·
Menghilangkan kebatilan dan
memastikan terlaksananya kebenaran.
·
Menyelamatkan madhlumin (yang
tertindas) dari penindasan dhalimin (penindas).
·
Tidak diam atas perbedaan
masyarakat (dhalim-menindas dan lemah-ditindas)
·
Mengembalikan dan meletakkan pada
tempatnya dasar cahaya agama.
·
Perbaikan pada kelalaian sehingga
perjalanan syariat pada posisinya.
·
Menegakkan pemerintahan.
·
Tidak untuk mencari kekuatan politik,
kenikmatan dunia, atau pendapatan lebih.
·
Memperhatikan permasalahan ibadah
fiqhiyah, siyasah, iqtishadiyah, dan hak-hak Islam.
·
Menghilangkan kesalahpahaman
terhadap Islam.
No comments:
Post a Comment