Thursday, March 29, 2012

MENGENAL IMAM-IMAM AHLU SUNNAH WAL JAMA’AH



 by: Sayyid Alwi Yahya
Imam-imam ahlu sunnah terbagi dua, yaitu: Imam-imam dalam masalah fiqh dan Imam-imam masalah aqidah. Dalam masalah fiqh mereka mengikuti empat orang  imam terkenal pemilik mazhab yang empat yaitu, Imam Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali.
Imam-imam yang empat itu bukanlah merupakan  generasi sahabat Rasulullah  SAW maupun tabi’in, sehingga Rasul SAW tidak mengenal mereka, dan merekapun tidak mengenal Rasul SAW. Dari keempat imam tersebut, Abu Hanifah merupakan imam yang paling tua dimana usianya berbeza lebih daripada dua ratus tahun dengan Rasul SAW. Adapun dalam masalah aqidah,  ahlu  sunnah   secara umumnya mengikuti Abu Hassan Al- Asy’ari yang lahir tahun 270 H. Imam-imam inilah yang merupakan  imam yang di ikuti dikalangan ahlu Sunnah dalam masalah aqidah dan Syari’at. 
Nah…coba anda perhatikan, adakah dari imam-imam ini yang merupakan imam Ahlu Bait  atau sahabat Nabi? Tentu tidak. Lantas mengapa mereka yang mengaku memegang teguh sunnah Nabi  mengakhirkan atau mengunci mazhab yang empat ini hingga masa tersebut? Dimana Ahlu Sunnah sebelum munculnya para imam mazhab-mazhab itu ? dan bagaimana mereka beribadah, serta kepada siapa mereka berhukum sebelum itu? Dan bagaimana mereka bisa  percaya  kepada orang-orang yang tidak semasa dengan Nabi SAW dan Nabi pun tidak mengenal mereka, sementara ketika mereka muncul, fitnah dan peperangan sesama sahabat Nabi SAW dan diantara pengikut mazhab mereka telah terjadi dimana-mana?
 Pembaca yang saya hormati, cobalah anda berpikir secara jernih! Dapatkah seseorang yang berpikir sehat menerima para imam tersebut saat ketika fitnah dan kekacauan merajalela? Hanya kerana dukungan politik dari penguasa Bani Umayyah dan Bani Abbasiah, keempat-empat mazhab tersebut dapat berkembang di tengah masyarakat (Silahkan lihat di kitab Ahlu Sunnah, Al Intifa’Ibnu Abdul Bar, Dhahral Al Islam Ahmad Amin dan Manakib Abu Hanifah Al Muwafiq).
 Bagaimana seseorang yang mengaku Ahlu Sunnah Nabi meninggalkan Sayyidina Ali, gerbang ilmu pengetahuan (lihat di shahih Muslim, bagian Keutamaan-keutamaan Sayyidina Ali, jilid 4 hal 1871). Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein  penghulu pemuda di surga, serta Imam suci dari keluarga Nabi SAW yang telah mewarisi ilmu yang sebenarnya! Apakah pantas mereka mengaku sebagai pembela Sunah Nabi sementara pada saat yang sama mereka malah meninggalkan wasiat Nabi untuk mengikuti para Imam yang Suci?
Cobalah anda perhatikan, kepentingan politik telah merubah segalnya, yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar. Kaum syi’ah yang memegang teguh wasiat Nabi dibilang pembangkang dan ahli bid’ah, sementara mereka yang tidak memegang teguh wasiat Nabi  malah disebut pengikut sunnah Nabi. Dan saya yakin bahwa otak dari semua ini adalah orang Quraisy,  kerana mereka terkenal dengan pribadi-pribadi  yang  fanatik  dan  licik. Diantara para  pembesar – pembesar  ini adalah:  Abu Sufyan, Mu’awiyyah bin Abu Sufyan, Marwan bin Hakam, Thalhah bin Ubaidillah dan Abu Ubaidillah bin Jarrah. Mereka bermusyawarah dan bermufakat untuk menyebarkan berita-berita palsu di tengah-tengah masyarakat, tanpa diketahui oleh orang lain rahasia yang sebenarnya.
 Diantara politik yang mereka lakukan adalah, menjadikan Nabi SAW tidak ma’sum dan tidak luput dari kesalahan seperti manusia biasa lainya, juga tuduhan-tuduhan dan caci maki mereka terhadap Sayyidina Ali yang mereka hina dengan panggilan Abu Turab (ayah dari Tanah). Demikian pula cacian dan kutukan terhadap Ammar bin Yassir yang mereka sebut sebagai Abdullah bin Saba atau Ibnu Sauda, kerana Ammar menyerukan mengangkatan Sayyidina Ali sebagai khalifah (silahkan anda lihat  buku Musthafa Kamil  Al Syaibani yang memaparkan sejumlah bukti dusta  rekaya yang menggelikan  bahwa Abdullah bin Saba  tidak lain adalah Ammar bin Yassir.)
Demi kian pula rekayasa mereka yang menyebut diri  mereka sebagai Ahlu Sunnah, supaya orang Islam menyangka bahwa  merekalah yang memegang teguh Sunnah Nabi. Pada hakekatnya “sunnah “ yang mreka maksudkan tidak lain adalah bid’ah yang mereka ciptakan untuk mengutuk Sayyidina Ali dan keluarga Nabi SAW di seluruh pelusuk negara. “Bid’ah tersebut berlangsung lebih dari 80 tahun, hingga saat itu jika seorang khatib selesai dari khutbahnya dipastikan sebelum turun dari mimbar akan berteriak:Saya meningalkan sunnah, saya meninggalkan sunnah!
Dan tatkala Umar bin Abdul Aziz berusaha menggantikan sunnah itu  dengan firman Allah ,”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menegakkan keadilan dan kebaikan”(An Nahl;90) dan mereka bersekongkol membunuhnya dengan racun pada usia 32 tahun, disaat itu baru menjabat khalifah kurang lebih dua tahun. Ini karena usahanya untuk menghapus sunnah nenek moyang mereka sebelumnya dari Bani Umayyah dan setelah jatuhnya Bani Umayyah.
Upaya menindasan dan menghinaan terhadap Sayyidina Ali dan pengikutnya terus dilakukan oleh penguasa-penguasa baru Bani Abbasiah yang mencapai puncaknya pada masa khalifah Ja’far Al Muthasim Al Muttawakkil yang berusaha membongkar habis kuburan cucu Nabi SAW, yaitu Sayyidina Husein di Karbala dan melarang para peziarah untuk mengunjunginya (Kerana demikian beratnya hinaan, cacian dan siksaan yang harus ditanggung oleh pengikut Sayyidina Ali dari para penguasa saat itu, sampai-sampai mereka lebih baik mengaku Yahudi daripada mengaku Syi’ah.)
Khalifah Al Mutawakkil juga dikenal sebagai satu-satunya penguasa yang pernah membunuh semua bayi yang namanya Ali, kerana ia benci mendengar nama itu.
Diceritakan bahwa Ali bin Jahm adalah seorang penyair terkenal pada saat itu , tatkala berjumpa dengan Mutawakkil , ia menyatakan ; “Hai Amirul Mu’minin keluargaku telah mendurhakai aku dan Amirul Mu’minin”
“Kenapa?” tanya Al Mutawakkil
“Kerana mereka menamakan diriku Ali, padahal aku paling benci nama itu”
Al Mutawakkil lantas terbahak-bahak dan memberikan sejumlah hadiah. Dan Khalifah Al Mutawakkil inilah yang oleh para ahli hadist Sunni disebut- sebagai pembangkit Sunnah.
Untuk memperjelas riwayat di atas, Imam Al Khawarizmi menulis dalam bukunya : “Harun dan Ja’far” Al Mutawakkil adalah pengikut setan, setiap orang yang mencaci maki Sayyidina Ali  pasti mendapat kiriman hadiah. (Kitab Al Khawarizmi hal, 135). Dalam buku lain Ibnu Hajar meriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal : Bahwa Nasir bin Ali  bin Sahban berkata di hadapan Al Mutawakkil ;
“Dulu Rasullullah SAW pernah mengangkat tangan Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain sambil berkata: ”Siapa yang menyakitiku dan kedua anakku ini, maka ia bersamaku pada hari kiamat di surga”. Mendengar hadist ini Al Mutawakkil mencambuknya 100 kali . Dan saat ia menemui ajalnya, Ja’far bin Abdul Wahid  membisikkan pada Al Mutawakkil ,”Ya Amiral Mu’minin, ia merupakan pengikut Ahlu Sunnah! (Ibnu Hajar, Tahzib Al Tahzib)
            

Dari sini jelaslah bahwa kutukan dan cacian terhadap Sayyidina Ali dipandang sebagai dukungan terhadap simbol Ahlu Sunnah. Dan Mereka Menuduh Syi’ah yang mendukung kepemimpinan Sayyidina Ali sebagai Ahli Bid’ah kerana mereka tidak mengikuti pendapat Sahabat dan Khulafa Al Rasyidin yang tidak mengakui kepemimpinan Sayyidina Ali.
Saya rasa bukti-bukti sejarah yang saya ungkap sudah lebih dari cukup dan anda  para pembaca yang saya hormati, saya  persilahkan untuk meneliti lebih jauh kebenaran yang saya ungkap tersebut Sesungguhnya orng-orang yang berusaha keras untuk menemukan kebenaran, niscaya kami tunjuki mereka jalan yang lurus, dan sesungguhnya Allah bersana orang-orang yang berbuat kebajikan”(Al Ankabuut: 69)
 Ali selalu bersama Al Qur’an dan Al Qur’an  selalu bersamanya, keduanya tidak akan pernah berpisah sampai bertemu denganku kelak ditelaga surga (Al-Mustadrak Al Hakim, juz 3. hal.124).
Sekian, Salam keselamatan atas pengikut kebenaran……

No comments:

Post a Comment