Wednesday, October 19, 2011

Sumpah Talak


Sumpah Talak


Ketahuilah bahwa talak ghayr munjiz terbagi ke dalam dua bagian berikut:
I. Talak mu'allaq
2. Sumpah talak (hilf bi ath-thaaiq)

Keduanya merupakan jenis ghayr munjiz. Perbedaan di antara keduanya adalah bahwa kalau yang dimaksud dengan ta'liq (talak mu'allaq) itu adalah dorongan atau larangan untuk melakukan sesuatu. Jenis ini dinamakan sumpah talak (hilf bi ath-thalaq), seperti suami yang mengatakan kepada istrinya, "Jika engkau masuk rumah maka engkau ditalak" atau "Jika engkau tidak masuk ke dalam rumah, engkau ditalak." Atau, hal itu dimaksudkan untuk membenarkan orang yang membawa berita, seperti ucapannya, "Engkau ditalak jika Zaid tidak datang" atau "Istriku ditalak kalau di dalam tasku terdapat barang haram".

Adapun jika terjadi ta'liq tetapi tidak ada dorongan atau ada larangan untuk melakukan perbuatan, dan tidak pula ada peringatan untuk mempercayai orang yang membawa berita, hal itu dinamakan talak mu'allaq. Contohnya ucapan: "Engkau ditalak jika matahari terbit"; "Engkau ditalak jika orang yang berhaji telah datang"; atau "Engkau ditalak jika sultan tidak datang". Maka itu merupakan syarat murni, bukan sumpah, karena hakikat al-hilf adalah sumpah.

Ta'liq talak berdasarkan syarat dinamakan hilf tajawwuz karena bergabungnya hilf dalam arti yang sudah dikenal, yaitu dorongan, larangan, atau penegasan berita, seperti ucapan: "Demi Allah, sungguh aku tidak akan bekerja"; "Tidak, demi Allah, aku tidak akan bekerja"; "Demi Allah, aku telah bekerja"; atau "Demi Allah, aku tidak bekerja". Jika talak itu tidak mengandung pengertian ini maka ia tidak dinamakan hilf

As-Sabki berkata: Talak mu'allaq itu ada yang dikaitkan dengan sumpah dan ada pula yang dikaitkan dengan bukan sumpah. Talak mu’allaq yang tidak dikaitkan dengan bukan sumpah adalah seperti ucapan: "Jika tiba awal bulan maka engkau ditalak" atau "Jika engkau memberikan kepadaku seribu maka engkau ditalak".

Sedangkan talak mu'allaq yang dikaitkan dengan sumpah adalah seperti: "Jika engkau berkata dengan si fulan maka engkau ditalak" atau "Jika engkau masuk ke dalam rumah maka engkau ditalak". Inilah yang dimaksud dengan dorongan, larangan, atau pembenaran. Apabila talak itu dikaitkan dengan aspek ini, lalu apa yang disyaratkan itu terjadi, maka jatuhlah talak.

Inilah mazhab majoriti Ahlusunah kecuali mereka yang menyimpang, dan akan ditunjukkan. Mazhab-mazhab yang menyimpang itu membolehkan talak tanpa hilf baik yang ditunjuk kan dengan lafaz, tulisan, terang-terangan maupun sindiran. Misalnya, "Engkau haram bagiku"; "Engkau telah dibebaskan"; "Pergilah, kemudian nikahlah (dengan orang lain)"; "Talimu di atas bahumu"; "Pergilah kepada keluargamu"; dan redaksi-redaksi lainnya.

Yang penting disebutkan adalah bahwa mereka telah memenuhi berlembar-lembar buku dengan pembahasan tentang macam- macam talak mu'allaq, terutama jenis yang khusus ini. Yakni, sumpah talak. Mereka mengemukakan pendapat-pendapat dan fatwa-fatwa yang tidak ada penjelasannya sedikit pun dari Al- Qur'an dan sunah. Orang yang merujuknya pasti mengetahui bahwa talak bagi mereka merupakan permainan. Laki-Iaki mempermainkannya dengan berbagai bentuk.


Jika Anda merasa ragu terhadap apa yang dikemukakan ini, silakan membaca dua kitab yang terkenal:  

I. Al-Mughni yang ditulis oleh Muhammad bin 'Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah (wafat tahun 620 H.). Kitab ini merupakan kitab fiqih yang paling lengkap dalam mazhab Hanbali dengan tarjih terhadap pendapat-pendapatnya dengan dalil yang memuaskan mereka. la telah mengkhususkan 45 halaman dari kitabnya dengan memuat redaksi-redaksi seperti ini.

2. Al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba'ah yang ditulis oleh Syekh ‘Abdur Rahman al-Jaziri. la telah menulisnya untuk menjelaskan fiqih dengan metode yang terbaru daripada yang sudah ada. Di samping itu, ia telah mengkhususkan beberapa halaman dari kitabnya ini dengan memuat bentuk-bentuk talak. Berikut ini beberapa contoh di antaranya sehingga Anda dapat mengetahui kebenaran apa yang dikemukakan. Huraian berikutnya akan dikutip dari kitab pertama.

a. Jika seorang laki-Iaki berkata kepada dua orang istrinya, "Setiap kali aku bersumpah untuk menceraikan kamu berdua maka berarti kalian telah ditalak." Kemudian ia mengulang kalimat itu hingga dua kali. Maka kepada masing- masing istrinya itu telah jatuh talak tiga.

b. Jika seorang laki-laki berkata kepada salah seorang di antara kedua istrinya, "Jika aku bersumpah untuk menceraikanmlu maka kepada madumu itu jatuh talak." Seperti itu pula ia mengatakan kepada istrinya yang lain.

c. Jika seorang laki-laki memiliki tiga orang istri, lalu ia berkata, "Jika aku bersumpah untuk menceraikan Zainab maka kepada 'Umarah jatuh talak.'! Kemudian ia berkata, "Jika aku bersumpah untuk menceraikan 'Umarah maka kepada Hafshah jatuh talak." Kemudian ia berkata, "Jika aku bersumpah untuk menceraikan Hafshah maka kepada Zainab jatuh talak." Jika ia menempatkan 'Umarah di posisi Zainab, maka yang tertalak adalah Hafsah. Kemudian apabila ia mengulangnya setelah itu maka kepada salah seorang di antara mereka jatuh talak.

d. Jika seorang laki-laki mensyaratkan talak itu pada beberapa sifat, lalu sifat-sifat itu berkumpul pada satu hal maka setiap sifat jatuh pada apa yang disyaratkan. Seperti itu pula kalau sifat-sifat itu didapatkan berlainan. Demikian pula pembebasan perbudakan (al-'itaq). Kalau ia mengatakan kepada istrinya: "Jika engkau berkata kepada seorang laki-laki maka engkau ditalak"; "Jika engkau berkata dengan laki-laki yang tinggi maka engkau ditalak"; dan jika engkau berkata dengan laki-laki yang hitam maka engkau ditalak". Kemudian perempuan itu berkata dengan laki-iaki yang hitam dan tinggi maka jatuhlah kepadanya talak tiga.

Masih banyak lagi bentuk-bentuk talak yang jika dikutip semuanya hanya akan membuang-buang waktu dan kertas. Kebalikan dari mereka, para imam ahlulbait tidak menyebutkan untuk talak kecuali satu redaksi saja. Bakir bin A'yun meriwayatkan hadis dari al-Baqir as atau ash-Shadiq as: "Dalam talak itu hanya berlaku ucapan seorang laki-laki kepada istrinya, 'Engkau ditalak.' Hal itu disaksikan oleh dua orang saksi yang adil. Segala sesuatu di luar itu hanyalah permainan belaka."

Meskipun yang berlaku di kalangan Ahlusunah adalah jatuhnya talak dengan sumpah, kita menemukan di antara para sahabat dan tabi'in terdapat orang-orang yang mengingkari hal tersebut dan memandangnya sebagai kebatilan. Mereka diikuti para ulama kontemporer dari kalangan Zhahiriyyun, seperti Ibn Hazm dan Ibn Tamiyah dari mazhab Hanbali.

Ibn Hazm berkata: Yang sah di kalangan ulama salaf adalah kebalikan dari itu (yakni, jatuhnya talak dengan sumpah).

I. Kami meriwayatkan hadis melalui Hammad bin Salamah dari al-Hasan: Seorang laki-laki menikahi seorang perempuan. Sementara. itu, ia hendak bepergian jauh. Maka keluarga istrinya mengambil perempuan itu dan memaksa: laki-laki itu mengatakan bahwa jatuh talak kepadanya jika ia tidak mengirimkan nafkah hingga jangka waktu satu bulan. Tibalah jangka waktu yang disebutkan itu, tetapi laki-laki tersebut tidak mengirimkan nafkah sedikit pun. Ketika laki-laki itu datang, mereka mengadukannya kepada ‘Ali as. Maka ' Ali as berkata, "Kalian telah mengancamnya hingga ia menjadikan istrinya tertalak. Kini kembalikanlah perempuan kepada suaminya."

2. Kami meriwayatkan hadis melalui Abdur Razzaq dari Ibn Juraij dari 'Atha tentang seorang laki-laki yang mengatakan kepada istrinya, "Engkau ditalak jika aku tidak memadumu lagi." Jika laki-laki itu tidak kawin lagi hingga ia atau istrinya meninggal, mereka dapat saling mewarisi. Hukum tentang kewarisan itu merupakan tanda tetap berlakunya hubungan tersebut.

3. Melalui ' Abdur Razzaq dari Sufyan ats- Tsawri dari Ghailan bin Jami' dari al-Hakam bin 'Utaibah: Tentang Seorang laki-laki yang berkata kepada istrinya, “Engkau ditalak jika aku tidak melakukan begini." Kemudian salah seorang di antara mereka meninggal dunia sebelum perbuatan itu terlaksana. Maka keduanya tetap saling mewarisi.

Tidak dipandangnya talak-tanpa paksaan--0leh Imam' Ali as dan tetap berlakunya hukum waris dalam dua. riwayat terakhir menunjukkan tidak dianggapnya sumpah dalam talak.

4. Melalui ' Abdur Razzaq dari Ibn Juraij: Mengabarkan kepadaku Ibn Thawus dari ayahnya bahwa ia pemah berkata, " Hilf bi ath- thalaq (sumpah talak) tidak berarti apa-apa." Saya bertanya, "Bukankah ia memandangnya sebagai sumpah?" la menjawab, “Saya tidak tahu."

Setelah mengutip riwayat-riwayat tersebut, Ibn Hazm mengatakan, “Mereka itu ‘A1i bin Abi Thalib, Syuraih, dan Thawus) tidak menetapkan talak bagi orang yang bersumpah dalam talak, lalu melanggarnya. la tidak mengetahui, apakah dalam hal itu terdapat sahabat yang memiliki pendapat yang berlainan dengan pendapat ‘Ali. Kemudian ia berkata, “Dari mana Anda membolehkan talak dengan satu sifat, tetapi Anda tidak membolehkan pemikahan dengan satu sifat dan rujuk dengan satu sifat, seperti orang yang mengatakan (kepada istrinya) , “Jika aku memasuki rumah maka istriku yang telah dicerai itu telah aku rujuk."

Atau, ia mengatakan, “Aku telah menikahimu." Perempuan itu pun mengatakan ka1imat yang sama. Wa1i mereka juga mengatakan kalimat yang sama. Tidak ada jalan bagi mereka untuk berpisah.

Ibn Taimiyah pemah ditanya tentang sumpah dalam talak. Kemudian ia mengeluarkan fatwa bahwa tidak jatuh talak dengan sumpah tersebut. Akan tetapi, ia berkata, "Wajib dikenakan denda (kafarat) apabila ia belum menceraikannya." Selanjutnya ia mengatakan bahwa ada tiga pendapat dalam masalah itu di kalangan ulama salaf dan khalaf:


1. Jatuh ta1ak apabila ia melanggar sumpahnya. Inilah yang masyhur di kalangan mayoritas ulama fiqih kontemporer sehingga sebagian di antara mereka meyakini hal itu sebagai ijmak. Oleh karena itu, kebanyakan mereka tidak lagi menyebutkan hujah terhadap hal itu. Padahal, hujah mereka terhadap hal itu adalah lemah. Yaitu, jika diharuskannya satu hal karena sesuatu yang wajib maka wajibnya hal itu karena diwajibkannya sesuatu.

2. Tidak jatuh talak dan ia tidak diwajibkan membayar kafarat. Ini adalah mazhab Dawud dan sahabat-sahabatnya, serta beberapa kelompok Syi'ah. Ibn Taimiyah menyebutkan dalil- dalilnya dari sekelompok ulama salaf. Bahkan pendapat ini dinukil secara jelas dari sekelompok ulama, seperti Ja'far al-Baqir as. Dalam sebuah riwayat disebutkan Ja'far bin Muhammad. Prinsip mereka, bahwa sumpah talak, 'itaq dan zihar adalah seperti sumpah dengan makhluk-makhluk yang lain.

3. Pendapat yang paling sahih adalah yang ditunjukkan Al-Qur'an dan sunah. Yang jelas, ini merupakan salah satu bentuk dari sumpah-sumpah kaum Muslim. Maka dalam sumpah tersebut berlaku hal-hal yang berlaku dalam sumpah-sumpah kaum Muslim. Yaitu, dikenai kafarat ketika teljadi pe1anggaran kecuali jika orang yang bersumpah itu memilih untuk menjatuhkan talak. Maka ia bo1eh menjatuhkan talak tersebut, dan tidak dikenai kafarat. Ini adalah pendapat sekelompok ulama salaf dan khalaf, seperti Thawus dan lain-lain. Hal itu merupakan tuntutan dalil yang dinukil dari para sahabat Rasulullah saw dalam masalah ini. Hal itu pula yang difatwakan sebagian besar ulama mazhab Maliki dan lain-lain. Sehingga ada yang mengatakan. "Di sebagian besar negara Magribi (Afrika Utara) para ulama mazhab Maliki dan lain-lain memfatwakan demi kian”. Itulah yang ditunjukkan nas-nas dari Ahmad bin Hanbal dan prinsip-prinsip di luar tema ini.

Terdapat beberapa hal berikut yang perlu dibahas:

Pertama, jatuhnya talak dengan ungkapan itu sendiri.

Kedua, keharusan membayar kafarat ketika teljadi pelanggaran. yakni tidak menjatuhkan talak.

Ketiga, apa status istri pada masa ketika yang disyaratkan itu tidak terjadi.
Butir pertama, dalil yang dinukil Ibn Taimiyah dari orang yang berpendapat bahwa jika satu hal diharuskan ketika diwajibkannya syarat, melazimkan suatu perkara ketika wajib adanya syarat maka satu hal itu karena sesuatu yang diwajibkan. Misalnya, diwajibkan jika istri berkata kepada si fulan maka ia ditalak.

Catatan: Kami tidak memiliki dalil mutlak yang mencakup pelaksanaan setiap yang diharuskan seseorang hingga dalam hal-hal yang mungkin Pembuat syariat menjadikan baginya suatu sebab khusus, seperti talak dan pemikahan. Sehingga ketika ada keraguan, yang menjadi rujukan adalah tetap berlakunya hubungan suami-istri hingga ada dalil yang menunjukkan bahwa istri itu keluar dari pemeliharaan suaminya. Ini diambil dari kaidah yang diwariskal1 dari para imam ahlulbayt bahwa keyakinan tidak dapat dihapus dengan keraguan, yang diakui dalam istilah ahli ushul dengan sebutan istishhab.

As-Sabki berkata, "Umat telah membuat ijmak tentang sahnya talak mu'allaq seperti sahnya talak munjiz, karena talak termasuk hal-hal yang dapat menerima ta'liq. Tidak ada yang menentang hal itu kecuali beberapa kelompok Rafidhah. Ketika muncul mazhab Zhahiriyah yang menentang ijmak umat dan mengingkari qiyas, dalam hal itu mereka menyalahinya-hingga katanya: Akan tetapi, ijmak telah mendahului mereka."

Selanjutnya ia berkata, "Ibn Taimiyah telah keliru dengan menganggap adanya perselisihan dalam masalah ini. la berbohong dan membuat dusta, serta berbuat lancang terhadap Islam. Ijmak umat terhadap ha1 itu telah dinukil dari para imam yang tidak ada keraguan terhadap ucapan mereka dan tidak ada kebimbangan terhadap kebenaran penukilan mereka."

Bagaimana dapat ditetapkan telah berlakunya ijmak, sementara 'Ali serta sekelompok besar tabi'in dan para imam ahlulbait menentangnya? Ibn Taimiyah bukanlah orang yang meriwayatkan langsung adanya perselisihan ini. Melainkan ia menukilnya dari Ibn Hazm al-Andalusi, seperti yang diungkapkan dalam surat-suratnya.

Di antaranya terdapat satu surat kepada para ulama Syi'ah Imamiyah. Berikut ini kami kutip teksnya: "Sesungguhnya Syi'ah Imamiyah telah mempersempit lingkup talak hingga pada batasan yang sesempit-sempitnya. Mereka menetapkan batasan yang kaku terhadap suami yang menceraikan dan istri yang diceraikan, serta dalam redaksi talak dan kesaksiannya. Semua itu karena pernikahan merupakan pemeliharaan, kecintaan, kasih sayang, dan perjanjian dari Allah. Allah swt berfirman:

Dan sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjianyangkuat. (QS. an-Nisa' [4]: 21)
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu kasih dan sayang. (QS. ar-Rum [30]: 21)

Jadi, dalam keadaan apa pun tidak boleh membatalkan pemeliharaan, kecintaan, kasih sayang, dan perjanjian ini kecuali setelah mengetahui secara pasti, tanpa ada keraguan, bahwa syariat telah menguraikan tali pernikahan itu serta membatalkannya setelah meneguhkannya.

Terdapat banyak riwayat dari para imam ahlulbait tentang batalnya talak seperti ini. Bahkan tidak ada perhatian terhadap sumpah ini samasekali. Barangsiapa yang mengambil ajaran agamanya dari para imam ahlulbait, berarti ia telah mengambilnya dari mata air yang jernih. Kami cukupkan dengan menukil sebagian saja hadis dari mereka:

1. AI-Halabi meriwayatkan hadis dari Abu' Abdullah as. la berkata, "Setiap sumpah yang tidak dimaksudkan untuk mencari keridhaan AIlah dalam talak atau 'itaq tidak berarti apa-apa."

2. Seorang laki-Iaki bersama Thariq datang kepada Abu Ja 'far al- Baqir. la berkata, "Wahai Abu Ja'far, aku telah celaka. Aku bersumpah dalam talak, 'itaq, dan nazar." Imam Abu Ja'far menjawab, "Wahai Thariq, ini termasuk langkah-langkah (godaan) setan.

3. Dari Abu Usamah asy-Syaham. la berkata: Aku berkata kepada Abu' Abdillah as bahwa aku punya kerabat atau nasab yang bersumpah jika istrinya keluar dari pintu maka kepadanya jatuh talak tiga. Istrinya keluar dari pintu rumah. Kemudian ia mengalami kesulitan. La menyuruhku untuk bertanya kepada Anda dan ia akan mendengarnya dariku. Abu ‘Abdillah as berkata, "Suruhlah ia untuk menahan istrinya, karena sumpah itu tidak berarti apa-apa." Kemudian beliau menoleh kepada sekumpulan orang dan berkata, "Mahasuci Allah. Mereka menyuruh perempuan itu untuk menikah padahal ia masih memiliki suami."

Mazhab Imamiah/Ja 'fari dikenal dengan pengingkarannya terhadap tiga hal dalam talak, sebagai berikut:

I. Talak terhadap perempuan yang sedang haid.
2. Talak tanpa dua orang saksi yang adil.
3. Sumpah talak.

Ini semua tentang jatuhnya talak. Berikut ini pembahasan butiran kedua dan ketiga.

Butiran kedua, dikenakannya kafarat atau tidak, memerlukan pembetulan objek yang dikenai kafarat. Kalau dalil tersebut menunjukkan bahwa dikenakannya kafarat itu dari akibat-akibat sumpah dengan lafzhu ljazalah (nama-nama Allah) atau yang setara dengan itu, seperti Rabb dan lain-lain, maka kafarat itu tidak dapat dikenakan pada sumpah talak dan 'itaq. Namun, masalah tersebut di luar pembahasan kita. Oleh karena itu, kami akan membahasnya di tempat terpisah.

Butiran ketiga, Ibn Hazm mengutip pendapat asy-Syafi'i yang mengatakan, "Talak dan pelanggaran terjadi pada akhir masa-masa hidupnya. Kalau ia mengatakan kepada istrinya, 'Engkau ditalak jika aku tidak memukul Zaid.' Maka pelanggaran itu terjadi-jika ia tidak memukul-menjelang kematiannya. Ini artinya perempuan itu masih tetap sebagai istrinya sampai saat menjelang ajalnya itu." la juga mengutip pendapat Malik yang mengatakan, "la terhalang dari istrinya dan ia berada dalam pelanggaran sampai ia memenuhi sumpahnya."

Kemudian ia menyanggah kedua imam itu. Ringkasnya-berdasarkan pendapat tentang batalnya talak dengan sumpah tersebut, yang disyaratkan (mu'allaq 'alayh) itu kadang-kadang berupa sesuatu yang konkret-seperti keluar dari rumah-dan kadang-kadang berupa sesuatu yang tidak konkret- seperti 'jika aku tidak melakukan ..." Berdasarkan kedua ungkapan itu, kadang-kadang ia terbatas dalam waktu tertentu dan kadang-kadang bersifat mutlak, terus-menerus. Kalau hal itu merupakan sesuatu yang konrket maka perempuan itu tetap sebagai istrinya selama sumpah itu tidak terlaksana. Tetapi, jika sumpah itu terlaksana pada waktu tertentu atau mutlak kapan saja-menurut apa yang disyaratkan-maka kepada perempuan itu jatuh talak. Kalau yang disyaratkan itu merupakan sesuatu yang tidak konkret, terbatas dalam waktu tertentu, dan ia tidak melakukannya pada waktu tersebut maka kepada perempuan itu jatuh talak. Kalau terjadi sebaliknya, kepada perempuan itu tidak jatuh talak kecuali pada akhir waktu ketika ia tidak mampu melaksanakannya. Akan tetapi, semua itu merupakan asumsi-asumsi di atas landasan yang gugur.

Talak Mu'a1laq

Anda telah mengetahui bahwa talak mu'allaq itu terbagi ke dalam dua bagian. Pertama, yang disifati dengan sumpah talak. Kedua, yang disifati dengan mu'allaq saja. Anda juga telah mengetahui hukum yang pertama, dan berikut ini akan dibahas bagian kedua.

Syarat-syarat itu memiliki beberapa bagian sebagai berikut:

I. Yang bergantung pada keabsahan talak, seperti status perempuan tersebut sebagai istri, dan yang tidak bergantung pada pada keabsahan talak, seperti kedatangan Zaid.

2. Yang diketahui keberadaannya oleh laki-laki yang menceraikan ketika melakukan talak, seperti ta'liqnya bahwa hari ini adalah hari Jumat, dan yang lain adalah yang diragukan keberadaannya.

3. Yang disebutkan dalam redaksi (sighat) untuk mendapatkan berkah, tetapi tidak merupakan syarat atau ta'liq, seperti kata "insya Allah", dan yang disebutkan sebagai taliq yang sebenarnya.

Yang menjadi pembahasan kita adalah bagian pertama. Mazhab Imamiyah telah sepakat tentang batalnya talak mu'allaq itu. Dalilnya yang terpenting adalah nas (Al-Qur'an dan sunah) dan ijmak. Berikut ini penjelasannya.

Batalnya Talak Mu'allaq Berdasarkan Nas dan Ijmak

Nas dari para imam ahlulbait menunjukkan batalnya talak mu'allaq. Salah satu dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan Bakir bin A’yun dari mereka (para imam) as, bahwa mereka herkata, "Talak itu hanyalah ketika suami berkata kepada istrinya yang dalam keadaan suci dan tidak dicampuri, ‘Engkau ditalak.' Hal itu disaksikan oleh dua orang saksi yang adil. Segala sesuatu selain itu hanyalah permainan belaka. "

Adakah penjelasan yang lebih utama daripada ucapan, “Segala sesuatu selain itu hanyalah permainan belaka" bersamaan dengan kemunculan talak mu’allaq, khususnya sumpah talak, pada zaman mereka. Jika ditambahkan dalil lain, yaitu hadis yang diriwayatkan dari mereka tentang batalnya sumpah talak, pastilah hukum itu menjadi jelas dengan sejelas-jelasnya. Sebab, sumpah talak itu merupakan bagian dari talak mu’allaq. Batalnya talak tersebut hanya1ah karena batalnya talak mu’allaq yang mengandung sumpah. Anda telah mengetahui bahwa Imam berkata, "Maha suci Allah, mereka menyuruh perempuan itu untuk menikah, padahal ia masih memiliki suami."

Adapun dalil ijmak, al-Murtadha berkata, 'Yang membedakan mazhab Ja'fari dari mazhab-mazhab yang lain adalah pendapatnya bahwa talak itu dita’liq dengan satu bagian dari bagian-bagian perempuan. Yakni, satu bagian yang tidak terkena talak." Sebaliknya, syekh itu berkata, "Jika (suami) berkata kepada istrinya, ‘Engkau ditalak apabila si fulan datang', lalu si fulan itu datang. Talak tersebut tidak sah."

Ibn Idris berkata, “Kami mensyaratkan kemutlakan lafaz itu agar terhindar dari penyertaan syarat." Orang yang telah memahami fiqih Imamiyah akan menemukan batalnya talak tersebut sebagai sesuatu yang disepakati. la juga menegaskan hal itu: Islam memberikan perhatian terhadap tatanan keluarga yang fundamennya adalah pernikahan dan talak. Hal itu menuntut adanya munjiz, bukan mu’allaq. Sebab, ta’liq itu akan mengakibatkan sesuatu yang tidak terpuji dengan tidak membedakan antara pernikahan dan perceraian. Maka seseordng itu dapat melakukan pernikahan dan perceraian atau tidak. Kalau ia memilih yang pertama, ia menikah atau bercerai. Sedangkan yang kedua, ia diam sehingga setelah itu terjadi sesuatu yang baru.

Ta’liq dalam pernikahan dan perceraian tidak ada kaitannya dengan perkara penting itu. Allah swt berfirman, "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai). Sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. an-Nisa' [4]: 129)

Allah swt mengumpamakan perempuan yang tidak ditelantarkan oleh suaminya dengan perempuan yang terkatung-katung yang tidak memiliki suami dan tidak juga janda. Wanita yang dinikahi itu terkatung-katung, atau yang diceraikan juga seperti itu, menyerupai sesuatu yang terkatung-katung yang disebutkan dalam ayat tadi. la tidak memiliki suami, tetapi bukan janda. Benar, kadang-kadang alasan-alasan logis dapat menunjukkan batalnya talak tersebut tetapi ia tidak sempurna. Kami memiliki contoh berikut.

1. Talak mu’allaq dalam hal terpisahnya mansya' dari in’sya: Sebab, yang diasumsikan adalah talak tersebut tidak sah sebelum terpemuhi syaratnya. Maka harus dipisahkan antara mansya’ dan insya'. Anda tahu tidak konsistennya dalil tersebut. Karena, terbentuknya mansya' setelah insya' dapat terwujud tanpa membedakan antara munjiz dan mu'allaq. Padahal, kadang-kadang mansya'itu berupa munjiz dan kadang-kadang berupa mu'allaq. Faedah insya'adalah kalau mu'allaq itu sah, tidak lagi diperlukan insya' yang baru.

2. Lahiriah dalil itu berpengaruh langsung terhadap sebab. Maka persyaratan tertundanya talak sampai terjadi apa yang di-ta'lik- kan itu, bertentangan dengan lahiriah dalil tersebut.

Catatan:

Sesungguhnya tidak ada di dalam dalil-daIil itu yang menetapkan hal tersebut. Yang disebutkan dalam dalil-dalil adalah wajibnya memenuhi insya'. Namun, pemenuhan itu berbeda-beda menurut perbedaan kandungannya. Maka yang utama adalah berdalil dengan nas dan ijmak.

Sumber: Kitab karangan Syeikh Ja‘far Subhani





No comments:

Post a Comment