Wednesday, March 28, 2012

KASYFUL ASRAR KHOMAEINI ANTARA BAHASA ARAB DAN BAHASA PARSI

KASYFUL ASRAR KHOMAEINI ANTARA BAHASA ARAB DAN BAHASA PARSI
Prof. Dr Ibrahim Ad Dasuqi Syata
Rektor Bahasa-Bahasa dan Sastra Timur
Fakultas Sastra Univeritas Kairo
Yayasan as-Sajjad


BISMILLAH
BI MUHAMMAD WA AALI MUHAMMAD…
Imam Khomaini kembali di fitnah, group-group anti syiah di forum jejaring sosial menyajikan postingan yang berisi tulisan Ayatullah Khomeini yang konon kabarnya mengecam habis dan mencaci maki para sahabat. Keberadaan tulisan tersebut telah menyulut kutukan dan cacian yang ditujukan kepada Imam Khomaini. Benarkah Imam Khomaini telah membuat senarai tulisan yang mengutuk para sahabat? syiahnews kali ini membongkar konspirasi kejahatan orang-orang yang mengaku Islam yang telah dengan sengaja memalsukan pernyataan Imam Khomaini. Sebuah kejahatan yang didukung oleh dua agen besar CIA dan MOSAD Israel dan dinegeri ini kembali di edarkan oleh orang-orang yang mengaku Islam sejati.

Membaca Postingan Para Pembenci Imam Khomaini
Postingan yang konon di kutip dari Kitab Kasyful Asrar  karya Imam Khomaini dituliskan oleh admin sebuah group jejaring sosial yang menamakan dirinya ANTI SYIAH RAFIDOH, ia bernama Khamid al Khamid yang berasal dari Pasuruan Jawa Timur. Kutipan ini oleh Khamid telah disebarluaskan ke seluruh anggota group itu, berikut kutipan postinganya:

Pernyataan Al-Khumaini, terhadap para Sahabat Nabi S.A.W., Al Qur’anul Karim dan terhadap Imam- imam ahlilbait sebagai berikut:

1.      Mereka (para sahabat Nabi) yang tiada lain terkecuali dunia yang mereka cari dan haus kekuasaan yang menjadi incaran mereka dan bukanlah Al Qur’an semata-mata sebagai alat untuk mewujudkan niat-niat mereka yang buruk dan dengan mudah membuat mereka membuang ayat-ayat itu dari Al Qur’an dan juga membuat mereka mengubah-ubah dan mensirnakannya, sehingga kehinaan terhadap Al Qur’an dan kaum Muslimin dapat berkelanjutan sampai Hari Kiamat. Tuduhan (perubahan kitab Taurat dan Injil) yang mereka (kaum Muslimin) tuduhkan kepada Yahudi dan Nasrani, sesungguhnya telah menjadi satu ketetapan atas mereka (kaum Muslimin) sendiri. (Kasyful Asrar, Al-Khumaini, hlm 114).

2.      Demikianlah, dengan tegas Khumaini menyatakan kepercayaannya, bahwa sahabat-sahabat Nabi itu durhaka dan jahat, yang bertujuan hanya mencari dunia dan haus kekuasaan serta mengubah-ubah Al Qur’an dan membuang banyak ayatnya, yang berakibat hilangnya Qur’an yang asli untuk selama-lamanya; malah Khumaini membela Yahudi dan Nashara dan mengatakan, justru bukan Taurat dan Injil yang telah berubah, tetapi justru Al Qur’an yang diubah oleh para Sahabat Nabi, demikianlah ocehan-ocehan Al Khumaini. Sesudah meyaksikan tulisannya, adakah sesuatu keraguan lagi bahwa apa yang dikatakan alkhumaini itu adalah “kesesatan dan kekafiran yang nyata ?”.

3.      Dan selanjutnya dia tidak segan-segan menuduh Rasulullah dengan tuduhan sebagai berikut :
“Dan telah menjadi nyata, sekiranya Nabi benar-benar menyampaikan perintah mengenai “IMAMAH” sesuai dengan apa yang Allah perintahkan dan berdaya upaya untuk hal itu, niscaya tidak akan timbul di negeri-negeri Islam semua perselisihan, pertengkaran dan peperangan itu, dan tidak akan timbul pertentangan dalam pokok agama maupun cabangnya. (Kasyful Asrar, hlm.155).

4.      Selanjutnya dia berani berdusta atas nama Allah dengan berkata :
“Dengan Imamah-lah agama menjadi lengkap dan misi menjadi sempurna. (Kasyful Asrar, hlm.145).
Padahal Allah berfirman :

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
Artinya :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.” (Al-Maidah, ayat 3).

Pemalsuan Kitab Kasyful Asrar Karya Imam Khomaini

Menanggapi tulisan tersebut Ibnu Jawi al Jogjakartani  berusaha meminta penjelasan dari saudara Khamid al Khamid, apakah dia sudah membaca dengan sendirinya kitab karya Imam Khomaini ataukah dia hanya mengutip dari suatu tempat, tetapi sayang dia bukannya memberi  jawaban melainkan pernyataan yang menggelikan, katanya “ulama-ulama syiah jawa timur berpegang kepada kitab Kasyful Asrar” kemudian seperti biasa melakukan caci maki kepada syiah.

Di tulisan sebelumnya di blog syiahnews.wordpress.com ini, ibnu jawi al jogjakartani pernah menuliskan tentang kejahatan-kejahatan pemalsuan karya-karya ulama syiah oleh kelompok Nawashib, salah satunya adalah pemalsuan terhadap karya Imam Khomaini, ada baiknya kami kutipkan kembali :

Kitab Kasyful Asrar karya Imam Khomaini
Kitab ini ditulis untuk menanggapi buku berjudul Asrar Umruha alfu ‘Am, buku ini ditemukan telah dipalsukan oleh kelompok konspirasi (yang sudah saya sebutkan diatas) dan buku palsu ini telah dimanfaatkan secara sempurna oleh kelompok konspirasi untuk menyerang Imam Khomaini dan Syi’ah diantaranya kemudian diterbitkan buku berjudul Ma’al ‘Khomaini fi kasyfi Asrarihi karya Dr Ahmad Kamal, Sa’id Hawwa juga menulis buku berjudul Al Fitnat-ul Khumayniyah (diterbitkan pula ke bahasa Indonesia). Sa’id Hawwa juga bekerjasama dengan Dr Abdul Mun’im Namer beserta organisasi Konferensi Islam Rakyat Iraq menerbitkan buku berjudul Fadhlalh Ul Khumainiyah. Maha suci Allah, konspirasi tersebut akhirnya terbongkar dan yang membongkar justru Ahlu Sunnah sendiri, iaitu Dr Ibrahim Ad Dasuki Syata, seorang professor dan Ketua Bagian Bahasa dan Sastra Timur Universitas Cairo, yang menemukan tindakan jenayah kelompok konspirasi ini. 

Dr Ibrahim Ad Dasuki Syata kemudian melakukan langkah-langkah hukum untuk memperbaiki nama baik ahlu sunnah. Temuan beliau diantaranya: Kitab Kasyful Asrar dipalsukan di Jordan oleh penerbit bernama Dar Ammar It Thaba’an wa-n ‘Nasr buku ini diterjemahkan oleh Dr. Muhammad al Bandari yang ternyata setelah diteliti nama ini tidak ada. Kemudian tercantum pula nama Sulaim al Hilali (komentator) dan terakhir Prof Dr Muhammad Ahmad al-Khatib.  Buku ini telah dipalsukan dari aslinya dengan sedemikian kasarnya, untuk mengetahui bagaimana kelompok konspirasi ini memalsukan kitab Imam Khomaini tersebut silahkan membaca di Kasyful Asrar Bayna  if shlihi al farisy wt tarjamah al urdaniyah karya Dr Ibrahim Ad Dasuki Syata, dalam kitab itu Dr Dasuki Syata menjelaskan secara detail per kata pemalsuan kelompok ahlu sunnah (Wahabi) pro konspirasi.

Pada kesempatan ini, syiahnews.wordpress.com menyajikan tulisan Dr Ibarhim ad Dasuki Syata yang membongkar kejahatan terhadap karya Imam Khomaini Kasyful Asyrar. Tulisan ini diambil seluruhnya dari buku yang sudah dialih bahasakan ke bahasa Indonesia yang berjudl KASYFUL ASRAR KHOMAEINI antara bahasa Arab dan Bahasa Parsi karya Dr Ibrahim Ad Dasuki Syata Diterbitkan oleh Yayasan As Sajjad Jakarta.

Bantahan Prof. Dr Ibrahim Ad Dasuki Syata Atas Pemalsuan Kasyful Asrar Khomeini
Teks Surat Tuntutan
Kepada
Yth. Al Ustadz Dr Sa’ad Muhammad Al Hajarsy
Assalamu’alaikum Wr Wbt.
Saya tidak bermaksud agar anda lebih mengutamakan surat ini saja, saya bermaksud membicarakan tentang buku Kasyful Asrar, karya Ayatullah Khomeini yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab di Jordan pada tahun 1987. Untuk pembahasan ini saya mempercayakan kepada anda karena saya tidak yakin bahwa selain anda ada majalah lain, yang saya percaya untuk menerbitkan sebagaimana adanya, tanpa pengurangan atau perubahan, sedikit maupun banyak.

Kepada Anda, saya sampaikan terima kasih dan penghargaan sebelumnya atas apa yang saya harapkan dan saya percaya tentang pentingya surat ini…! Barangkali belum ada sebuah buku dalam beberapa tahun terakhir yang begitu membuat heboh sebagaimana buku terakhir yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, buku tersebut adalah “Kasyful Asrar” karya Ayatullah Khomeini yang diterbitkan oleh Dar Ammar Lin Nasyr wat Tauzi’ di Amman tahun 1987.

Buku terjemahan itu di mukaddimahi oleh seorang guru besar hukum Islam, ia bernama Ahmad Al-Khathib,  dalam prakatanya ia menuliskan, (bahwa syiah) berdasarkan ucapan Khomeini meyakini tentang langgeng (kekal)nya jiwa setelah kepunahan raga, yang ini merupakan suatu kepercayaan tentang inkarnasi (penitisan/penyusupan) roh, dan menutup akan suatu pengingkaran terhadap hari kebangkitan dan hisab, bahwa ziarah kubur yang dilakukan oleh kaum syiah telah membuat mereka menjadi musyrik dan kecintaanya kepada Ahlul Bayt adalah suatu penghancuran terhadap Tauhid, Bahwa Ayatullah Khomeini yang meninggal pada tahun 1989 itu adalah orang pertama yang berpendapat tentang Al- Bada’.

Sesungguhnya permasalahan keyakinan syi’ah itu sudah menjadi pembicaraan tersendiri masing-masing golongan Islam seperti Syiah, Sunni, Mu’tazilah, Murjiah dan Qadariyah sudah banyak diketahui. Siapapun orangnya – tidak harus seorang guru syariah – dapat dengan mudah mengetahui prinsip masing-masing cukup hanya dengan membuka sebuah buku eksiklopedia ilmu kalam karya Syahrastani, atau Ibnu Hazm, atau al Baghdadi atau Al Asy’ari untuk menelaah sejarah permasalahan itu.

Sangat di sayangkan Ahmad Al-Khathib telah menafsirkan kata-kata dengan bersandar pada terjemahan yang salah, ia menyandarkan pada terjemahan yang tidak sesuai aslinya, yang menyebutkan bahwa Khomeini telah mencaci maki sahabat dan Rasul. Meski buku terjemahan yang keliru ini diprakatai oleh seorang Ustadz Syari’ah, maka kita harus menyatakan, tidak ikut campur dan mengikuti cara-caranya yang kurang sopan.

Sepanjang pengamatan saya, buku terjemahan itu telah mendapat tanggapan dari orang-orang yang saya katakan “tidak penting”, mereka bermaksud untuk merobohkan Islam (syiah) dengan cara menjatuhkan pemikiran Ayatullah Khomeini, karena sudah tidak mungkin menjatuhkan khomeini, lantaran orang itu sekarang telah menghadap Tuhannya. Substansi persoalanya disini  sebetulnya adalah persoalan ilmiah, yakni pemalsuan penterjemahan, yang sudah barang tentu memerlukan penuntut umum (seorang jaksa), dan persoalan ini bukan masalah perbedaan sejarah, tetapi masalah pemalsuan,  oleh karenanya yang diperlukan adalah seorang jaksa saja, untuk menuntut kasus pemalsuan atas Kasyful Asrar Khomeini. Karena buku terjemahan ini telah menjadi narasumber perpecahan yang menjurus konflik, karena buku terjemahan itu telah memancing orang berteriak-teriak mengutuk Revolusi Islam Iran dan pemimpinya, dan menjadi sumber untuk menghakimi Khomeini, beberapa buku telah diterbitkan untuk merespon buku yang dipalsukan itu, antara lain: Ma’al Khomaini Fi Kasyfi Asrarihi oleh Dr Ahmad Kamal Sya’st, “At Fitnat-ul-Khumainiyah oleh Sa’id Hawwa dan enam artikel yang berbeda-beda yang ditulis oleh pemikir Islam dibawah pimpinan Dr Bisyar Ma’ruf dalam buku yang berjudul Fadhlaih-ul-Khumainiyah,  yang kemudian diterbitkan oleh Organisasi Konfrensi Islam Rakyat Irak.

Yang mendorong saya untuk membahas masalah ini adalah artikel yang diterbitkan oleh sebuah surat kabar (edisi Februari 1989) yang ditulis oleh Abdul Mun’im Namer, ketika dunia Islam seluruhnya merasa terhina oleh kekurang ajaran Salman Ruhsdi yang mengigaukan penghinaan terhadap Islam, Qur’an dan Nabi SAWW dalam bukunya (Ayat-Ayat Setan). Tiba-tiba Dr Namer datang sambil menuntut agar kecaman terhadap Salam Rushdi dikurangi, dan ia meminta agar umat Islam mengalihkan sebagian kemarahannya kepada Ayatullah Khomeini,  karena Khumaeni dalam bukunya “Kasyful Asrar” itu  telah mencaci maki sahabat Nabi beberapa kali lipat lebih banyak daripada yang dilakukan Salman Rushdi, dan ia memberikan  gelar kepada Abu Bakar dan Umar dengan sebutan “Dua berhala Qurasy”.

Saya berupaya untuk mengingat-ingat, saat saya mempersiapkan buku “Revolusi Iran : Akar-akar dan Ideologinya”, saya membaca buku asli Kasyful Asrar  yang masih dalam bahasa Parsi, saya tak  pernah membaca kebohongan sebagaimana yang disebutkan oleh Dr Abdul Mun’im Namer. Untuk memastikan, saya merujuk kembali pada buku itu, dan ternyata tidak kudapati teks yang telah mengundang kemarahan sang Doktor itu. Akhirnya, dalam hati kukatakan, kalau begitu, sumber permasalahan ini menjadi tanggungjawab penuh penerjemah dari bahasa Parsi ke bahasa Arab.

Setelah melakukan penelitian pada buku terjemahan yang berbahasa Arab dan membandingkan dengan buku aslinya yang berbahasa Parsi, saya telah dapat mengungkap rahasia pemalsuan buku terjemahan Arab itu, yakni :

1.      Kudapatkan pada diri sang Profesor syari’ah itu sendiri, yang kata-katanya tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan sejarah  Islam.

2.      Kudapatkan tulisan-tulisan baru, yang tak pernah ada dalam buku-buku dan buku aslinya.

Dalam buku itu, kudapati seorang pemberi catatan pinggir – bernama Sulaim Al-Hilali – ia telah menganggap Abu Ali Ibnu Sina (Ibnu Sina-pen), sebagai bukan seorang muslim,  ia menuduh Ibnu Sina sebagai “Mulhid” (ateis), qaramithah dan kebatinan  (Kasyful Asrar terjemahan Bahasa Arab yang di palsukan halaman 17)… betapa anehnya pernyataan ini, bukankah di zaman kita ini nama-nama perguruan tinggi dan metodologi pendidikan tinggi kita diambil dari beliau? Bukankah ini adalah tuduhan tanpa realitas sejarah ? yang dilakukan oleh seorang Sulaim al-Hilali.

Sulaim al-Hilali, ahli imaginasi notes itu telah memberi catatan -Kasyful Asrar terjemahan bahasa Arab  yang dipalsukan itu-  dengan cacian dan kata-kata kotor yang ditujukan kepada pengarang buku itu Ayatullah Khomeini, ia menuliskan Khomeini sebagai Mulhid, kebatinan, pembohong, pendengki dan fanatik Parsi. Padahal Khomaini tidak pernah menuliskan tulisan sebagaimana yang diterjemahkan dalam bahasa Arab, sepenuhnya tulisan bahasa Arab itu menjadi tanggung penerjemah yang telah memalsukanya.

Kejahatan penerjemah bahasa Arab tersebut terjadi saat Khomaini menuliskan penjelasan pada pembaca  bahwa bukunya ditulis dalam bahasa Parsi (Farisiyah) – kata Farisiyah jika diterjemahkan berarti Bahasa Parsi -  tetapi oleh penterjemah Arab dirubah menjadi “Furs” yang berarti Bangsa Parsi, lalu ahli imaginasi notes mencacinya sebagai pengobar fanatik persia dan ia menentangnya sambil memberi nama Khomeini sebagai yang punya wahyu-wahyu syetan dan si pandir.

Dalam buku Kasyful Asrar terjemahan bahasa Arab  dalam setiap halamanya dipenuhi caci maki semacam itu… itu bukan tanpa kesengajaan, karena dalam setiap lembar buku itu tersedia bahwa terjemahan yang di palsukan sehingga memberikan bahan untuk mencaci maki penulisnya (Ayatullah Khomeini), sebagai contohnya adalah pada halaman 59 (Kasyful Asrar berbahasa Arab yang di palsukan), Khomeini ketika menjelaskan tentang syahid  ia menuliskan “Wa dhaha bi kulli wujudihi fi sabilillahi” (dan ia telah mengorbankan semua yang ada di jalan Allah) kemudian oleh penerjemah berbahasa Arab di palsukan sehingga berbunyi “Wa Khasaro ruhahu min ajlillahi ta’ala” (dan ia telah merugikan rohnya lantaran Allah Ta’ala).  Kemudian komentator menentangnya dengan melancarkan caci maki terhadap Khomeini lantaran beliau memandang syahid itu sebagai merugikan rohnya.

Penerjemah Arab dengan jahat menterjemahkan “Markaz Tasyayyu” yang tertera dengan bahasa Parsi yang berarti pusat pengkajian syiah, diputarbalikan artinya dengan kata mamlaka as syi’ah al kubra yang artinya kerajaan syi’ah raya (lihat di halaman 90 Kasyful Asrar terjemahan bahasa Arab yang dipalsukan) kemudian komentator catatan pinggir menantang Khomeini dengan mengatakan: Kaum muslimin seluruh dunia harus mewaspadai Khomeinisme yang tersembunyi di balik baris-baris buku ini”.

Penerjemah Arab dengan jahat menciptakan permusuhan dengan cara membelokan artinya, Khomeini menuliskan dalam bukunya “an Thariqi al Umum” yang artinya dengan cara yang umum yakni pada umumnya atau menurut semua muhaddisin, tetapi penerjemah Arab merubah dengan “an Thariqil ahlul ammah” (menurut jalan Ahlu Sunnah) pemberi catatan pinggir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Ammah itu adalah Ahlu sunnah, dan khomeini telah menghina Ahlu Sunnah. Padahal dalam buku aslinya Khomaini tidak pernah menyebut Ahlu Sunnah apalagi menghinanya.

Pemberi catatan pinggir itu kadang-kadang menerangkan – sekalipun ia sudah terlalu jelas bodohnya – bahwa ia merasa lebih mampu memahami keterangan-keterangan daripada pengarangnya sendiri, lalu ia mengomentari keterangan pengarangya tentang sebuah hadis syi’ah, dengan mengatakan “riwayat yang sudah gugur ini tidak berarti telah diakui oleh khomeini” (lihat kasyful Asrar terjemahan bahasa arab yang dipalsukan halaman 92).

Atau kadang ia mengatakan: Semoga Allah tidak memecahkan giginya dalam mendefinisikan tentang Al Bada’, dan sipenerjemah memalsukan deinisi Al- bada’ dengan arti yang tidak pernah tercantum dalam kitab-kitab ilmu kalam dan kemudian dinyatakan itu sebagai pernyataan Komeini. (Al Bada’ ialah bahwa Allah mengetahui apa yang sebelumnya tidak ia ketahui) halaman 99, dan contoh pemalsuan yang kemudian dinyatakan sebagai pernyataan Khomeini sangat banyak dan tidak mungkin disebutkan semuanya dalam tulisan ini.

Kini kita kembali membicarakan penerjemah, yang akan memikul beban besar pekerjaan ini, yakni Dr. Muhammad Al Bandari, dan kemungkinan namanya itu nama alias yang tentu saja menyandang gelar Doktor. Tetapi bukan Doktor dalam bahasa Parsi dan ilmu-ilmu bahasa Parsi, yang pengetahuan si penerjemah itu hanya mengetahui bahasa lisan saja. Nama Al Bandari yang dipakai penerjemah itu saya sebut nama alias, mungkin untuk meyakinkan ke pembacanya, karena nama al Bandari dipinjam dari seorang tokoh besar ahli Bahasa Parsi, Al Fath bin Ali Al Bandari penerjemah Syahnameh Al Firdausi kedalam bahasa Arab pada permulaan abad ke tujuh Hijriah.

Saya tidak habis mengerti, mengapa ia meletak nama samaran dengan tokoh besar itu? Bagaimanapun buku ini ditulis oleh seorang alim terkemuka dalam suasana tertentu, buku kasyful Asrar ini ditulis untuk membantah dan menangkis buku-buku tertentu dan menggunakan istilah tertentu pula, yang mengherankan penerjemah  yang bernama hebat itu,tidak mengetahui sedikitpun tentang masalah itu, ini menunjukan sebagai bukti bahwa terjemahan Kashful Asrar itu sebagai terjemahan keterlaluan dan penerjemah tidak memiliki pemahaman terhadap yang diterjemahkan baik dari segi permasalahanya maupun keseluruhan tulisannya. Ada kemungkinan hal ini menjadi penyebab lemah dan bekunya teks bahasa Arab itu sehubungan dengan revolusi yang hebat itu dan dalam segi-segi teks bahasa yang sedang tersiar.

Buku Kasyful Arar ini telah ditulis oleh Ayatullah Khomeini pada tahun 1942, ketika ia berusia empat puluh tahun, dan belum mencapai derajad mujtahid dan ketika Reza Syah Pahlevi jatuh, maka mulalah periode keterbukaan di negeri Iran, maka seorang penganjur nasionalisme Iran memanfaatkan masa itu untuk menyerang islam. Maka khomeini menulis bukunya untuk menangkis tulisan-tulisan Ahmad Kisrawi, seorang nasionalis Iran, yang menyerukan secara terbuka  agar bangsa Iran kembali ke bahasa dan agama Iran sebelum Islam. Buku Kasyful Asrar itu juga sebagai tangkisan  tulisan Syai’at Sankalji seorang penganjur pembaruan madzhab, dan  seorang yang bernama Abi al-Fazal Galbaigani al Bahaiy dan pengikutnya  yang menyerang syiah Istna ‘asyariyah.

Oleh karena faham wahabi pada waktu itu merusak peninggalan bersejarah islam, dengan menyerang peninggalan-peninggalan Islam dengan menuduh peninggalan itu sebagai kuburan. Wahabi juga menyerang dan menggoncangkan Al Azhar al-Syarif, ketika rombongan utusan Al Azhar dibawah pimpinan rektornya datang kepada Wahabi di tolak kerana dituduh pemuja kuburan. Kaum Wahabi merasa buku kasyful Asrar yang ditulis Khomaini ditujukan kepada mereka, padahal buku itu sekalipun membahas Ziarah Kubur, Nazar, Istikharah dan syafaat, namun buku itu hanya membahas secara umum sahaja.

Badan yang menyelenggarakan pekerjaaan terjemahan ini tidak mengetahui latar belakang teks aslinya oleh karenaya komentator dengan sangat serampangan memberikan alasan untuk mengkafirkan Khomeini. Dan penerjemah itu sendiri yang memikul beban dosa paling banyak. Pernahkan ada dengar tentang seorang penerjemah yang menampilkan terjemahan suatu naskah dalam bidang kelilmuan yang tak dikuasainya, atau melakukan suatu kesalahan kecil dengan mengganti istilah, “riwayah” yaitu istilah fiqh diganti dengan “hikayah”? (halaman 93), atau memutar balik terjemahan suatu teks, yang latar belakangnya sudah diterima dan terpakai dalam masa cukup lama dari budaya syi’ah, filsafat dan tasawuf.

Namun tanpa pengetahuan sedikitpun tentang permasalahanya, ia menerjemahkan dengan serampangan dan mengganti tauhid dengan syirik, tanzih yang berarti menyucikan Allah diterjemahkan menjadi tajdif (penghinaan terhadap Allah), Penterjemah mengganti kalimat “turabul ahya wahibun lil hayati (tanah yang akan memberi kehidupan) dengan at turbatu wahbatul lil hayati” (turbah itu memberi kehidupan) penerjemah mengganti ” turabul” menjadi “at turbatu”, mungkin untuk mengejek umat syiah yang kebanyakan mereka sujud dalam salatnya di atas sekeping tanah kering yang disebut turbah (lihat halaman 61).

Penerjemah tidak mampu membedakan antara riwayat “sapi betina Bani Israel” yang menghidupkan kembali orang mati, ketika sebagian tubuh sapi-yang sudah dipotong-itu dipukulkan kepada orang mati tersebut (QS Al Baqarah ayat 67-73) dengan Riwayat “anak sapi Samiry” yang telah ia gengam sekepal tanah dari jejak Rasul, kemudian ia masukkan ke dalam mulut sapi, kemudian jadilah patung emas itu anak sapi yang mempunyai suara (QS Thaha ayat 96).

Yang dimaksud dengan Rasul di sini ialah Jibril, dan riwayat itu merupakan salah satu dari bab-bab tasawuf bahasa Parsi, tetapi ia menerjemahkan Rasul itu dengan Nabi, sehingga campur aduklah kedua riwayat itu (lihat hal 62).

Inilah kejahilan yang parah, yang disandang oleh penerjemah itu tentang semua apa yang bersangkutan dengan keislaman, kemudian katanya, semestinya Ayatullah khomeinilah yang mengatakan kekufuran ini, perbedaan pendapat antara kaum muslimin tentang apabila Allah sudah atau belum mempunyai wujud, kemudian ia melanjutkan (apakah ia mencair dalam zatnya ataukah tidak cair, dan apakah mungkin Allah itu suatu jism atau bukan dan seterusnya) (terjemahan halaman 135). Berdasarkan terjemahan ini, penerjemah hendak menggiring pembacanya bahwa Khomaeini telah membuat pernyataan sia -sia itu. Apakah Khomeini menyatakan itu?

Sepotong katapun Khomeini tidak menuliskan hal itu dalam Kasyful Asrar. Dalam buku asli berbahasa Persia Khomaini menulis sebagai berikut “Namun ada suatu contoh tentang khilaf diantara kaum muslimin, yang berkisar apakah Allah mempunyai sifat-sifat atau tidak mempunyai sifat-sifat, kalau ia mempunyai sifat-sifat apakah sifat-sifatnya ialah dzatnya sendiri, apakah mungkin Allah merupakan suatu raga? (Teks Asli bahasa Persi hgal 113) bandingkan antara kedua terjemahan itu.

Ketika penterjemah itu kebetulan menghadapi masalah hukum Fiqhiyah bahwa air menjadi najis meskipun seukuran ujung jarum selama airnya kurang dari satu kur, maka ini akan mencampakkan seluruhnya, lantaran si penerjemah tidak memahami arti kata “kur” (atau air yang berukuran satu kur) dan tidak mau membenahi pikiran dengan mencari artinya.  Ia disibukan dengan urusan lebih penting, yaitu pemalsuan teks. (Bandingkan kitab terjemahan yang dipalsukan hal 231 dan teks aslinya hal 218) tentang kaidah fiqhiyah: “Muqadimat’ul wajibi wajibatun (Pengantar sesuatu yang wajib sesuatu yang wajib), penerjemah mencoretnya dua kali (yang pertama pada halaman 244 dan yan kedua di halaman 245) namun saya tidak tahu kenapa penerjemah membuang halaman 265 secara keseluruhan. Khususnya yang menyangkut keterangan bahwa Ayatullah Khomaini mencanangkan langkah-langkah dalam penanaman dan pertanian padi dan kesulitan-kesulitan yang memberatkan petani padi. Namun masalahnya apabila penerjemah itu tidak tahu tentang fiqh, tidakkah ia dalam keluasan ilmunya sebagai ustadz syariah dapat mengalihkan pandangan atau pendapatnya, atau mungkin ia belum membaca teks itu, kemudian melakukan terjemahannya?

Antara lain yang memperkuat keraguan, ialah, bahwa penguasaan penerjemah akan bahasa Parsi adalah  khayalan belaka, dan kebodohanya yang sempurna tentang sejarah Iran. Ia lagi-lagi membuang teks yang memuat nama orang kejam  yang bersejarah itu atau peristiwa yang melatari sejarah tersebut, sebagai contohnya ia tidak mau menterjemahkan terjadinya perjanjian kerjasama antara kerajaan Iran dan Inggris yang kemudian menyengsarakan rakyat Iran,  bahkan dua orang algojo kejam Mukhtari dan Ahmadi  yang gemar membunuh rakyat dimasa kekuasaan Reza Khan juga dibuang dan tidak dia terjemahkan, maka  jadilah ia  membuang sebagian besar teks  halaman 283 dari buku yang asli dan ia tidak menerjemahkanya, sepertinya ia mendukung kejahatan Reza Khan dan setuju dengan kerjasama Kerajaan Iran dengan Inggris yang ditentang Khomeini itu.

Tetapi sikap tak konsistennya itu justru membuka kedok kejahatan sang penerjemah, ia telah dengan sengaja mencuri nama besar Al Bandari, penerjemah kata-kata sulit dalam sastra Parsi, tapi ia memalsukan bahkan menghilangkan substansi buku yang ditulis Khomaini tersebut.

Bila kita katakan, bahwa penerjemah itu menjunjug kejujuran dalam penerjemahan, maka apakah dapat dibenarkan  ketika ia menerjemahkan ayat  Al Qur’an yang diterjemahkan kedalam bahasa Parsi itu kemudain ia terjemahkan ke dalam bahasa Arab lagi dengan semahunya sendiri tanpa merujuk kepada mushaf Al Qur’an :

Perhatikan bagaimana penerjemah Kasyful Asrar memalsukan ayat Al Qur’an, ia menuliskan: “Rab-isyrahli shadri wa yassili amri wahlul uqdatan min lisani yafqahu qauli, waj’al mu’ini Haruna akhi fa sydud sa’di bihi waj’allhu syariki”.

(Tuhanku, lapangkanlah dadaku, mudahkan urusanku, bukakan buhul tali yang mengingat lidahku sehingga mereka mengerti perkataanku, jadikanlah penolongku Harun, saudaraku, kuatkan lenganku denganya dan jadikan dia sekutuku) lihat terjemahan bahasa Arab yang dipalsukan halaman 158.

Padahal ayat tersebut dalam buku aslinya tertulis sebagaimana termuat dalam QS Thaha yang berbunyi:

“Qala Rab isyrahli wa yassirli amri wahlul ‘uqdatan min lisani yafqahu qauli waj’alli waziran min ahli Haruna akhi usydud bihi azri waasyrikhu fi amri “(Q Thaha 25-32)

(Ia Musa) berkata “Tuhanku, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah urusanku, bukakan buhul tali yang mengikat lidahku agar mereka mengerti perkataanku, dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, Harun saudaraku, kuatkanlah denganya bebanku dan persekutukanlah dia dalam urusanku).

Kalau dia memang tidak bermaksud menerjemahkan suatu nas dari Al Qur’an, mengapa ia meletakanya diantara dua kurung?

Dihalaman 160 dari terjemahan itu, kita baca: “Allahumma-b’adni wa auladi ‘an ‘Ibadatil austan (Ya Allah jauhkan daku dan anak-anaku dari penyembahan berhala) dan tentu yang ia maksud adalah ayat:
Rabbi j’nubni wa baniyya an na’budal ashnam (Tuhanku, jauhkanlah aku dan anak-anakku dari menyembah berhala).
Kita dapat membayangkan, seorang penerjemah yang tidak mau membuka mushaf (Qur’an) itu agar kita dapat melihat segi-segi geneusnya yang luarbiasa tetapi ia memalsukan tek-teks, membuang  maksudnya, yang pada akhirnya ia dapat mengeluarkan pernyataan yang mengkafirkan Ayatullah Khomeini, dan setiap orang akan mengikutinya dalam mengkafirkan Khomeini, sungguh kejahatan yang luar biasa.

Ya saya merasa berbahagia, wahai tuan-tuan para syeikh yang mulia, dan para ulama terkemuka dengan segala penghormatan dan penghargaanku untuk ikut mendorong dan menjadi mediator saya merasa pula berbahagia, untuk mengingatkan tuan-tuan semua, bahwa tuan-tuan telah tertipu dengan teks yang dipalsukan dan dibohongi, yang serupa dengan bahan-bahan perfileman palsu... ingin tahu buktinya? Marilah kita bersama-sama membuka-buka itu melalui teks Kasyful Asrar yang asli yang berbahasa Parsi :

Artikel yang khusus mengenai masalah Akidah, yang oleh pengarangnya dinamakan “Tauhid” ialah, sebagaimana yang saya katakan, memuat sebagian masalah-masalah keislaman dalam catatan pinggirnya, dan di dalamnya tidak ada pengkafiran terhadap siapapun yang berbeda dengan keyakinan penulisnya (khomaini).

Maka jadilah permasalahan kita yang paling pokok sekarang, di zaman keterbelakangan, zaman ikut-ikutan dan zaman minyak ini, dan paling wajar pula bagi penerjemah adalah cukup menukil (memindahkan) apa adanya, tetapi niat dan tujuan buruk itulah yang mendorong penerjemah melakukan perubahan dalam sebagain teks itu, kemudian ia buang apa yang ingin ia buang, sehingga muncullah serangan terhadap Khomeini, salah satunya adalah masalah Mukjizat, penerjemah telah dengan sengaja memutar balikan keterangan Khomaini sehingga menjadi keterangan yang tidak logis dan tidak dimengerti (lihat halaman 66 dan 67 dari terjemahan Kasyfula Asrar berbahasa Arab) dimana beberapa baris keteranganya dibuang sehingga terjemahanya tidak bisa dipahami.

Demikian pula terjadi pengubahan melalui pembuangan pengurangan, pada halaman 74 dari teks bahasa Arab yang berlawanan dengan halaman 57  dari terjemahanya itu, yang membuat teks bahasa Arab dalam terjemahan itu tidak dapat dimengerti, itu di lakukan dengan tujuan agar dapat diperkirakan oleh para pembacanya bahwa itu adalah ide penulisnya Khomaini.

Perhatikan pula, ketika penerjemah itu membuang keterangan di halaman 61 setelah keterangan “Kami persilahkan kalian bertanya kepada siapapun dari orang syiah Istna Asyary, dan keterangan yang dibuang adalah “Kami tidak bertanggungjawab tentang syiah yang lain” (pada tekas asli bahasa Parsi halaman 57), kita tidak mampu mengatakan bahwa pembuangan itu bukan tanpa maksud bahkan cenderung sebagai kesengajaan penterjemah, hal itu tidak lain adalah agar pembaca menyimpulkan bahwa Syi’ah Itsna Asyary  dipersamakan dengan Syi’ah Ghaliyah (ekstrim).

Demikian pula halnya, bahwa sebagian isi pemotongan tersebut menunjukan bahwa penerjemah tersebut menunjukan bahwa penerjemah itu menghadapi terjemahan yang berbeda dengan keyakinan yang ia peluk, maka ia dengan sengaja membuang keterangan, sehingga dia tidak memahami taswiyah dan tasnim dalam suatu diskusi tentang masalah bangunan kuburan lalu ia buang seluruhnya (hal 85).

Demikian pula kita tidak mengerti, mengapa dia membuang enam baris dalam halaman 96 tidak lain karena baris-baris itu memuat pujian dan sanjuangan terhadap Al Qur’an Karim? anda dapt melihat bahwa penerjemah tidak senang pada penulis Kasyful Asrar yang tampak sangat mencintai Al Qur’an

Fakta Kasyful Asrar terjemahan Arab menunjukkan, bahwa hampir setiap halaman dari terjemahan tidak ada yang terbebas dari pembuangan dan pemalsuan. Maksud dan tujuan dari pembuangan itu adalah memalsukan dan memperjauh terjemahan dari teks aslinya, dalam masalah Imamah misalnya  terdapat banyak sekali bahkan dikatakan seluruhnya dipalsukan oleh penerjemah, berikut catatan kami :

1. Pandangan pemikiran Khomini tentang Imamah, wilayah, wasiyat dan khilafah dinyatakan sebagai hasil pemikiran dan ijthad Khomaini, padahal pemikiran itu sudah ada sebagai peninggalan syiah seribu tahun silam, karena ada tujuan politik maka Khomainilah yang harus dinyatakan sebagai kreator paham itu.

2. Surat saya ini berkisar pada penerjemahan semata dan menilai sedekat apa terjemahan ini dengan teks aslinya yang berbahasa Persia. Ia merupakan diskusi ilmiah yang memuat nurani ilmiah pengetahuan di negeri kita ini, tetapi penerjemahan itu telah menghilangkan nurani keilmiahan.

Banyak sekali pemalsuan terhadap Kasyful Asrar-nya Khomaini sehingga nurani keilmiahan hilang, ketika penerjemah menterjemahkan kalimat “arbabul ahwa wa thullab ur ‘riasah (pemimpin hawa nafsu dan pemburu kepemimpinan ) teks asli hal 107 penerjemah mengganti dengan al intihaziyin al mutarabbishin (mereka yang mengambil kesempatan dan mereka yang menunggu-nunggu (hal 123 pada terjemahan yang dipalsukan), atau ia menerjemahkan “Ul ubatun fi yadi hafnatin min akhdzii ma laisa haqqan lahum”(permainan-permainan di telapak tangan orang-orang pengambil yang bukan hak mereka, diganti dengan “Al Qarashinah al waqihin” (pembajak yang tahu malu) ia lakukan penyelewengan penerjemahan itu dengan maksud membuka daun pintu caci maki, kemudian Ahlu Sunnah akan memandang, bahwa kandungan keterangan itu ialah ketiga khalifah pertama (Abu Bakar, Umar dan Utsman), padahal yang dimaksud oleh Khomaini adalah semua orang yang mengambil bagian atau bersekutu di Saqifah setelah Rasululaah saw wafat, atau setelah peristiwa-peristiwa seterusnya, dan telah disetujui atau terdapat dalam sumber-sumber sunnah dan syiah.

Ketika penerjemah atau pemberi catatan pinggir  memilih dan memberi catatan pinggir di halaman 126, lalu memutuskan bahwa Khomaini dan pengikutnya menyerupakan Abu Bakar dan Umar dengan Dua Berhala Quraisy, ia juga mengutip sebuah do’a yang salah dan tidak dipakai, yang tidak dibaca kecuali oleh orang fasiq, Sementara itu penerjemah menuliskan “Sesungguhnya do’a ini telah ditandatangani oleh para fuqaha besar syiah, dan diantaranya oleh Khomaini, kemudian penterjemah melanjutkan  sesungguhnya do’a itu terdapat dalam kitab Az Dzariy’ah dan kitab-kitab itu termasuk peninggalan syiah dan lebih dari itu ia dikutip dari sebuah kitab berbahasa urdu bernama Tuhfatul ‘Awam, maka atas setiap orang berlimu atau pelajar harus mengambil doa tersebut dan mneghubungkan dengan Khomaini. Padahal dalam naskah aslinya tidak ditemukan redaksi semacam itu Khomaini tidak pernah menyebut Abu Bakar dan Umar kecuali dengan sebutan “Syaikhain” dan ia menolak secara terbuka pencaci makian kepada mereka berdua setelah ia mencapai kekuasaan.

Agaknya – para ulama kita dengan ini – hendak menambahkan hal baru tersebut dalam metode ilmiah, yaitu bahwa catatan pinggir apapun yang ditambahkan kepada sebuah buku terjemahan, tidak boleh tidak - wajib dinisbahkan kepada pengarangya sekalipun itu bukan tulisan pengarangnya,  apakah nurani ilmiah kita pernah mendengar kaidah seperti ini? kemudian dari mana  penerjemah dan komentator itu memperoleh dan meniru tanda tangan syikh-syekh di atas do’a-do’a itu ? dan kapankah orang awam dari firqah apa saja yang mengatakan demikian -kalau mereka mengatakannya- yang dihubungkan kepada para pemikir dan ulamanya ? yang tahu tentang hal itu hanya penerjemah dan pencatat pinggir.

Kini kita beralih ke bagian berikutnya yang mengatakan bahwa (mentaati pemerintah Ulil Amri artinya mentaati pemerintah Islam (hal 125). pernyataan tendensius ini yang memutar balikan pikiran Khomaini secara paksa, agaknya merupakan terjemahan untuk keterangan yang mengatakan : “karena Allah swt telah mewajibkan  umat agar menaati ulil Amri, maka pemerintahan Islam pasti tidak boleh lebih dari satu pemerintahan. Kalau tidak, maka akan terjadi kekacauan/ketidak teraturan (hal 109 teks asli).

Penterjemah juga memalsukan  Hukmul kalalah wa mirastul jaddah (hukum kalalah -orang meninggal tidak meninggalkan saudara laki-laki dan perempuan dan warisan nenek) yang diterjemahkan menjadi: Ahkamul qashirin wal irsti (hukum-hukum tentang orang-orang yang kekurangan dan warisan). terjemahan ini membabi buta dalam perkara seperti ini, dan telah menciptakan permusuhan antar golongan-golongan yang berbeda dari kaum muslimin dianggap sebagi suatu kejahatan dengan tolak ukur apapun. Dapat dipastikan bahwa terjemahan ini tidak bertujuan lain kecuali menciptakan permusuhan.

Ketika pengarang (Khomaini) menjawab pertanyaan: “Kalau Imamah memang penting, mengapa Allah swt tidak memberi nash, dan tidak menyebutkan secara tegas dalam Al Qur’an bahwa Imamah itu untuk Ali dan anak keturunanya sesudah dia? Khomaini menjawab: Pernyataan yang dicari-cari ini hendaklah kalian sendiri yang menjawabnya, tidak lebih dan tidak kurang. Maka apabila Imamah adalah perkara batil, mengapa Allah swt tidak mengumumkan dengan terang-terangan dengan tegas tentang kebatilan imamah agar perselisihan pendapat diantara kaum muslimin dapat dicegah dan supaya tidak terjadi semua pembantaian ini karena isu imamah ini?

Adalah lebih utama kalau Allah menurunkan sebuah surat yang menegaskan bahwa Imamah bukan untuk Ali dan anak keturunanya, maka perselisihan akan hilang, sebab Ali tidak pernah mendurhakai perintah Allah sekejap matapun, sebagaimana pula tidak pernah menjadi penuntun risalah. Namun saya akan membuktikan kebenaran anggapan walaupun Allah SWT menyebutkan nama Imam secara tegas maka khilaf, perselisihan pendapat tidak akan hilang bahkan pasti muncul problem-problem yang lebih merugikan (Teks asli hal 113).

Bagian ini oleh penerjemah dimanipulasi sehingga berisi demikian: Problem berhubungan dengan kalian, bahwa para agamawan sedapat mungkin mengatakan, bahwa imamah sudah ada, tetapi mengapa Allah tidak memperjelasnya agar perselisihan pendapat antar kaum muslimin mengenai masalah itu lenyap? adalah lebih baik jika ia menurunkan suatu ayat yang menunjuk Ali bin Abi Thalib dan anak keturunanya, karena hal itu menyelesaikan masalah (terjemahan hal 129).

Biarlah kita tinggalkan dahulu metode baku itu. Sebaiknya kita lihat adakah sesuatu hubungan antar dua teks tersebut.

Tidakkah lebih utama demi rencana yang keji, jika ia menampilkan terjemahan yang dipercaya untuk buku itu lalu memberikan bantahan dari seorang terpercaya, khususnya dalam bidang itu, karena sesungguhnya persoalan-persoalan itu yang diributkan itu menghentikan studi tentang khazanah Islam? namun akan tampak jelas bahwa segi yang menjadi tanggungannya untuk dibantah, membuatnya tidak menemukan cara yang efektif selain memalsukan teks-teks, kemudian membantah dan mencaci maki.

Contoh-contoh seperti pencelupan dan terjemahan global tak terhitung banyaknya, sehingga pembaca seakan-akan membaca buku baru bukan terjemahan. Jika tidak maka jumlah para pakar bahasa Parsi selain al Bandari moden itu sungguh banyak. Mereka bisa diundang dan dimintai sarannya tentang masalah ini.

Kini giliran catatan-catatn pinggir yang menjadi sasaran manipulasi penerjemah, Ketika pengarang memberikan sebuah catatan pinggir tentang tentang sumber-sumber terpenting, yang ia jadikan pula sebagai alasan atas apa yang ia katakan. Sedangkan nomor-nomor halaman yang dapat menunjukkannya, dibuang seluruhnya oleh penerjemah (hal 115 dari teks asli dan hal 132 dari terjemahan), lalu akan kita namakan apa ini terjemahan atau pemalsuan?
Pada akhirnya penerjemah terperosok kedalam suatu kesalahan yang menertawakan dan mengerikan, namun saya berangan-angan mudah-mudahan itu hanya kesalahan cetak semata. Seandainya ia tidak mengulang, perhatikan terjemahan ini: Lalu mengatakan bahwa ahlu sunnah dan syiah sepakat beranggapan bahwa nabi mempunyai saham dari khumus dan Allah mempunyai saham lain (lihat di buku yang dipalsukan hal 132) dan teks dari kandungan buku yang jelas itu menyebutkan  kata yang artinya keluarga dekat (aqarib, ahl dan aal)  (lihat pada buku aslinya halaman 446) apakah penerjemah menghendaki agar keluarga Nabi itu tidak mendapatkan haknya dari Khumus melalui terjemahan itu ?

Kemudian kita datangi tempat-tempat penghentian kuda dari terjemahan ini, agar pembaca mengampuniku lantaran aku telah berkepanjangan dalam pembicaraan … maka terjemahan dalam topik ini terutama tentang kelemahan nilai fikirnya, yang memberikan gambaran jelek kepada pembaca  tentang penerimaan Khomeini terhadap pandanganya dan pandangan syi’ah sebelumnya tentang hal yang dibesar-besarkan dan dihubungkan dengan Umar, sedangkan teks yang tercantum di dalam riwayat syi’ah disebut “Raziyyah Yaumal Khamis (bencana hari kamis), yaitu hari wafat Rasulullah saww,  disini Khomeini berkata, “Ketika Rasulullah saw  menjelang wafat dalam keadaan sakit, sejumlah orang berkerumun dihadapan beliau yang diberkahi itu. Kemudian beliau mengangkat suara yang parah, “Bawalah kemari sesuatu untuk kutulis, yang kelak menjaga kalian dari kesesatan sepeninggalku selamanya!”

Tiba-tiba Umar bin Khatab berkata: “Rasulullah mengigau”, riwayat ini telah dikutip oleh penulis-penulis sejarah dan para perawi hadis, seperti Bukhori, Muslim dan Ahmad dengan teks berlainan.

Secara singkat dapat disimpulkan bahwa ucapan yang telah dilontarkan secara serampangan oleh Umar bin Khatab dan merupakan bujukan atau gurauan ini, cukuplah bagi orang muslim yang memendam kecemburuan keagamaan sebagai suatu kenyataan sampai hari kiamat, bahwa mereka telah memberikan penghargaan yang mulia kepada Rasululah lantaran beliau telah mengorbankan dirinya, menanggung ujian dan musibah demi pembimbingan yang beliau lakukan untuk mereka.

Dan bagaimanapun orang-orang terhormat dan pencemburu mengetahui, bahwa kepergian roh suci itu setelah mendengar kata-kata ini dari Umar bin Khatab, kata-kata gurau yang hanya muncul dari prinsip kufur dan zindiq. Karena menyalahi Al Qur’an dan ayat-ayatnya yang dzahir dan mengatakan dalam surah An Najm ayat 3-5 “Dan ia tidak berkata dari keinginan dirinya. Tidak demikian dia, melainkan menurut wahyu yang diwahyukan. Yang diajarkan oleh Malaikat yang sangat kuat”

Dalam ayat lain Allah berfirman: “Taatlah kepada Allah dan taat pula kepada Rasul Apa yang Rasul bawa kepadamu ambilah dan apa yang dicegahnya hentikanlah, dan tiada teman kalian itu gila : (Teks asli bahasa Parsi hal 199).

Kemudian si penerjemah memalsukan sebagai berikut: Ketika Rasulullah sedang terbaring sakit menjelang wafat, dan sejumlah orang mengerumuninya, maka beliau bersabda kepada hadirin: “Bawalah kemari sesuatu untuk aku tuliskan tentang sesuatu yang menyelamatkan kalian dari kesesatan”. Kemudian Umar bin Khatab berkata, Rasulullah mengigau. Riwayat telah dikutip oleh para sejarawan dan ahli hadis, diantaranya Bukhori, Muslim dan Ahmad dengan perbedaan kata, dan ini menjadi bukti bahwa laporan ini dari Ibnul Khattab yang mengada-ada dan menjadi bukti yang paling baik bagi seorang muslim yang mempunyai semangat, dan kenyataan bahwa mereka telah memberikan penghargaan yang semestinya kepada nabi yang telah bersusah payah dan menanggung beberapa musibah lantaran petunjuk dan bimbingan kepada mereka.

Beliau telah menutup kedua matanya, sedangkan dalam telinganya terngiang-ngiang perkataan ibnul khattab  atas dasar kepalsuan kebohongan dan tumbuh dari tindakan kekufuran dan Zindiq, serta menyalahi ayat-ayat Qur’an tersebut… sampai akhir (Terjemahan bahasa arab yang dipalsukan hal 137).

Di teks itu berdekatan maknanya, sedekat dua perkataan: “Engkau adalah seorang yang terjangkit kejahilan” dan ”Engkau telah musyrik, demi Tuhan Ka’bah”, padahal di antara kedua ungkapan itu ada perbedaan makna yang mengakar, jika seorang muslim memendam cinta pada Rasululah saww, yang dikatakan bahwa beliau sedang sakit keras dan beliau meracau/mengigau, lalu ia melontarkan suatu ungkapan yang menyalahi sopan santun (adab), maka alangkah kufur dan syiriknya ini, apakah para ulama yang mulia akan menerimanya, bahwa Nabi mengigau, namun mereka tidak akan menerima jika dikatakan, bahwa Umar bin Khattab berkata kasar, sungguh setakar dibanding dengan dua takar.

Penerjemah itu tidak mungkin akan berkeras kepala mengubah-ubah dan mengganti apa yang ia sukai. Sekiranya di belakang dia tidak ada suatu lembaga yang mendorong dan melindungi serta menyebarkan omong kosong ini, kemudian perhatikanlah teks yang ada di ujung halaman 123 dari teks bahasa Parsi yang asli ini.

Patut disebutkan disini, bahwa nazar bagi Nabi atau Imam atau siapapun saja adalah sah secara syar’i, ketika nadzar itu pada prinsipnya ditujukan kepada Allah dan diniatkan karena Allah, dalam suatu perkara yang dibenarkan serta berlaku ucapan atau pernyataan nadzar. Kalau tidak demikian, maka berarti nabi dan Imamlah yang akan memberi pahala, namun hal ini suatu yang sia-sia dan tertolak, bahkan haram hukumnya menurut syara’.
Kemudian sang penerjemah memalsukan demikian:

“Hendaklah kita jangan lupa, bahwa nazar untuk Nabi dan Imam adalah benar dan sah secara syar’i, apabila nazar itu ditunjukan kepada Tuhan, dan pelaksanaanya diletakan pada proporsinya. Pada saat itu Nabi dan Imam itulah yang akan memberinya pahala, jika tidak, maka ia dianggap suatu yang batil dan boleh jadi haram (terjemahan bahasa Arab yang dipalsukan halaman 141).

Perhatikan bahwa ia telah memutarbalikan teks secara sempurna, seperti ia memutar balikan perkataan-Imam Ali- diputar balikan kepada perkataan “Keledai liar yang membalik wajahnya yang lebih buruk”.

Demikian, dalam banyak bagian dari terjemahan yang mengherankan seperti ini, ia melakukan nafi (peniadaan) dirubah menjadi Istbat (pengiyaan).

Demikianlah, dalam banyak bagian dari terjemahan aneh seperti ini ia melakukan pemutar balikan. Sesuatu yang semestinya firmatif (kukuh) dinegatifkan, dan semestinya negatif dipositifkan. Sehingga secara tiba-tiba kita dapati keterangan Khomaini diterjemahkan demikian:

“Berperang bersama-sama Imam itu seperti makan daging babi” (halaman238 dari terjemahan bahasa Arab yang dipalsukan).
Padahal Khomaini berkata sebagai berikut (lihat di buklu asli yang berbahasa Parsi halaman 225):
”Berperang tidak bersama Imam itu seperti makan daging babi” (Khomaini berkata “fi ghairi ma’iyyatil Immam) oleh penerjemah perkataan “fi ghairi” di buang dan diganti dengan perkataan “ma’al imam” (tidak bersama Imam menjadi bersama Imam).

Kemudian kita masuki kasus lain berkenaan dengan manipulasi yang dilakukan oleh penerjemah ini, yaitu isu bahwa Syi’ah itu mempunyai Mushaf (Qur’an) sendiri, karena mereka beranggapan bahwa wahyu turun atas Fatimah as, sebagai belasungkawa atas kematian nabi Saww, kemudian ia terus membawakan riwayat-riwayat abad-abad terdahulu.

Atas dasar inilah syiah menyebutnya “mushaf Fatimah”. Yaitu mushaf khusus bagi syiah yang di duga bukan aslinya, mereka (pembuat tuduhan palsu) melebih-lebihkan, dengan mengutip surah-surah dan ayat-ayat dari mushaf yang dipersangkakan itu, apa saja yang dibicarakan tentang permasalahan tersebut dalam buku ini merupakan bantahan dari khomaini terhadap orang yang mendakwakan dengan tuduhan palsunya, bahwa orang-orang yang bersandar pada gosip-gosip dan ucapan orang awam yang tak berpendidikan dan melekatkan kebohongan demikian pada Syi’ah Istna Asyariyah”.

Lalu apa yang dituliskan penerjemah:

Seperti biasanya, ia memanipulasi perkataan Khomaini, ia tampilkan bagian ini di bagian akhir tulisan, atas dasar agar tampak bahwa itu adalah pendapat Khomaini (padahal Khomaini membantah tudingan itu di manipulasi menjadi seolah-olah pendapat khomaini), ini terjemahannya :

Ketika Khomaini berkata “Janganlah kalian membebani kami untuk menyanggah kalian tanpa sebab, karena urusan penurunan wahyu itu tidak menuntut agar para Nabi itu berjumlah empat belas orang, yang dimaksud Khomaini adalah Rasulullah, Fatimah dan dua belas Imam dengan cara yang mudah dan sederhana ini, penerjemah berusaha mengalihkan tuduhan bohong dari seseorang yang ditujukan kepada syiah, dan sama sekali memutar balikan pernyataan Khomaini yang menolak tahrif Al Qur’an. Inilah kejahatan-kejahatan dari penerjemah, hampir-hampir disetiap kesempatan ia tidak melewatkan pemalsuan untuk menciptakan kesan buruk kepada khomaini.

Ketika Khomaini berbicara tentang Rasulullah saww, ia menuliskan: Ia (Rasul) tidak pernah takut karena celaan orang atas perbuatan kebajikan yang rasul kerjakan, karena Allah akan melindungi dirinya. Oleh penerjemah pernyataan itu dipalsukan demikian: “Sesungguhnya perbuatan-perbuatan beliau (Nabi) itu tidak pernah menghadapi kesulitan, perbuatan jelek (Nabi) itu memang mengenai sasarannya”.

Ketikla ia menerjemahkan hadis syiah: “Orang-orang telah murtad sesudah Rasulullah, kecuali tiga Orang (teks asli bahasa Persia hal 133) kemudian dipalsukan : “Orang-orang  telah murtad sesudah tiga orang” (teks terjemahan yuang dipalsukan hal 152) – lafaz “Rasulullah” oleh pemalsu dibuang diganti dengan kata “thalathah= tiga” sehingga kalimat ba’da Rasulillah menjadi Ba’da thalathah kata ’illah thalathah menjadi ba’da thalathah” – bukan hanya itu saja, si penerjemah membuang semua –sebanyak  enam alenia – yang berisi penjelasan Khomaini tentang kata “murtad”, dan berikut kata murtad yang dibuang si penerjemah:

“Adapun maksud orang-orang telah murtad sesudah Rasululah itu artinya ialah, bahwa mereka telah menarik diri/mundur dari bai’at  kepada Amirul Mukminin pada hajjatul wada’ dan terhadap para Imam Islam pada umumnya. Pengunduran diri mereka dari ba’iat tersebut merupakan riwayat yang mutawatir menurut pengukuhan riwayat hadis sunni dan syi’ah. Hanya tiga atau tujuh orang yang dapat dipastikan dalam keadaan bagaimanapun, tidak mundur secara lahiriah dan bathiniah, dan menentang orang-orang yang menentang Ali. Jika tidak betul demikian, maka orang-orang yang tidak menarik ba’iatnya kepada Ali –pada kenyataanya- berjumlah 220 orang sebagaimana ditetapkan oleh Sayyid Syarafuddin dalam al-Fushul Muhimmah dalam  Al Isti’ab, Al Ishabah, Usudul Ghabah dan kitab-kitab ahlu sunnah lainya mengakui itu (Teks Asli bahasa Parsi halaman 133).

Penjelasan Khomaini tersebut telah dengan sengaja dibuang oleh si penerjemah Kasyful Asrar, jika keterangan dihilangkan apa maksud tujuan penerjemah selain agar Khomaeini dicaci maki.
Mengapa sejak semula ia tidak menerjemahkan buku tersebut dengan cermat, lalu menyodorkan teks yang berbahasa Arab kepada para pakar dan ulama, jika pihak yang menjadi dalangnya ulama sunni sekalipun. Jika tidak demikian, apa tendensinya membuang dan menggantinya  dialog tentang wasiat untuk Ali (halaman 176 dari nakah terjemahan yang dipalsukan).

Apakah isu kontroversial ini tidak pernah dibantah di zaman modern kecuali oleh seorang penerjemah bodoh, dan komentator keji dan penulis pengantar yang tidak mumpuni?
Apakah dengan banyaknya pengkhianatan ilmiah dan caci maki ini suatu madzhab aliran tertentu dapat dimenangkan ?

Apakah teks yang dipalsukan ini dapat memuaskan seseorang ?
Perhatikan pemalsuan penterjemah atas pernyataan Khomaini: “Saya menantang siapapun terutama  orang berbangsa Arab, memahami sesuatu yang dikutipnya tentang masalah Syafaat, Qurbah, Ta’ziyah dan Rauzah (hal 188-195 dari terjemahan bahasa Arab yang dipalsukan).
Jumlah teks yang dipalsukan oleh penerjemah benar-benar mengerikan, setiap halaman dari buku Kasyful Asrar mengalami manipulasi teks sebanyak antara 4, 10 hingga 14 baris teks.
Oleh karena itu, saya pun menantang pula saudara penterjemah, yang ia adalah sorang keturunan Arab dan berbahasa Arab, agar ia membaca tentang apa yang ia perbuat terhadap halaman 192 dan 193, lalu beritahukan kepada saya tentang apa yang telah ia pahami dari pernyataan Khomaeini sesungguhnya, saya akan memberitahukan kepada saudara penterjemah tentang apa yang telah ia lakukan, pemalsuan, pengguntingan dan penterjemahan yang salah dan serampangan.

Inilah salah satu bagian yang menjadi sasaran anak panah para penyerangnya. Apakah kesemuanya ini pantas untuk diserang, ataukah memang sengaja terjemahan itu disodorkan sebagai bahan-bahan penyerangan?
Meskipun bagian-bagian yang tersisa dari buku itu tidak dipergunakan dalam medan pertengkaran yang telah disulut dan dikobarkan oleh penerjemah buku Kasyfurl Asrar, namun justru ini adalah indikasi tentang motif sang penerjemah. Yang puas dan yang senang dengan penggelapan, manipulasi dan pemutar balikan fakta.

Yang aneh pula, bahwa buku itu dari halaman 199 sampai halaman 334, yaitu sampai akhir buku itu memuat pendapat-pendapat penulisnya tentang peranan politik  al-faqih (peran politik ulama Islam), pemikiran-pemikiran sosial politiknya tentang pemerintahan Islam  telah dengan sengaja dibuang sebagian dan dimanipulasi sebagian yang lain.

Ia membuang semua apa yang memuat kritik (khomaeini) terhadap raja-raja dan pemerintahanya, ia membuang tulisan khomaini yang mengkritik Amerika, dan kadang-kadang ia membuang pendapat penulis  yang menyerang Reza Syah Pahlevi, dan membuang pernyataan Khomaini tentang perlunya pelaksanaan dan keagungan syariat Islam dalam rangka menghadapiu undang-undang konvensional.

Contoh-contohnya cukup banyak, sehingga hampir-hampir tidak terdapat satu halamanpun yang selamat dari pembuangan, mulai dari halaman 199 sampai akhir buku itu.
Pembuangan itu terjadi berturut-turut di antara keterangan atau kalimat yang penerjemahnya tidak dapat memahaminya, sampai 15 baris bahkan satu halaman penuh merupakan pemalsuan.

Di akhir-akhir tulisan Khomaeini yang mengulas kerjasama keuangan antara para sayyid dari keluarga Rasulullah (aal-ul bayt) si penerjemah membuang penjelasan Khomaini, kemudian menggantinya dengan pernyataan penerjemah sendiri yang tampil bak pahlawan kesiangan. Inilah kalimat yang di hilangkan oleh penterjemah:

“Mereka telah menetapkan batas-batas hukum waris  buat orang yang dilahirkan dalam kondisi berkepala dua, hukum mayat sejak kematianya sampai tiupan sangkakala, namun diskusi yang mana saja tentang persoalan pemerintahan islam tidak pernah selesai, padahal ia merupakan langkah pertama dalam hubungan sosial dengan manusia sepanjang zaman (hal 237 teks asli berbahasa Persia).

Penerjemah berulangkali menerjemahkan kata mengada-ada dengan kata cara “Kayfiyyah”, menterjemahkan “Tajnid ul ijbariy fil Islam” (wajib militer dalam Islam) diterjemahkan dengan nizham ul qasriy fil Islam (sistem pemalsuan dalam islam), dan ia melakukan terjemahan demikian ini, sepanjang pembicaraanya tentang ketenteraan dalam islam, yang merupakan manipulasi teks dan Islam sekaligus. Ia mengubah pula catatan pinggir halaman 255 dari aslinya kitab al wasail diubah dengan kitab al Farusiyah karya Ibnul Qayyim Al Jauziyah.
Ketika Khomaini menulikan kewajiban atas orang-orang kaya agar mengganti pajak orang fakir yang tidak mampu membayar, si penerjemah sengaja membuangnya (hal 266 dari teks terjemahan berbahasa Arab). Agaknya sipenerjemah tidak mau membuat marah orang-orang kaya dan millioner, dengan cara membiarkan terjemahan bagian ini semua dengan cara di transliterasikan secara ngawur sesuai pemahaman penerjemah.

Adalah menjadi keharusan atas kita untuk mengetahui jurang perbedaan antara terjemahan dan teks aslinya, jika kita membandingkan akal penerjemah dan akal penulisnya, mengukur pendidikan penerjemah dan pendidikan penulisnya, untuk dapat mengetahui berapa banyak kesalahan-keasalahan, maka saya harus menterjemahkan kembali buku tersebut, dan kita perlihatkan itu semua kepada orang yang ingin mengetahuinya.

Penterjemah dengan sengaja menghilangkan kalimat pada halaman 329 dan hanya meringkas secara serampangan pada halaman 330-332 dari tek asli yang berbahasa Parsi, saya tidak tahu mengapa ia membuangnya, padahal teks yang dibuang itu terdapat penjelasan tentang masalah berpalingnya manusia dari agama dan penyebab-penyebabnya.Saya tidak habis mengerti mengapa orang mau berbuat bodoh dengan memalsukan sebuah karya.
Nah, kemudian: Apa. Bagaimana pendapat tuan-tuan para pembahas, para peneliti dari kalangan Doktor-Doktor, para syaikh, Ustadz dan para pelopor konferensi, yang telah mengutip dari buku yang penuh kebohongan dan kepalsuan ini dan menggembar-gemborkanya? Adakah diantara mereka yang menyanggahnya ?
Dr Ibrahim Ad Dasuqi Syata
Rektor Bahasa-Bahasa dan Sastra Timur
Fakultas Sastra Univeritas Kairo

Sumber:

Riwayat Perang Paderi

Tulisan ini bertujuan untuk menyampaikan ringkasan sejarah perang paderi 

Betapa mengerikan, bagaimana sekelompok orang YG BERFAHAM WAHABI dengan dalil mengatasnamakan pe-murni-an agama menyerang umat islam lainnya, membantai raja dan 
seluruh keluarganya dengan kejam dan licik, menghancurkan 2 kerajaan, 
dan mengakibatkan kematian jutaan orang.... Seluruhnya atas nama 
pe-murni-an agama dari adat istiadat yang (menurut mereka) melanggar 
syariat islam.

3 Fase Perang Paderi

Sebagaimana diketahui, perang paderi biasanya dibagi dalam 3 fase yaitu:

** Fase 1: 1802 – 1821

Periode ini adalah fase kelam penyerangan yang dimotori segelintir kaum 
wahabi terhadap umat islam lainnya atas nama pe-"murni"-an agama dari 
"adat istiadat" yang menyimpang dari syariat islam. Dalam periode ini, 
terjadi pembantaian terhadap Raja Minangkabau dan seluruh keluarganya. 
Penyerangan kaum paderi di SUmatera Barat dan Sumatera Utara 
mengakibatkan korban jiwa yang sangat besar, di susul oleh berjangkitnya
wabah kolera mengakibatkan runtuhnya Kerajaan Islam Minangkabau di 
Sumatera Barat. Kaum Paderi juga merangsek ke Sumatera Utara meng-invasi
Kerajaan Batak Bakkara dan menewaskan Sisingamangaraja X.

Seluruh penyerangan yang melemahkan Kerajaan di Sumatera barat dan 
Sumatera Utara ini mengakibatkan mudahnya penjajah Belanda masuk ke 
Padang mulai tahun 1819.

** Fase 2: 1821 – 1832

Periode ini adalah pertempuran antara kaum paderi melawan penjajah belanda.

** Fase 3: 1832 – 1837

Periode ini adalah pertempuran kaum paderi bersama rakyat Sumatra Barat 
lainnya (termasuk kaum "adat" yang pernah dibantai secara biadab oleh 
kaum Paderi) melawan penjajah belanda.

Selanjutnya saya hanya akan menuliskan sejarah kaum paderi pada fase 1 
1802 -1821. Karena fase 2 dan fase 3 sudah banyak diceritakan di sejarah
Imam Bonjol versi sekolah.

Penyerangan Kaum Paderi Terhadap Kerajaan Islam Minangkabau 

Dimulai dari tahun 1802, dimana 3 orang yang baru pulang dari arab saudi
mendirikan gerakan wahabi di Sumatera Barat yaitu Haji Miskin dari 
Pandai Sikat (Luhak Agam), Haji Abdur Rahman dari Piabang (Luhak Lima 
Puluh) dan Haji Muhammad Arief dari Sumanik (Luhak Tanah Datar). Gerakan
wahabi oleh 3 pak haji ini tidak mendapat respons yang baik dari rakyat
muslim Sumatera Barat pada saat itu. 

Hingga pada 1803, gerakan wahabi menjadi gerakan bersenjata setelah Haji
Miskin mendapat sokongan dari 7 orang muridnya yang dipimpin Tuanku Nan
Renceh. Selanjutnya Haji Miskin dan 7 muridnya menamakan diri Harimau 
Nan Salapan, berpakaian jubah putih-putih, dan kemudian disebut sebagai 
kaum paderi.

Atas nama pe-murni-an agama islam dari praktek adat, selanjutnya kaum 
paderi menyerang sekelompok orang yang menyelenggarakan pesta adat 
(termasuk di dalamnya ada judi sabung ayam) di Bukit Batabuh pada 1803. 
Penyerangan berdarah ini diikuti dengan penyerangan-penyerangan 
berikutnya di berbagai kota di Sumatera Barat.

Hingga pada tahun 1808, Raja Minangkabau Sultan Arifin Muning mengundang
kaum paderi dalam perundingan damai di Kuto Tengah. Sayangnya, kaum 
paderi justru melakukan pembantaian kejam atas Sultan Arifin Muning Alam
Syah beserta keluarga dan pembesar kerajaan yang hadir dalam pertemuan 
tersebut (kecuali 1 cucunya yang sempat melarikan diri). Setelah itu 
kaum paderi tak tertahankan lagi dengan serangan ke pusat kerajaan 
Islam Minangkabau, dan menghancurkan istana pagaruyung.

Atas keberhasikan serangan ke pusat Kerajaan Islam Minangkabau 
Pagarruyung di Tanah Datar, maka salah seorang panglima paderi kemudian 
dikaruniai kewenangan oleh pimpinan kaum paderi Tuanku Nan Renceh untuk 
membangun Benteng Bonjol. Panglima tersebut adalah sekaligus murid 
utama Tuanku Nan Renceh, bernama Malin Basa atau Peto Syarif atau 
Muhammad Syahab, dan kemudian bergelar Tuanku Mudo Imam Bonjol menjadi 
pemimpin benteng bonjol yang menjadi pusat penyerangan paderi menguasai 
seluruh wilayah Sumatera Barat dan Sumatera Utara.

Serangan di seluruh kerajaan islam minangkabau di Sumatera Barat, dan 
kemudian meluas ke Sumatera Utara ke kerajaan Batak Bakkara hingga 
menewaskan Sisingamangaraja X, menimbulkan korban jiwa mencapai jutaan 
orang, di susul dengan wabah kolera, yang kemudian melemahkan seluruh 
sendi kerajaan di SUmatera Utara dan Sumatera Barat hingga melempangkan 
jalan bagi kerajaan belanda masuk ke Padang pada tahun 1819
PERSATUAN ISLAM13:53http://img1.blogblog.com/img/icon18_email.gifhttp://img2.blogblog.com/img/icon18_edit_allbkg.gif

No comments:

Post a Comment