Tuesday, October 18, 2011

Sujud di atas Tanah




Barangkali manifestasi peribadatan, ketundukan, dan penghinaan diri makhluk kepada Penciptanya adalah sujud. Dengan sujud, seorang Mukmin meneguhkan peribadatannya kepada Allah swr. Dari sini diketahui bahwa Pencipta Yang Maha Agung menetapkan bagi hamba-Nya penghinaan diri dan ketaatan ini. Maka Dia melimpahkan luthf dan kebaikan-Nya kepada orang yang bersujud. Oleh karena itu, di dalam beberapa hadis diriwayatkan, “Keadaan paling dekat antara hamba kepada Allah adalah ketika sujud."

Di antara praktik-praktik ibadah, solat merupakan mikraj yang dengannya dibedakan antara orang Mukrnin dan orang kafir, dan sujud merupakan salah satu rukunnya. Tidak ada manifestasi penghinaan diri kepada Allah yang lebih jelas daripada sujud di atas tanah, pasir, kerikil, dan batu. Sebab, penghinaan diri dengan cara itu lebih jelas dan lebih nyata daripada sujud di atas tikar, apalagi sujud di atas pakaian yang bagus, permadani yang empuk, emas, dan perak. Walaupun semua itu merupakan sujud, tetapi peribadatan hanya terwujud pada bagian pertama di atas, tidak terwujud pada bagian kedua.

Mazhab Syi'ah Imamiyah mengharuskan sujud di atas tanah baik di rumah maupun sedang dalam perjalanan. Tidak ada yang dapat menggantikan tanah kecuali segala yang tumbuh darinya seperti tikar (yang terbuat dari daun kurma atau bambu), dengan syarat tidak untuk dimakan dan tidak digunakan sebagai pakaian. Mereka tidak memandang sahih bersujud di atas selain dari itu berdasarkan sunah mutawatir dari Nabi saw, ahlulbaitnya, dan para sahabatnya. Akan tampak dalam pembahasan ini bahwa keharusan bersujud di atas tanah atau sesuatu yang tumbuh darinya merupakan sunah yang dipraktikkan di kalangan sahabat. Sedangkan menggantinya dengan sesuatu yang lain hanya diada-adakan pada masa-masa terakhir ini. Untuk menjelaskan hal ini, berikut ini kami ketengahkan beberapa pembahasan sebagai pendahuluan.
 
1.      Perbedaan pendapat para fukaha tentang syarat-syarat benda yang layak Digunakan Untuk Tumpuan Sujud.
Kaum Muslim telah sepakat tentang wajibnya bersujud dalam solat, dua kali pada setiap rakaat. Mereka juga tidak berselisih pendapat tentang kepada siapa sujud itu ditujukan. Yaitu, kepada Allah swt yang kepada-Nya bersujud semua yang ada di langit dan bumi baik dengan suka rela maupun secara terpaksa. (Sebagai isyarat terhadap firman Allah swt: Hanya kepada Allah bersujud segala apa yang ada di langil dan di bumi, baik dengan sukarela maupun kamw terpaksa, (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waklu pagi dan pelang hari (QS ar-Ra.d [13]: 15).

Syiar setiap Muslim adalah firman Allah swt, Jangan bersujud kepada matahari dan jangan pula kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya. " (QS. Fushshilat [41]: 37)

Mereka hanya berselisih pendapat dalam menetapkan syarat- syarat bagi layaknya benda-benda yang menjadi tumpuan sujud, yakni tempat orang bersujud menempelkan dahinya. Mazhab Syi.ah Imamiyah mensyaratkan tumpuan sujud itu berupa tanah atau benda-benda yang tumbuh darinya yang tidak biasa dimakan dan digunakan untuk pakaian-seperti tikar (yang terbuat dari daun kurma atau bambu) dan sebagainya. Sedangkan mazhab- mazhab lain menentangnya. Berikut ini kami kutipkan untuk Anda pendapat-pendapat mereka.

Syekh ath-Thusi (Seorang ulama Syi.ah abad ke-5 H., penulis kitab al-Tashanifwa al-Mu'allafat yang lahir pada tatiun 460 H, murid Syekh a1-Mufid (336-413 H) dan Sayid asy- Syadrifal-Murtadha (355-436 H)), yang menjelaskan pendapat-pendapat para fukaha-mengatakan, “Tidak boleh bersujud kecuali pada tanah atau yang tumbuh darinya yang tidak biasa dimakan dan dijadikan pakaian tidak boleh pada kapas atau jerami, misalnya dan boleh memilih di antara benda-benda tersebut”

Serriua fukaha menentang pendapatnya dalarn hal itu. Mereka membolehkan bersujud di atas kapas, jerami, gandum, wol, dan sebagainya. Mereka mengatakan, ‘Tidak boleh bersujud di atas sesuatu yang biasa dipakai, seperti serban, ujung jubah, dan lengan baju”

Seperti itu pula pendapat asy-Syafi’i. Pendapat mereka didasarkan pada riwayat dari ‘Ali as, Ibn ‘Umar, ‘Ubadah bin ash-Shamit, Malik, dan Ahmad bin Hanbal.
Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya mengatakan, “Apabila bersujud di atas benda yang biasa dipakai, seperti baju yang dikenakannya, hal itu sudah memadai”

Jika bersujud di atas sesuatu yang terpisah dari dirinya, seperti membentangkan tangan lalu bersujud di atasnya, hal itu pun sudah memadai tetapi makruh. Pendapat ini diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri.(Al-Khiltif, kitab ash-shalat, hal. 357-358, masalah no.112-113.)

Allamah ai-Hilli4--sambil menjelaskan pendapat para fukaha tentang benda untuk tumpuan sujud-mengatakan, “Tidak boleh bersujud di atas sesuatu selain tanah dan yang tumbuh darinya tidak boleh pada kulit dan wol, misalnya-menurut ijma para ulama kami. Sedangkan kebanyakan fukaha membolehkannya”

Dalam hal itu, para ulama Syiah sejalan dengan para imam mereka yang merupakan sandingan dan pasangan Alkitab dalam hadis tsaqalain. Di sini, kami merasa cukup dengan menyebutkan beberapa hadis yang diriwayatkan yang berkenaan dengan masalah tersebut:
Ash-Shaduq meriwayatkan hadis melalui sanadnya dari Hisyam bin al-Hakam bahwa ia berkata kepada Abu. Abdi"ah as, “Beritahukanlah kepadaku benda-benda yang boleh dijadikan tumpuan sujud dan yang tidak boleh dijadikan untuk itu.” Abu. Abdillah as menjawab, “Sujud itu tidak boleh dilakukan selain pada tanah atau sesuatu yang tumbuh darinya kecuali yang biasa dimakan atau dijadikan pakaian” la bertanya lagi, “Demi yang diriku menjadi tebusan Anda, apa sebab demikian?” Abu Abdillah as menjawab, “Karena sujud adalah merendahankan diri kepada Allah Azza wa Jalla. Tidak sepatutnya sujud dilakukan pada sesuatu yang biasa dimakan dan dijadikan pakaian karena pencinta dunia adalah budak dari apa yang dimakan dan dipakainya. Sedangkan orang yang bersujud adalah sedang beribadat kepada Allah. Azza wa Jalla. Tidak sepantasnya ia meletakkan dahinya di atas sesuatu yang djsembah oleh para pencinta dunia yang tertipu oleh tipuannya”

Tidaklah heran kalau para ulama Syi'ah mengharuskan sujud di atas tanah atau sesuatu yang tumbuh darinya yang tidak biasa dimakan dan digunakan untuk pakaian karena mengikuti para imam mereka. Sebab, hadis-hadis yang diriwayatkan di kalangan Ahlusunah telah menguatkan pandangan mereka. Akan tampak hal itu dalam hadis-hadis dari mereka. Dari situ akan tampak jelas bahwa yang disunahkan adalah bersujud di atas tanah. Kemudian diberikan keringanan untuk bersujud di atas tikar (yang terbuat dari daun kurma atau bambu). Keringanan untuk bersujud di atas benda selain itu tidak diberikan, bahkan dilarang, sebagai- mana yang akan dijelaskan berikut ini.

Seorang ahli hadis, an-Nuri, meriwayatkan hadis dalam al-Mustadrak dari para pemuka Islam dari Ja 'far bin Muhammad dari bapaknya, dari moyangnya dari ‘Ali as bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tanah itu baik bagimu.Darinya kalian bertayamum, di atasnya kamu solat dalam kehidupan di dunia ini, dan ia menjadi tempat tinggalmu ketika mati. Yang demikian itu adalah kenikmatan dari Allah. Bagi-Nya segala pujian. Benda yang paling baik untuk dijadikan tumpuan sujud orang yang solat adalah tanah yang bersih."

Juga diriwayatkan dari Ja'far bin Muhammad as bahwa ia berkata, “Hendaklah orang yang mengerjakan solat menempelkan dahinya pada tanah ketika bersujud dan melumuri wajahnya dengan debu karena hal itu termasuk penghinaan diri kepada Allah." (Mustadrak al-Wasa’il ,juz 4, termasuk bab-bab Mayasjudu 'alayh. Barangkali hadis ini keluar pada awal-awal hijrah. Ketika itu kaum Muslim hanya bersujud di atas tanah. Tidak ada pertentangan antara hadis tersebut dan hadis lain yang menyebutkan adanya keringanan bersujud pada apa yang tumbuh di atas tanah.

Asy-Sya'rani berkata, “Yang dimaksud dengan ketundukan adalah dengan kepala termasuk wajah yang merupakan anggota tubuh paling mulia untuk bersentuhan dengan tanah, baik dengan dahi maupun hidung. Bahkan, rnenurut rmereka, dengan hidung adalah lebih utama karena hidung sering dijadikan alat untuk menyombongkan diri. Apabila ia menempelkan hidungnya pada tanah, seakan-akan ia keluar dari kesombongan yang terdapat pada dirinya di hadapan Allah SWT. Karena, Hadhirat Ilahi haram dimasuki oleh orang yang pada dirinya terdapat sifat sombong walau - pun sebesar atom. Hadhrat Ilahi itu adalah surga yang agung. Nabi saw bersabda, 'Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat sifat sombong walaupun sebesar atom.” (AI-Yawtiqit wa al-Jawlihir fi 'Aqa.id al-Akabirkarya 'Abdul Wahhab bin Ahmad bin 'Ali al-Anshari al-Mishri yang lebih dikenal dengan panggilan asy-Sya'rani (tennasuk ulama abad ke-10). 1/164, cet. pertama.)

Imam al-Maghribi al-Maliki ar-Rudani mengutip hadis marfu, dari Ibn 'Abbas: "Barangsiapa yang tidak melekatkan hidungnya bersama dahinya pada tanah ketika bersujud, tidak sah solat- nya." (Muhammad bin Muhammad bin Sulaiman al-Maghribi (wafat tahun 1049), Jam' al-Fawa.id minJami' al-Ushiil dan Majma' az-Zawa.id, 1/214. no.1515.)
 
2.      Perbedaan antara ”sujud kepadanya" dan "sujud di atasnya".
Banyak orang mengatakan bahwa sujud di atas tanah atau sesuatu yang tumbuh darinya adalah bid'ah. Mereka juga mengatakan bahwa batu tempat sujud adalah berhala. Mereka tidak bisa membedakan antara “sujud kepadanya" (masjud lahu) dan "sujud di atasnya" (masjud 'alayh). Mereka mengira bahwa batu yang diletakkan di hadapan orang yang sedang solat adalah berhala yang disembah orang itu dengan melekatkan dahi di atasnya. Akan tetapi, tidaklah heran kalau Syi'ah tidak mempedulikan paham yang menyimpang itu yang tidak bisa membedakan di antara kedua hal tersebut. Mereka mengartikan masjud 'alayh dengan masjud lahu. Perbuatan seorang monoteis dianalogikan kepada perbuatan seorang politeis, karena keserupaan hal-hal yalng tampak secara lahiriah. Mereka berhujah dengan rupa dan bentuk yang tampak. Padahal yang menjadi ukuran adalah hal-hal yang batin dan tersembunyi. Berhala bagi kaum paganis (penyembah berhala) adalah sesembahan dan yang disujudi. Mereka meletakkannya di hadapan mereka, serta rukuk dan bersujud kepadanya.

Akan tetapi seorang monoteis ingin mengerjakan solat dalam menampakkan peribadatan hingga akhir urutannya adalah untuk menundukkan diri kepada Allah dan bersujud kepada-Nya. la meletakkan dahi dan wajahnya di atas tanah, batu, kerikil, dan pasir: Hal itu merupakan manifestasi persamaan dirinya dengan benda-benda tersebut sambil berkata, "Aku dari tanah, dan Dia adalah Tuhan segala tuhan."
 
Orang yang bersujud di atas tanah (turbah) tidak beribadat kepada tanah itu. Melainkan, ia menghinakan diri kepada Tuhan-nya dengan bersujud di atas tanah itu. Orang yang memandang sebaliknya adalah orang yang dungu yang akan meragukan semua orang yang solat dan menganggap mereka sebagai musyrik. Maka barangsiapa yang bersujud di atas permadani, kain, dan sebagainya juga harus dipandang sebagai menyembah benda-benda tersebut Sungguh mengherankan.

3.      Sunah tentang sujud pada zaman Rasulullah saw dan sesudahnya.
Nabi saw dan para sahabatnya biasa bersujud di atas tanah selama jangka waktu yang tidak sebentar. Mereka menanggung derita akibat panas yang luar biasa, tanah berdebu, dan lumpur selama bertahun-tahun. Pada waktu itu, tidak ada seorang pun yang bersujud di atas pakaian dan lipatan serban, bahkan tidak pula di atas tikar (yang terbuat dari daun kurma atau bambu) Yang dapat mereka lakukan untuk menghilangkan panas itu dari dahi hanyalah dengan mendinginkan kerikil dengan telapak tangan mereka. Kemudian mereka bersujud di atasnya. Sebagian mereka telah mengadu kepada Rasulullah saw karena panas yang luar biasa. Tetapi beliau tidak memberikan jawaban. Sebab, beliau tidak dapat mengubah perintah Allah nienurut pendapatnya sendiri. Sehingga kemudian diberikan keringanan untuk bersujud di atas tikar kecil dan tikar yang terbuat dari daun kurma. Maka dalam hal itu ada keleluasaan bagi kaum Muslim, namun dalam lingkup terbatas: Berdasarkan uraian di atas, pada masa itu berlaku dua fase pada kaum Muslim, sebagai berikut:

1. Kaum Muslim diwajibkan bersujud di atas tanah dengan berbagai jenisnya berupa debu, pasir, kerikil, dan lumpur. Dalam hal itu tidak ada keringanan untuk bersujud di atas benda lain.

2. Kaum Muslim diberi keringanan untuk bersujud di atas (benda yang terbuat dari) sesuatu yang tumbuh di atas tanah, seperti kerikil, tikar bambu, dan tikar daun kurma. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan keringanan kepada mereka dan menghilangkan kesulitan mereka. Tidak ada fase lain yang memberikan keleluasaan kepada kaum Muslim lebih dari itu, sebagaimana yang diklaim sebagian orang. Berikut ini penjelasannya:
 
Fase Pertama: Sujud di Atas Tanah
 
Dua kelompok meriwayatkan hadis dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda,

”Bagiku tanah dijadikan tempat untuk bersujud dan suci." (Shahih al-Bukhari. 1/91. kitab at-Tayammum. hadis no- 2 dan Sunan al- Baihaqi, 2/433, bab Aynamti adTakatka ash-shaltit fa shalli fa huwa masjid. Hadis ini diriwayatkan pula oleh para penulis kitab-kitab Shahih dan Sunan yang lain.)

Yang dipahami dari hadis di atas, bahwa setiap bagian dari tanah adalah tempat sujud dan suci untuk dijadikan tempat bersujud dan untuk bertayamum. Berdasarkan hal tersebut, tanah dimaksudkan untuk dua hal, yaitu untuk tempat sujud dan untuk bertayamum.

Yang menafsirkan riwayat tersebut, bahwa ibadah dan sujud kepada Allah swr itu tidak dikhususkan pada suatu tempat tertentu, melainkan seluruh tanah (bumi) adalah tempat bersujud (masjid) bagi kaum Muslim, berbeda dengan umat lain yang mengkhususkan peribadatan hanya di gereja dan sinagoge, tidak menyimpang dari apa yang telah kami sebutkan. Karena, jika tanah itu secara mutlak merupakan tempat sujud bagi orang yang mengerjakan solat maka lazimnya seluruh tanah itu layak untuk dijadikan tempat ibadah. Tidak disebutkan makna keharusan dalam ungkapan kami di atas yang menunjukkan penyebutan kata “suci" (thuhuran) setelah kata “tempat sujud" (masjadan) dan menjadikan keduanya sebagai objek (maful) dari kata kerja ju'ilat (dijadikan). Kesimpulannya, penjelasan sifat tanah, yaitu bahwa tanah itu adalah tempat untuk bersujud dan bahwa tanah itu suci. Inilah dipahami al-Jashshash. la berkata, "Yang menjadikan tanah itu tempat bersujud adalah juga yang menjadikan tanah itu suci.

Masih ada beberapa orang penafsir hadis selain ia yang berpendapat sama dengannya.
 
Mendinginkan Kerikil untuk Tempat Sujud
1. Dari Jabir bin. Abdullah al-Anshori: “Saya pernah solat Zuhur bersama Nabi saw. Lalu saya mengambil segenggam kerikil. Saya menggenggamnya, dan membolak-balikkannya pada telapak tangan yang lain hingga kerikil itu menjadi dingin. Kemudian saya meletakkannya pada dahi dan bersujud di atasnya. Hal itu saya lakukan karena hari sangat panas.”
 
Al-Baihaqi memberi komentar terhadap hadis itu dengan katanya: Syekh itu berkata, "Kalau boleh bersujud pada pakaian yang dikenakan, tentu hal itu lebih mudah dilakukan daripada mendinginkan kerikil dengan telapak tangan, lalu meletakkannya untuk tempat sujud."

Kami mengatakan: Kalau bersujud di atas pakaian secara mutlak, baik yang dikenakan maupun yang tidak dikenakan itu dibolehkan, tentu hal itu lebih mudah dilakukan daripada mendinginkan kerikil. Selain itu, lebih mudah menggunakan sapu tangan dan sejenisnya untuk tempat bersujud.

2. Anas meriwayatkan: Pernah kami bersama Rasulullah saw pada hari yang sangat panas. Lalu salah seorang di antara kami mengambil segenggam kerikil. la mendinginkannya dan meletakkannya untuk tempat sujud.

3. Diriwayatkan dari Khabab bin al-Arat: Kepada Rasulullah saw kami mengadukan perihal panasnya dahi kami (ketika bersujud di atas tanah) .Tetapi beliau tidak menanggapi pengaduan kami.

Tentang makna hadis ini, Ibn al-Atsir berkata, "Ketika itu mereka mengadukan kepada Nabi saw derita yang mereka rasakan. Tetapi beliau tidak memperkenankan mereka untuk bersujud di atas ujung baju mereka."

Hadis-hadis tersebut menerangkan bahwa yang ditetapkan di dalam solat adalah berlakunya sujud di atas tanah saja. Sehingga Rasulullah saw tidak memperkenankan kaum Muslim untuk bersujud di atas pakaian yang dikenakan ataupun yang tidak dikenakan. Sekalipun Rasulullah saw bersifat pemurah dan mengasihi orang-orang Mukmin, beliau mewajibkan mereka agar melekatkan dahi mereka pada tanah walaupun mereka merasa sakit karena tanah itu sangat panas.

Yang menerangkan keharusan kaum Muslim bersujud di atas tanah dan Nabi saw terus-menerus melekatkan dahinya pada tanah itu, tidak pada pakaian yang dikenakan, seperti lipatan serban, atau yang tidak dikenakan, seperti sapu tangan dan sajadah, adalah banyak hadis yang meriwayatkan tentang perintah melekatkan tanah ( tatrib)-pada dahi.
 
Perintah Penaburan Debu (Tatrib )
1. Diriwayatkan dari Khalid al-Jahani: Nabi saw melihat Shuhaib bersujud sambil seakan-akan membersihkan debu (di atas tempat sujudnya). Maka beliau menegumya, "Lekatkanlah debu pada wajahmu, hai Shuhaib!"

2. Tampaknya Shuhaib menghindari melekatkan dahinya pada tanah dengan bersujud di atas pakaian yang dikenakan dan yang tidak dikenakan, tidak semata-mata bersujud di atas tikar (yang terbuat dari daun kurma atau bambu) dan batu yang bersih. Bagaimanapun, hadis itu menyatakan keutamaan ber- sujud di atas tanah daripada bersujud di atas kerikil ketika hal itu dibolehkan.

3. Ummu Salamah ra meriwayatkan: Rasulullah saw melihat salah seorang budak kami yang bemama Aflah meniup tempat sujud ketika akan bersujud. Maka beliau berkata, "Hai Aflah, biarkanlah tempat itu berdebu."

4. Dalam riwayat lain disebutkan, "Hai Rabah, lekatkanlah wajahmu pada tanah."

5. Abu ShaIih meriwayatkan: Saya menemui Ummu Salamah. Lalu masuk ke rumahnya seorang anak saudaranya. la solat dua rakaat di situ. Ketika bersujud, ia meniup debu (di atas tempat sujudnya). Maka Ummu Salamah menegurnya, "Hai anak saudaraku, janganlah kamu meniup debu dari tempat sujudmu. Saya pernah mendengar Rasulullah saw berkata kepada seorang budaknya yang bemama Yasar-yang meniup debu dari tempat sujudnya, "Lekatkanlah wajahmu pada tanah karena AIlah."
 
Perintah Mengangkat Serban dari Dahi
1. Diriwayatkan bahwa apabila bersujud, Nabi saw mengangkat serbannya dari dahinya.

2. Diriwayatkan dari 'Ali Amirul Mukminin, bahwa ia.berkata, " Apabila seseorang dari kamu melaksanakan solat, hendaklah ia mengangkat serban dari dahinya." Yakni, tidak bersujud di atas lipatan serban.

3. Shalih bin Hayawan as-Siba’i meriwayatkan bahwa Rasulullah saw melihat di sampingnya seseorang sedang bersujud, sementara serban melekat pada dahinya. Maka Rasulullah saw mengangkat serban itu dari dahinya.

4. Diriwayatkan dari 'Iyadh bin' Abdullah al-Qurasyi: Rasulullah saw melihat seseorang sedang bersujud di atas lipatan serbannya. Maka beliau memberi isyarat dengan tangannya agar orang itu mengangkat serbannya sambil menunjuk pada dahinya.

Riwayat-riwayat tersebut mengungkapkan bahwa pada masa itu kaum Muslim tidak memiliki kewajiban-dalam bersujud kecuali bersujud di atas tanah. Ketika itu tidak ada keringanan apa pun selain mendinginkan kerikil. Kalau pada saat itu ada keringanan, tentu mereka melakukannya. Tetapi justru Rasulullah saw memerintahkan agar wajah dilekatkan pada tanah dan serban diangkat dari dahi.

Fase Kedua, Keringanan Bersujud di atas Tikar
Riwayat-riwayat tersebut terdapat dalam kitab-kitab Shahih, Musnad, dan kitab-kitab hadis lainnya. Semuanya menjelaskan kebiasaan Rasulullah saw dan para sahabatnya bersujud di atas tanah dan sebagainya. Mereka juga tidak pernah menggantinya dengan benda lain walaupun merasa berat dan harus menahan panas. Akan tetapi, terdapat juga dalil-dalil yang menjelaskan keringanan dari Nabi saw-melalui pewahyuan dari Allah swt untuk bersujud di atas setiap benda yang tumbuh di atas tanah. Dengan cara itu mereka diberi kemudahan dalam bersujud, dan menghilangkan kesusahan dari mereka karena panas (ketika cuaca sangat panas) dan dingin (ketika cuaca sangat dingin), dan jika tanah itu basah. Berikut ini saya kemukakan dalil-dalil tersebut:

1. Diriwayatkan dari Anas bin Malik: Rasulullah saw pernah solat di atas tikar kecil (khumrah).

2. Diriwayatkan dari Ibn ' Abbas: "Rasulullah saw pernah solat di atas tikar kecil." Dalam redaksi yang lain disebutkan, "Nabi saw pernah salat di atas tikar kecil.

3. Diriwayatkan dari ' Aisyah: Nabi saw pemah solat di atas tikar kecil.

4. Diriwayatkan dari Ummu Salamah: Rasulullah saw pemah solat di atas tikar kecil.

5. Diriwayatkan dari Maimunah: Rasulullah saw pernah solat di atas tikar kecil. Lalu beliau bersujud di atasnya.

6. Diriwayatkan dari Ummu Sulaim: Rasulullah saw pemah solat di atas tikar kecil.

7. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar: Rasulullah saw pemah solat di atas tikar kecil.
 
Bersujud di atas Pakaian karena Uzur
Anda telah mengetahui dua fase yang telah dibahas sebelumnya. Kalau terdapat fase ketiga, tentu hal itu adalah fase dibolehkannya bersujud di atas selain tanah dan yang tumbuh di atasnya tanpa ada uzur atau keadaan darurat. Tampaknya, keringanan ini berlaku pada masa-masa terakhir setelah berlakunya dua fase di atas. Padahal Anda tahu bahwa Nabi saw tidak menanggapi pengaduan para sahabat yang mengadukan penderitaan mereka akibat panas yang luar biasa. Beliau dan para sahabatnya terus bersujud di atas tanah dengan menahan panas dan sakit. Akan tetapi, Allah SWT memberikan keringanan untuk menghilangkan kesulitan dalam bersujud dengan membolehkan bersujud di atas pakaian bila ada uzur dan keadaan darurat. Berikut ini dalil-dalilnya.

1. Diriwayatkan dari Anas bin Malik: Ketika kami solat bersama Rasulunah saw, salah seorang di antara karmi tidak dapat melekatkan: dahinya pada tanah. Maka ia menarik bajunya, kemu- diari bersujud di atasnya.

2. Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan: Kami pernah solat bersama Nabi saw. Kemudian salah seorang dari kami meletakkan “hujung bajunya (di hadapannya) karena sangat panas. Ketika ia tidak mampu melekatkan dahinya pada tanah, ia menarik bajunya itu.

3. Dalam hadis lain disebutkan: Ketika karni solat bersama Nabi saw, salah seorang dari kami meletakkan ujung bajunya pada tempat sujud karena sangat panas.
 
Riwayat-riwayat yang dikutip para penulis kitab-kitab Shahih dan Musnad ini mengungkapkan kebenaran beberapa hadis yang diriwayatkan dalam masalah ini, tentang bolehnya bersujud di atas pakaian bukan dalam keadaan darurat. Padahal, riwayat dari Anas menyatakan bahwa mereka melakukan hal itu karena darurat. Maka hal itu menjadi alasan untuk melakukan pemutlakan (dalam bersujud di atas pakaian ). Berikut ini beberapa riwayat berkenaan dengan hal itu:
1.      Abdullah bin Mahraz meriwayatkan dari Abu Hurairah: Rasulullah saw solat di atas lipatan serbannya.

Riwayat ini, walaupun bertentangan dengan hadis tentang larangan Rasulullah saw bersujud di atasnya, mencakup adanya uzur dan darurat. Hal itu telah dijelaskan oleh Syekh al-Baihaqi dalam Sunan-nya. Syekh itu berkata, "Adapun riwayat tentang larangan Nabi saw bersujud di atas lipatan serban tidak terbukti sedikit pun. Riwayat yang sahih berkenaan dengan hal itu ada1ah yang diriwayatkan al-Hasan al-Bashri dari para sahabat Nabi saw."

Telah diriwayatkan dari Ibn Rasyid: Saya melihat Makhul bersujud di atas serbannya. Saya bertanya, "Mengapa engkau bersujud di atas serban?" Ia menjawab, "Saya menghindari dingin yang membuat ngilu gigi-gigi saya."
2.      Dari Anas diriwayatkan: Kami solat bersama Nabi saw. Kemudian salah seorang dari kami bersujud di atas bajunya.
Dalam riwayat ini tersirat suatu uzur dengan alasan yang telah karni riwayatkan.

Dari al-Bukhari diriwayatkan: Kami solat bersama Nabi saw ketika hari sangat panas. Karena tidak dapat melekatkan wajahnya pada tanah, salah seorang dari karni membentangkan pakaiannya, lalu bersujud di atasnya.

Hadis itu dikuatkan dengan hadis yang diriwayatkan an- Nasa 'i: Apabila kami solat di belakang Nabi saw pada tengah hari, kami bersujud di atas baju kami untuk menghindari panas.

Terdapat beberapa riwayat pendek yang menyebutkan bahwa Nabi saw solat di atas tikar kulit. Sedangkan, apakah beliau bersujud di atas tikar kulit itu, tidak disebutkan.

3.      Diriwayatkan dari al-Mughirah bin Syu'bah: Rasulullah saw salat di atas tikar daun kurma dan kulit yang telah disamak.

Riwayat ini merupakan hadis lemah karena dalam sanadnya terdapat nama Yunus bin al-Harits-tidak meyebutkan sujud. Di sini tidak dibedakan antara solat di atas kulit dan bersujud di atasnya. Barangkali saja beliau saw melekatkan dahinya pada tanah atau apa saja yang tumbuh di atasnya. Dengan asumsi adanya pembedaan itu pun, hadis tersebut tidak kuat. Selain itu, di dalamnya terkandung pengertian yang telah kami bahas pada dua hadis sebelumnya.
 

No comments:

Post a Comment