Tuesday, October 18, 2011

Kesaksian dalam Talak- perlu atau tidak?





Di antara yang membedakan Imamiyah/Ja'fari dari mazhab-mazhab lainnya adalah pendapat Ja'fari bahwa kesaksian dua orang yang adil merupakan syarat dalam jatuhnya talak. Jika tidak ada dua orang saksi yang adil maka talak itu tidak sah. Hal ini ditentang oleh para fukaha yang lain

Syekh ath-Thusi berkata, "Setiap talak yang tidak disaksikan oleh dua orang Muslim yang adil, walaupun terpenuhi syarat- syarat lainnya, adalah tidak sah. Hal ini ditentang oleh semua fukaha lain dan tidak seorang pun di antara mereka yang menganggap keharusan adanya saksi."

Pembahasan ini tidak terdapat di dalam kitab-kitab fiqih Ahlu- sunah. Masalah tersebut hanya terbatas pada pendapat-pendapat mereka dalam kitab-kitab tafsir ketika menafsirkah firman Allah swt, “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujuklah mereka dengan baik ata.u lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” ( QS. ath- Thalaq [65 ] : 2) .Ada di antara mereka yang menjadikan kesaksian itu sebagai syarat dalam talak dan rujuk dan adapula yang menjadikannya sebagai syarat khusus dalam rujuk yang dipahami dari kalimat: maka rujuklah mereka dengan baik.

Ath- Thabari meriwayatkan hadis dari as- Saddi bahwa ia menafsirkan firman Allah swt: dari persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu kadang-kadang dalam rujuk. La pun berkata, “Hadirkanlah saksi dalam menahan itu jika mereka menahan istri-istrinya." Yang dimaksud adalah rujuk. Di tempat lain disebutkan bahwa persaksian itu dalam rujuk dan dalam talak. la berkata, “(Persaksian itu) adalah ketika dilakukan talak dan ketika dilakukan rujuk."

Dinukil dari Ibn ‘Abbas bahwa ia menafsirkannya (persaksian itu) dalam talak dan rujuk.
As-Suyuthi berkata, “‘Abdur Razzaq meriwayatkan hadis dari 'Atha': Nikah itu dengan saksi, talak itu dengan saksi, dan rujuk itu juga dengan saksi."

'Imran bin Hushain ditanya tentang seorang laki-laki yang menalak istrinya tanpa kehadiran saksi dan merujuknya kembali tanpa kehadiran saksi. la menjawab, “Itu merupakan seburuk-buruk perbuatan. la menalak istrinya dengan cara bid'ah dan merujuknya kembali dengan tidak mengikuti sunah. Hendaklah ia menghadirkan saksi dalam talak dan rujuknya. Dan hendaklah ia memohon ampunan kepada Allah."

Al-Qurthubi berkata, “Firman Allah swt: ...dan persaksikanlah ...memerintahkan kepada kita untuk menghadirkan saksi dalam melakukan talak. Ada pula yang berpendapat bahwa harus menghadirkan saksi dalam melakukan rujuk. Yang jelas, keharusan persaksian itu adalah dalam rujuk, tidak dalam talak. Kemudian, persaksian itu hukumnya mandub (sunah) menurut Abu Hanifah, seperti firman Al1ah swt, dan persaksikanlah jika kalian melakukan jual beli. " Sedangkan menurut Imam Syafi’i, persaksian itu wajib dalam rujuk.

Al-Alusi berkata, “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil ketika melakukan rujuk jika kalian memilihnya atau ketika melakukan talak jika kalian memilihnya sebagai upaya melepaskan diri dari kecurigaan."


Masih banyak pendapat lain tentang penafsiran ayat tersebut.

Ada dua ulama yang mengungkapkan hakikat ini. Mereka adalah Ahmad Muhammad Syakir al-Qadhi al-Mishri dan Syekh Abu Zahrah. Ahmad Muhammad Syakir al-Qadhi al-Mishri, setelah menukil dua ayat pertama surah ath- Thalaq, mengatakan, "Yang tampak dari konteks kedua ayat itu adalah bahwa firman Allah ...dan persaksikanlah ...berlaku dalam talak dan rujuk sekaligus. Perintah itu menunjukkan wajib karena madlul (yang ditunjukkannya) adalah sesuatu hakiki. Perintah itu tidak ditujukan pada sesuatu yang bukan wajib-seperti mandub-kecua1i dengan adanya qarinah. Sedangkan di sini tidak ada qarinah yang memalingkannya pada selain wajib. Bahkan qarinah-qarinah yang ada di sini menegaskan pengertiannya sebagai sesuatu yang wajib."

Selanjutnya ia mengatakan, "Barangsiapa yang menghadirkan saksi dalam melakukan talak maka talaknya itu dilakukan sesuai dengan cara yang telah diperintahkan. Seperti itu pula orang yang menghadirkan saksi dalam melakukan rujuk. Barangsiapa yang tidak melakukan demikian, ia telah melalaikan hukum-hukum Allah yang telah ditetapkan sehingga perbuatannya itu menjadi batal, tidak menghasilkan konsekuensi apa-apa."
Kemudian ia menambahkan, "Syi’ah berpendapat wajibnya menghadirkan saksi dalam talak, karena hal itu merupakan salah satu rukunnya. Tetapi mereka tidak mewajibkannya dalam rujuk. Membedakan di antara keduanya merupakan sesuatu yang aneh, tanpa dalil."

Abu Zahrah berkata, "Para fukaha Syi’ah lmamiyah dan Isma’iliyah mengatakan bahwa talak itu tidak sah tanpa kehadiran dua orang saksi yang adil. Hal itu berdasarkan firman Allah swt tentang. hukum-hukum talak dalam surat ath-Thalaq, "... dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar: Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya" (QS. ath-Thalaq[65]: 2-3).

Perintah untuk menghadirkan saksi ini datang setelah menyebutkan ditetapkannya talak dan dibolehkannya rujuk. Maka yang pantas adalah memberlakukan persaksian itu dalam talak. Alasan ditetapkannya persaksian itu adalah untuk memberikan pelajaran kepada orang- orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Sehingga hal itu akan menjernihkan dan menguatkan imannya. Sebab, kehadiran saksi yang adil tidak luput dari pelajaran yang baik yang dipersembahkan kepada pasangan suami-istri tersebut. Maka mereka berdua mendapatkan jalan ke luar untuk menghindari talak yang merupakan sesuatu yang halal tetapi paling dibenci Allah swt. Ka1au kami boleh memilih untuk diberlakukan di Mesir, tentu kami akan memilih pendapat ini. Sehingga bagi sahnya talak, disyaratkan kehadiran dua orang saksi yang adil."

Uraian di atas menunjukkan adanya kelompok yang berpendapat bahwa persaksian itu berlaku dalam rujuk saja dan ada pula yang berpendapat bahwa persaksian itu berlaku dalam rujuk dan talak. Tidak ada yang berpendapat bahwa persaksian itu berlaku dalam talak saja kecuali yang saya ketahui dari ucapan Abu Zahrah. Berkenaan dengan itu, setelah menukil teks tersebut, kami harus mendalami dan mengambil petunjuk dari Kitab Allah untuk me- netapkannya.

Allah swt berfirman, "Hai Nabi, Apabila kamu menceraikan istri- istrimu maka hendaklah kamu ceraikan pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka ( diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah. Dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah maka sesunguhnya dia telah berbuat lalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru. Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya maka rujuklah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik, dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar: " (QS. ath-Thalaq [65]: 1-2)

Yang dimaksud dengan balaghna ajalahunna adalah mereka mendekati akhir masa iddahnya. Sedangkan yang dimaksud dengan amsikuhunna adalah ungkapan kiasan yang berarti rujuklah mereka, sebagaimana yang dimaksud dengan bimufaraqatihinna yang berarti membiarkan mereka keluar dari masa iddahnya dan menjadi ba'in.

Tidak diragukan bahwa firman Allah swt, ...dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil menunjukkan perintah wajib seperti perintah-perintah lainnya yang terdapat dalam syariat dan tidak dapat diubah menjadi pengertian lain kecuali dengan dalil lain.
Terdapat beberapa kemungkinan sebagai berikut:

1. Kalimat tersebut menjadi syarat bagi kalimat: maka ceraikanlah mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya.

2. Kalimat tersebut menjadi syarat bagi kalimat: maka rujuklah mereka dengan cara yang baik.

3. Kalimat tersebut menjadi syarat bagi kalimat: atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik.

Tidak seorang pun mengatakan bahwa syarat itu berlaku pada bagian yang terakhir. Sehingga berlakunya syarat itu berkisar pada bagian pertama dan bagian kedua. Yang jelas, syarat tersebut berlaku pada bagian pertama. Ha1 itu karena ayat tersebut menjelaskan hukum-hukum talak dan dibuka dengan ka1imat: Hai Nabi, Apabila kamu menceraikan istri-istrimu Dalam ayat tersebut disebutkan beberapa hukum talak sebagai berikut:

1.    Talak itu dilakukan pada masa iddah mereka.
2.    2. Menghitung masa iddah.
3.    Mereka tidak boleh keluar dari rumah (selama masa iddah).
4.    Suami boleh memilih antara merujuk dan menceraikannya ketika mendekati akhir masa iddahnya.
5.    Kehadiran dua orang saksi yang adil di antara kamu.
6.    Masa iddah perempuan yang tidak tetap masa haidnya ( mustarabah) .
7.    Iddah perempuan yang tidak haid padahal dalam usia haid.
8.    Iddah perempuan yang sedang hamil.

Apabila Anda perhatikan sejumlah ayat da1am surat ini dari ayat pertama hingga ayat ketujuh, Anda akan menemukan bahwa ayat-ayat tersebut menjelaskan hukum-hukum talak. Sebab, itulah maksud sebenamya, bukan rujuk yang dipahami dari firman-Nya: famsikuhunna (maka rujuk1ah mereka) yang merupakan sisipan saja.

Berikut ini adalah beberapa riwayat dari para imam kami as. Muhammad bin Muslim meriwayatkan: Seorang laki-laki datang kepada Amirul Mukminin as di Kufah. la berkata, “Saya telah menceraikan istri saya setelah ia suci dari haidnya sebelum saya mencampurinya." Amirul Mukminin as bertanya, “Apakah engkau menghadirkan dua orang saksi yang adil seperti yang Allah perintahkan kepadamu?" Orang itu menjawab, "Tidak." Maka beliau berkata, “Kembalilah kepadanya karena talakmu tidak sah."

Bakir bin A’yun meriwayatkan hadis dari ash-Shadiqain as bahwa keduanya berkata, "Walaupun ia menceraikannya dalam masa iddahnya dan dalam keadaan suci, belum dicampuri, tetapi hal itu tidak dipersaksikan oleh dua orang yang adil, maka talaknya tidak sah."

Muhammad bin al-Fudhail meriwayatkan hadis dari Abu al- Hasan as bahwa beliau berkata kepada Abu Yusuf, “Agama itu bukan qiyas seperti qiyas yang kamu dan kawan-kawanmu lakukan. Allah menetapkan talak dalam Kitab-Nya dan menegaskannya dengan kesaksian dua orang. Kedua saksi itu tidak diridhai kecuali dua orang yang adil. Dia pun menetapkan pernikahan kembali (rujuk) dalam Kitab-Nya dan membiarkannya tanpa saksi. Maka kalian mendatangkan dua orang saksi dalam sesuatu yang dibatalkan Allah dan membatalkan dua orang saksi dalam sesuatu yang ditegaskan Allah .Azza wa Jalla. Kalian mengesahkan perceraian oleh orang gila dan yang sedang mabuk. Kemudian Dia menyebutkan hukum perlindungan terhadap keluarga.

Ath-Thabrasi berkata, “Para mufasir mengatakan, Mereka diperintahkan untuk mendatangkan dua orang saksi yang adil ketika melakukan talak dan rujuk sehingga istri tidak mengingkari rujuk dan suami tidak mengingkari talak setelah berakhir masa iddah.” Ada juga yang mengatakan bahwa itu artinya, “Datangkanlah saksi dalam melakukan talak untuk memelihara agama kalian.'"

Itu1ah hadis-hadis yang diriwayatkan dari para imam kami as. Secara lahiriah, ini lebih pantas. Karena, jika kita mengartikan bahwa kesaksian itu berlaku dalam talak maka hal itu merupakan sesuatu yang menuntut penetapan wajib, dan kesaksian itu termasuk syarat-syarat sahnya talak. Sedangkan orang yang mengatakan bahwa kesaksian itu berlaku dalam rujuk, itu berarti kesaksian tersebut merupakan sunah."

Kemudian, Syekh Ahmad Muhammad Syakir, hakim syariat di Mesir, menulis sebuah buku tentang talak dalam Islam. la menghadiahkan sebuah naskahnya disertai sepucuk surat kepada Allamah Syekh Muhammad Husain Kasyif al-Ghithi' . Isi suratnya sebagai berikut: Saya berpendapat bahwa disyaratkan kehadiran dua orang saksi ketika dilakukan talak. Jika talak dilakukan tanpa kehadiran dua orang saksi, talak tersebut tidak sah. Walaupun pendapat ini bertenta~gan dengan mazhab-mazhab yang empat (Ahlusunah) tetapi ditegaskan dengan dalil dan sesuai dengan mazhab ahlulbait dan Syi'ah Imarniyah.

Saya juga berpendapat bahwa disyaratkan kehadiran dua orang saksi ketika dilakukan rujuk. Pendapat ini sesuai dengan salah satu qawl Imam Syafi'i tetapi bertentangan dengan mazhab ahlulbait dan Syi'ah. Saya heran terhadap pendapat mereka yang membedakan di antara keduanya. Padahal dalilnya sama yaitu, "... dan persaksikanlah dengan dua orang yang adil di antara kamu.”

Allamah Kasyif al-Ghitha. menjawab dalam surat balasan kepadanya. Ia menjelaskan alasan membedakan di antara keduanya. Berikut ini bagian yang terpenting dari teks surat tersebut:



Seakan-akan-semoga Allah menerangi burhan Anda-di sini Anda tidak menujukan pandangan pada ayat-ayat yang mulia sebagaimana yang biasa Anda lakukan dalam-masalah yang lain. Jika Anda memperhatikan ayat-ayat itu, tentu tampak kcpada Anda bahwa surah yang mulia tersebut berisi penjelasan tentang kekhususan dan hukum-hukum talak sehingga surah tersebut dinamakan surah ath-Thalaq. Surah tersebut diawali dengan firman-Nya, ". “Apabila kamu menceraikan istri- istrimu. " Kemudian Dia menyebutkan keharusan dijatuhkan talak pada masa iddah; bukan setelah bercampur dan bukan pu1a pada masa haid, keharusan menghitung masa iddah, dan larangan bagi mereka untuk keluar rumah.

Setelah itu, Dia keluar dari topik pembahasan dengan menje1askan rujuk ketika menjelaskan hukum-hukum talak. Al1ah swt berfirman, "... Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya maka rujuklah mereka dengan baik. "Yakni, apabi1a telah mendekati akhir iddah, kamu boleh menahan mereka dengan rujuk atau meningga1kan mereka untuk berpisah. Kemudian Dia kembali menyempurnakan hukum-hukum ta1ak. Al1ah swt berfirman, " ..dan persaksikanlah dengan dua orang yang adil di antara kamu. "

Yakni, dalam talak yang merupakan konteks pembahasan untuk menjelaskan hukum-hukumnya dan dipandang buruk mengembalikannya pada rujuk yang tidak disebutkan kecuali sebagai sisipan saja. Tidakkah Anda perhatikan, kalau seseorang mengatakan, 'Jika seorang alim datang kepadamu, kamu harus menghormati dan memuliakannya. Hendaklah kamu menyambutnya baik ia datang sendirian maupun bersama pelayan atau temannya. Wajib mengiringi dan bersikap ramah.' Anda tidak akan memahami kalimat ini kecuali keharusan mengiringi dan bersikap ramah kepada alim itu, bukan kepada pelayan dan temannya walaupun kedua orang itu berjalan di belakangnya. Demi Allah, menurut kaidah-kaidah bahasa Arab dan rasa bahasa ( dzawq) yang benar, ini sangat jelas dan tidak samar bagi Anda. Anda lebih menguasai bahasa Arab kecuali kalau tidak lalai-kelalaian lawan dari ketidakraguan. Ini dari lafaz dalil dan konteks ayat yang mulia.

Terdapat ungkapan yang mendalam dan benar dalam hal hikrnah syariat dan fa1safah Islam serta ketinggian kedudukan dan keluasan wawasannya da1am hukum-hukumnya, yaitu bahwa tidak ada sesuatu yang ha1a1 yang paling dibenci Allah swt kecua1i ta1ak. Agarna Islam, seperti yang Anda ketahui tidak menghendaki jenis perpisahan apa pun terutama da1am keluarga. Lebih khusus lagi da1am pernikahan setelah satu sama lain sa1ing memberi.

Pembuat syariat, dengan kebijaksanaan-Nya yang agung, hendak mengurangi terjadinya perceraian dan perpisahan. Maka Dia memperbanyak syarat-syaratnya berdasarkan kaidah yang sudah dikenal bahwa Apabila sesuatu itu banyak ikatannya akan sedikit keberadaannya. Dia menetapkan adanya dua orang saksi yang adil, pertama untuk memastikan dan kedua untuk menangguhkannya. Mudah-mudahan dengan kehadiran dua orang saksi atau kehadir- an suami~istri atau salah satu dari keduanya bagi mereka akan menimbulkan penyesalan dan mereka kembali bersatu-sebagaimana ditunjukkan da1am finnan Allah swt, ". ..kamu tidak tahu barangkali Allah menjadikan sesuatu yang baru setelah itu. " Inilah hikmah yang mendalam dari ditetapkannya dua orang saksi.

Tidak diragukan bahwa ha1 itu sangat diperhatikan oleh Pembuat syariat Yang Maha bijaksana di samping terdapat faedah-faedah yang lain. Ini semua merupakan kebalikan dari masalah rujuk. Pembuat syariat ingin menyegerakannya, dan dalam menunda-nundanya barangkali terdapat penyakit. Karenanya dalam rujuk tidak diwajibkan satu syarat pun.


Menurut kami, pengikut mazhab Imamiyah-dengan segala ucapan, perbuatan, dan isyarat yang menunjukkannya-dalam rujuk tidak disyaratkan redaksi (shigat) tertentu seperti yang di- syaratkan dalam talak. Semua itu untuk mempermudah terlaksananya perkara yang dicintai Pembuat syariat yang Maha Pengasih kepada hamba-hamba-Nya dan sangat menyukai persatuan mereka, bukan perpisahan. Bagaimana tidak memadai dalam rujuk, bahkan cukup dengan isyarat, menyentuhnya, dan meletakkan tangan padanya dengan maksud rujuk. Ia-yakni, perempuan yang ditalak raj'i-bagi kami pengikut mazhab Imamiyah masih merupa- kan istri hingga keluar dari iddahnya. Oleh karena itu, ia dapat mewarisi dari suaminya dan suami dapat mevarisi darinya, wajib bagi suami menafkahinya, suami tidak boleh menikahi saudara perempuannya, suami tidak boleh menikah dengan istri kelima, dan berlaku baginya hukum-hukum pernikahan lainnya.

Sumber: Kitab karangan Syeikh Ja‘far Subhani




No comments:

Post a Comment