Tuesday, October 18, 2011

Pernikahan Nabi Saww. dengan Aisyah: Kajian Ulang


Artikel terjemahan;
Judul Asal:
Was Ayesha A Six-Year-Old Bride?
The Ancient Myth Exposed
by T.O. Shanavas

Seorang teman kristen suatu kali bertanya kepada saya, “Akankah anda menikahkan saudara perempuanmu yang berumur 7 tahun dengan seorang tua berumur 50 tahun?” Saya terdiam.Dia melanjutkan, “Jika anda tidak akan melakukannya, bagaimana bisa anda menyetujui pernikahan gadis polos berumur 7 tahun, Aisyah, dengan Nabi anda?” Saya katakan padanya, “Saya tidak punya jawaban untuk pertanyaan anda pada saat ini.” Teman saya tersenyum dan meninggalkan saya dengan goncangan dalam batin saya akan agama saya.

Kebanyakan muslim menjawab bahwa pernikahan seperti itu diterima masyarakat pada saat itu. Jika tidak, orang-orang akan merasa keberatan dengan pernikahan Nabi saw dengan Aisyah.

Bagaimanapun, penjelasan seperti ini akan mudah menipu bagi orang-orang yang naif dalam mempercayainya. Tetapi, saya tidak cukup puas dengan penjelasan seperti itu.

Nabi merupakan manusia tauladan. Semua tindakannya paling patut dicontoh sehingga kita, Muslim dapat meneladaninya. Bagaimanapun, kebanyakan orang di Islamic Center of Toledo, termasuk saya, Tidak akan berpikir untuk menunangkan saudara perempuan kita yang berumur 7 tahun dengan seorang laki-laki berumur 50 tahun. Jika orang tua setuju dengan pernikahan seperti itu, kebanyakan orang, walaupun tidak semuanya, akan memandang rendah terhadap orang tua dan suami tua tersebut.

Tahun 1923, pencatat pernikahan di Mesir diberi intruksi untuk menolak pendaftaran dan menolak mengeluarkan surat nikah bagi calon suami berumur di bawah 18 tahun, dan calon isteri dibawah 16 tahun. Tahun 1931, Sidang dalam organisasi-organisi hukum dan syariah menetapkan untuk tidak merespon pernikahan bagi pasangan dengan umur diatas (Women in Muslim Family Law, John Esposito, 1982). Ini memperlihatkan bahwa walaupun di negara Mesir yang mayoritas Muslim pernikahan usia anak-anak adalah tidak dapat diterima.

Jadi, saya percaya, tanpa bukti yang solidpun selain perhormatan saya terhadap Nabi, bahwa cerita pernikahan gadis berumur 7 tahun dengan Nabi berumur 50 tahun adalah mitos semata-mata. Bagaimanapun perjalanan panjang saya dalam menyelidiki kebenaran atas hal ini membuktikan intuisi saya benar adanya.

Nabi memang seorang yang gentleman. Dan dia tidak menikahi gadis polos berumur 7 atau 9 tahun. Umur Aisyah telah dicatat secara salah dalam literatur hadist. Lebih jauh, saya pikir bahwa cerita yang menyebutkan hal ini sangatlah tidak bisa dipercaya.

Beberapa hadist (tradisi Nabi) yang menceritakan mengenai umur Aisyah pada saat pernikahannya dengan Nabi, hadist-hadist tersebut sangat bermasalah. Saya akan menyajikan beberapa bukti melawan khayalan yang diceritakan Hisham ibnu `Urwah dan untuk membersihkan nama Nabi dari sebutan seorang tua yang tidak bertanggung jawab yang menikahi gadis polos berumur 7 tahun.

Bukti #1: Pengujian Terhadap Sumber
Sebagian besar riwayat yang menceritakan hal ini yang tercetak di hadist yang semuanya diriwayatkan hanya oleh Hisham ibn `Urwah, yang mencatat atas otoritas dari bapaknya, yang mana seharusnya minimal 2 atau 3 orang harus mencatat hadist serupa juga. Adalah aneh bahwa tak ada seorangpun yang di Madinah, dimana Hisham ibn `Urwah tinggal, sampai usia 71 tahun baru menceritakan hal ini, disamping kenyataan adanya banyak murid-murid di Madinah termasuk yang tersohor Malik ibn Anas, tidak menceritakan hal ini.

Asal dari riwayat ini adalah dari orang-orang Iraq, di mana Hisham tinggal di sana dan pindah dari Madinah ke Iraq pada usia tua.

Tahzibul-Tahzib, salah satu buku yang cukup terkenal yang berisi catatan para periwayat hadist, menurut Yaqub ibn Shaibah mencatat: “Hisham sangat bisa dipercaya, riwayatnya dapat diterima, kecuali apa-apa yang dia ceritakan setelah pindah ke Iraq”. (Tahzibul-Tahzib, Ibn Hajar Al-`Asqalani, Dar Ihya al-Turath al-Islami, 15th Century. Vol 11, p.50).

Dalam pernyataan lebih lanjut bahwa Malik ibn Anas menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq: “Saya pernah diberi tahu bahwa Malik menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq” (Tahzibul-Tahzib, Ibn Hajar Al- `Asqalani, Dar Ihya al-Turath al-Islami, Vol.11, p. 50).
Mizanul-al-I`tidal, buku lain yang berisi uraian riwayat hidup pada periwayat hadist Nabi saw mencatat: “Ketika masa tua, ingatan Hisham mengalami kemunduran yang mencolok” (Mizanul-I`tidal, Al-Zahbi, Al-Maktabatu’l-Athriyyah, Sheikhupura, Pakistan, Vol. 4, p. 301).
KESIMPULAN:
Berdasarkan referensi ini, ingatan Hisham sangatlah buruk dan riwayatnya setelah pindah ke Iraq sangat tidak bisa dipercaya, sehingga riwayatnya mengenai umur pernikahan Aisyah adalah tidak kredibel.
KRONOLOGI: Adalah vital untuk mencatat dan mengingat tanggal penting dalam sejarah Islam:
Pra-610M: Jahiliyah (pra-Islamic era) sebelum turun wahyu.
610M: turun wahyu pertama Abu Bakr menerima Islam.
613M: Nabi Muhammad mulai mengajar ke tengah masyarakat.
615M: Hijrah ke Abyssinia.
616M: Umar bin al Khattab menerima Islam.
620 M: dikatakan Nabi meminang Aisyah.
622M: Hijrah ke Yathrib, kemudian dinamai Madinah.
623/624 M: dikatakan Nabi saw berumah tangga dengan Aisyah.
Bukti #2: Meminang
Menurut Tabari (juga menurut Hisham ibn `Urwah, Ibn Humbal and Ibn Sa’d), Aisyah dipinang pada usia 7 tahun dan mulai berumah tangga pada usia 9 tahun.
Tetapi, di bagian lain, Al-Tabari mengatakan: “Semua anak Abu Bakr (4 orang) dilahirkan pada masa jahiliyah dari 2 isterinya”. (Tarikhu’l-Umam wa’l-Mamluk, Al-Tabari (died 922), Vol. 4, p. 50, Arabic, Dar al-Fikr, Beirut, 1979).
Jika Aisyah dipinang 620M (Aisyah umur 7 tahun) dan berumah tangga tahun 623/624 M (usia 9 tahun), ini mengindikasikan bahwa Aisyah dilahirkan pada 613 M. Sehingga berdasarkan tulisan Al- Tabari, Aisyah seharusnya dilahirkan pada 613M, Yaitu 3 tahun sesudah masa Jahiliyahh usai (610 M).
Tabari juga menyatakan bahwa Aisyah dilahirkan pada saat Jahiliyah. Jika Aisyah dilahirkan pada era Jahiliyah, seharusnya minimal Aisyah berumur 14 tahun ketika dinikah. Tetapi intinya Tabari mengalami kontradiksi dalam periwayatannya.
KESIMPULAN: Al-Tabari tak reliable (tak dapat dipercayai) mengenai umur Aisyah ketika menikah.
Bukti # 3: Umur Aisyah jika dihubungkan dengan umur Fatimah
Menurut Ibn Hajar, “Fatima dilahirkan ketika Ka`bah dibangun kembali, ketika Nabi saw berusia 35 tahun. Fatimah 5 tahun lebih tua dari Aisyah” (Al-Isabah fi Tamyizi’l-Sahabah, Ibn Hajar al-Asqalani, Vol. 4, p. 377, Maktabatu’l-Riyadh al-Haditha, al-Riyadh,1978).
Jika statement Ibn Hajar adalah factual, berarti Aisyah dilahirkan ketika Nabi berusia 40 tahun. Jika Aisyah dinikahi Nabi pada saat usia Nabi 52 tahun, maka usia Aisyah ketika menikah adalah 12 tahun.
KESIMPULAN: Ibn Hajar, Tabari, Ibn Hisham, dan Ibn Humbal kontradiksi satu sama lain. Tetapi tampak nyata bahwa riwayat Aisyah menikah usia 7 tahun adalah mitos tak berdasar.
Bukti #4: Umur Aisyah dihitung dari umur Asma’
Menurut Abda’l-Rahman ibn Abi Zanna’d: “Asma’ lebih tua 10 tahun dibanding Aisyah (Siyar A`lama’l-Nubala’, Al-Zahabi, Vol. 2, p. 289, Arabic, Mu’assasatu’l-Risalah, Beirut, 1992).
Menurut Ibn Kathir: “Asma’ lebih tua 10 tahun dari adiknya [Aisyah]”
(Al-Bidayah wa’l-Nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 371, Dar al-Fikr al-`Arabi, Al-Jizah, 1933).
Menurut Ibn Kathir: “Asma’ melihat pembunuhan anaknya pada tahun 73 H, dan 5 hari kemudian Asma’ meninggal. Menurut riwayat lainnya, dia meninggal 10 atau 20 hari kemudian, atau beberapa hari lebih dari 20 hari, atau 100 hari kemudian. Riwayat yang paling kuat adalah 100 hari kemudian. Pada waktu Asma’ meninggal, dia berusia 100 tahun”. (Al-Bidayah wa’l-Nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 372, Dar al-Fikr al-`Arabi, Al- Jizah, 1933).
Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani: “Asma’ hidup sampai 100 tahun dan meninggal pada 73 atau 74 H.” (Taqribu’l-Tahzib, Ibn Hajar Al-Asqalani, p. 654, Arabic, Bab fi’l-Nisa’, al-Harfu’l-Alif, Lucknow).
Menurut sebagian besar ahli sejarah, Asma’, Saudara tertua dari Aisyah berselisih usia 10 tahun. Jika Asma’ wafat pada usia 100 tahun pada 73 H, Asma’ seharusnya berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah 622M).
Jika Asma’ berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (ketika Aisyah berumah tangga), Aisyah seharusnya berusia 17 atau 18 tahun. Jadi, Aisyah, berusia 17 atau 18 tahun ketika hijrah pada tahun dimana Aisyah berumah tangga.
Berdasarkan Ibn Hajar, Ibn Kathir, dan Abda’l-Rahman ibn Abi Zanna’d, usia Aisyah ketika beliau berumah tangga dengan Rasulullah adalah 19 atau 20 tahun.
Dalam bukti # 3, Ibn Hajar memperkirakan usia Aisyah 12 tahun dan dalam bukti #4 Ibn Hajar mengkontradiksi dirinya sendiri dengan pernyataannya usia Aisyah 17 atau 18 tahun. Jadi mana usia yang benar? 12 atau 18?
KESIMPULAN: Ibn Hajar tidak valid dalam periwayatan usia Aisyah.
Bukti #5: Perang BADAR dan UHUD
Sebuah riwayat mengenai partisipasi Aisyah dalam perang Badr dijabarkan dalam hadist Muslim, (Kitabu’l-Jihad wa’l-Siyar, Bab Karahiyati’l-Isti`anah fi’l-Ghazwi bikafir). Aisyah, ketika menceritakan salah satu moment penting dalam perjalanan selama perang Badar, mengatakan: “ketika kita mencapai Shajarah”. Dari pernyataan ini tampak jelas, Aisyah merupakan anggota perjalanan menuju Badar.
Sebuah riwayat mengenai pastisipasi Aisyah dalam Uhud tercatat dalam Bukhari (Kitabu’l-Jihad wa’l-Siyar, Bab Ghazwi’l-Nisa’ wa Qitalihinnama`a’lrijal): “Anas mencatat bahwa pada hari Uhud, Orang-orang tidak dapat berdiri dekat Rasulullah’ [Pada hari itu,] Saya melihat Aisyah dan Umm-i-Sulaim dari jauh, Mereka menyingsingkan sedikit pakaiannya [untuk mencegah halangan gerak dalam perjalanan tsb].”
Lagi-lagi, hal ini menunjukkan bahwa Aisyah ikut berada dalam perang Uhud dan Badr.
Diriwayatkan oleh Bukhari (Kitabu’l-Maghazi, Bab Ghazwati’l-khandaq wa Hiya’l-Ahza’b): “Ibn `Umar menyatakan bahwa Rasulullah tidak mengizinkan dirinya berpatisipasi dalam Uhud, pada ketika itu, Ibnu Umar berusia 14 tahun. Tetapi ketika perang Khandaq, ketika berusia 15 tahun, Nabi mengizinkan Ibnu Umar ikut dalam perang tsb.”
Berdasarkan riwayat diatas, (a) anak-anak berusia dibawah 15 tahun akan dipulangkan dan tidak diperbolehkan ikut dalam perang, dan (b) Aisyah ikut dalam perang Badar dan Uhud.
KESIMPULAN: Aisyah ikut dalam perang Badar dan Uhud jelas mengindikasikan bahwa beliau tidak berusia 9 tahun ketika itu, tetapi minimal berusia 15 tahun. Disamping itu, wanita-wanita yang ikut menemani para pria dalam perang sudah seharusnya berfungsi untuk membantu, bukan untuk menambah beban bagi mereka. Ini merupakan bukti lain dari kontradiksi usia pernikahan Aisyah.
BUKTI #6: Surat al-Qamar (Bulan)
Menurut beberapa riwayat, Aisyah dilahirkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah. Tetapi menurut sumber lain dalam Bukhari, Aisyah tercatat mengatakan hal ini: “Saya seorang gadis muda (jariyah dalam bahasa Arab)” ketika Surah Al-Qamar diturunkan (Sahih Bukhari, Kitabu’l-Tafsir, Bab Qaulihi Bal al-Sa`atu Maw`iduhum wa’l-Sa`atu Adha’ wa Amar).
Surat 54 dari Quran diturunkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah (The Bounteous Koran, M.M. Khatib, 1985), menunjukkan bahwa surat tsb diturunkan pada tahun 614 M. Jika Aisyah memulai berumahtangga dengan Rasulullah pada usia 9 di tahun 623 M atau 624 M, Aisyah masih bayi yang baru lahir (sibyah in Arabic) pada saat Surah Al-Qamar diturunkan. Menurut riwayat di atas, secara aktual tampak bahwa Aisyah adalah gadis muda, bukan bayi yang baru lahir ketika pewahyuan Surah Al-Qamar. Jariyah berarti gadis muda yang masih suka bermain (Lane’s Arabic English Lexicon).
Lantaran itu, Aisyah, telah menjadi jariyah bukan sibyah (bayi), jadi telah berusia 6-13 tahun pada saat turunnya surah Al-Qamar, dan oleh karena itu sudah pasti berusia 14-21 tahun ketika dinikah Nabi.
KESIMPULAN: Riwayat ini juga mengkontra riwayat pernikahan Aisyah yang berusia 9 tahun.
Bukti #7: Terminologi bahasa Arab
Menurut riwayat dari Ahmad ibn Hanbal, sesudah meninggalnya isteri pertama Rasulullah, Khadijah, Khaulah datang kepada Nabi dan menasehati Nabi untuk menikah lagi, Nabi bertanya kepadanya tentang pilihan yang ada di pikiran Khaulah. Khaulah berkata: “Anda dapat menikahi seorang gadis (bikr) atau seorang wanita yang pernah menikah (thayyib)”. Ketika Nabi bertanya tentang identitas gadis tersebut (bikr), Khaulah menyebutkan nama Aisyah.
Bagi orang yang paham bahasa Arab akan segera melihat bahwa kata ‘bikr’ dalam bahasa Arab tidak digunakan untuk gadis belia berusia 9 tahun.
Kata yang tepat untuk gadis belia yang masih suka bermain-main adalah, seperti dinyatakan dimuka, adalah jariyah. ‘Bikr’ di sisi lain, digunakan untuk seorang wanita yang belum menikah serta belum punya pertautan pengalaman dengan pernikahan, sebagaimana kita pahami dalam bahasa Inggris “virgin”. Oleh karena itu, tampak jelas bahwa gadis belia berusia 9 tahun bukanlah “wanita” (bikr) (Musnad Ahmad ibn Hanbal, Vol. 6, p.210, Arabic, Dar Ihya al-Turath al-`Arabi, Beirut).
KESIMPULAN: Arti literal dari kata, bikr (gadis), dalam hadist diatas adalah “wanita dewasa yang belum punya pengalaman sexual dalam pernikahan.” Oleh karena itu, Aisyah adalah seorang wanita dewasa pada waktu menikahnya.
Bukti #8. Text Qur’an
Seluruh muslim setuju bahwa Al-Qur’an adalah buku petunjuk. Jadi, kita perlu mencari petunjuk dari Qur’an untuk membersihkan kabut kebingungan yang diciptakan oleh para periwayat pada periode klasik Islam mengenai usia Aisyah dan pernikahannya. Apakah Qur’an mengizinkan atau melarang pernikahan dari gadis belia berusia 7 tahun?
Tak ada ayat yang secara eksplisit mengizinkan pernikahan seperti itu. Ada sebuah ayat, yang bagaimanapun, yang menuntun muslim dalam mendidik dan memperlakukan anak yatim. Petunjuk Qur’an mengenai perlakuan anak Yatim juga valid diaplikasikan ada anak kita sendiri.
Ayat tersebut mengatakan: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (Qs. 4:5). “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. ?? (Qs. 4:6).
Dalam hal seorang anak yang ditinggal orang tuanya, Seorang muslim
diperintahkan untuk (a) memberi makan mereka, (b) memberi pakaian, (c) mendidik mereka, dan (d) menguji tahap kedewasaan “sampai usia menikah” sebelum mempercayakan mereka dalam pengelolaan keuangan.
Disini, ayat Qur’an menyatakan tentang perlunya bukti yang teliti terhadap tingkat kedewasaan intelektual dan fisik melalui hasil test yang objektif sebelum memasuki usia nikah dan untuk mempercayakan pengelolaan harta-harta kepada mereka.
Dalam ayat yang sangat jelas di atas, tidak ada seorangpun dari muslim yang bertanggungjawab akan melakukan pengalihan pengelolaan keuangan pada seorang gadis belia berusia 7 tahun. Jika kita tidak bisa mempercayai gadis belia berusia 7 tahun dalam pengelolaan keuangan, Gadis tersebut secara tidak memenuhi syarat secara intelektual maupun fisik untuk menikah. Ibn Hanbal (Musnad Ahmad ibn Hanbal, vol.6, p. 33 and 99) menyatakan bahwa Aisyah yang berusia 9 tahun lebih tertarik untuk bermain dengan mainannya daripada mengambil tugas sebagai isteri.
Oleh karena itu sangatlah sulit untuk mempercayai, bahwa Abu Bakar, seorang tokoh muslim, akan menunangkan anaknya yang masih belia berusia 7 taun dengan Nabi yang berusia 50 tahun. Sama sulitnya untuk membayangkan bahwa Nabi menikahi seorang gadis belia berusia 7 tahun.
Sebuah tugas penting lain dalam menjaga anak adalah mendidiknya. Marilah kita memunculkan sebuah pertanyaan, “berapa banyak di antara kita yang percaya bahwa kita dapat mendidik anak kita dengan hasil memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 atau 9 tahun?” Jawabannya adalah Nol besar.
Logika kita berkata, adalah tidak mungkin tugas mendidik anak kita dengan memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 tahun, lalu bagaimana mana mungkin kita percaya bahwa Aisyah telah dididik secara sempurna pada usia 7 tahun seperti diklaim sebagai usia pernikahannya?
Abu Bakr merupakan seorang yang jauh lebih bijaksana dari kita semua. Jadi dia akan merasa dalam hatinya bahwa Aisyah masih seorang anak-anak yang belum secara sempurna sebagaimana dinyatakan Qur’an. Abu Bakar tidak akan menikahkan Aisyah kepada seorangpun. Jika sebuah proposal pernikahan dari gadis belia dan belum terdidik secara memuaskan datang kepada Nabi, Beliau akan menolak dengan tegas karena itu menentang hukum-hukum Quran.
KESIMPULAN: Pernikahan Aisyah pada usia 7 tahun akan menentang hukum kedewasaan yang dinyatakan Qur’an. Oleh karena itu, cerita pernikahan Aisyah gadis belia berusia 7 tahun adalah mitos semata-mata
Bukti #9: Izin dalam pernikahan
Seorang wanita harus ditanya dan diminta persetujuan agar pernikahan yang dia lakukan menjadi sah (Mishkat al-Masabih, translation by James Robson, Vol. I, p. 665). Secara Islami, persetujuan yang kredible dari seorang wanita merupakan syarat dasar bagi kesahan sebuah pernikahan.
Dengan mengembangkan kondisi logis ini, persetujuan yang diberikan oleh gadis belum dewasa berusia 7 tahun tidak dapat diautorisasi sebagai validitas sebuah pernikahan.
Adalah tidak terbayangkan bahwa Abu Bakr, seorang laki-laki yang cerdas, akan berpikir dan mananggapi secara keras tentang persetujuan pernikahan gadis 7 tahun (anaknya sendiri) dengan seorang laki-laki berusia 50 tahun.
Serupa dengan ini, Nabi tidak mungkin menerima persetujuan dari seorang gadis yang menurut hadith dari Muslim, masih suka bermain-main dengan bonekanya ketika berumah tangga dengan Rasulullah.
KESIMPULAN: Rasulullah tidak menikahi gadis berusia 7 tahun karena akan tidak memenuhi syarat dasar sebuah pernikahan islami tentang klausa persetujuan dari pihak isteri. Oleh karena itu, hanya ada satu kemungkinan Nabi menikahi Aisyah seorang wanita yang dewasa secara intelektual maupun fisik.

Summary:

Tidak ada tradisi Arab untuk menikahkan anak perempuan atau laki-laki yang berusia 9 tahun. Demikian juga tidak ada pernikahan Rasulullah SAW dan Aisyah ketika berusia 9 tahun. Orang-orang Arab tidak pernah keberatan dengan pernikahan seperti ini, karena ini tak pernah terjadi sebagaimana isi beberapa riwayat.
Jelas nyata, riwayat pernikahan Aisyah pada usia 9 tahun oleh Hisham ibn `Urwah tidak bisa dianggap sebagai kebenaran, dan kontradiksi dengan riwayat-riwayat lain. Lebih jauh, tidak ada alasan yang nyata untuk menerima riwayat Hisham ibn `Urwah sebagai kebenaran ketika para pakar lain, termasuk Malik ibn Anas, melihat riwayat Hisham ibn `Urwah selama di Iraq adalah tidak reliable.
Pernyataan dari Tabari, Bukhari dan Muslim menunjukkan mereka kontradiksi satu sama lain mengenai usia menikah bagi Aisyah. Lebih jauh, beberapa pakar periwayat mengalami internal kontradiksi dengan riwayat-riwayatnya sendiri. Jadi, riwayat usia Aisyah 9 tahun ketika menikah adalah tidak reliable karena adanya kontradiksi yang nyata pada catatan klasik dari pakar sejarah Islam.
Oleh karena itu, tidak ada alasan absolut untuk menerima dan mempercayai usia Aisyah 9 tahun ketika menikah sebagai sebuah kebenaran disebabkan cukup banyak latar belakang untuk menolak riwayat tsb dan lebih layak disebut sebagai mitos semata-mata. Lebih jauh, Qur’an menolak pernikahan gadis dan lelaki yang belum dewasa sebagaimana tidak layak membebankan kepada mereka tanggung jawab-tanggung jawab.


Note: The Ancient Myth Exposed
By T.O. Shanavas, di Michigan©2001 Minaret from The Minaret Source: http://www.iiie.net/
Diterjemahkan oleh: Cahyo Prihartono



Beberapa tanggapan:
Lantas bgmn mensikapi Hadits shohih bukhori & Muslim itu?
menolak…?
artinya keshahihan kitab hadits itu bisa dipertanyakan donk….
mohon pencerahannnya…
By: bob on Maret 5, 2007
at 4:38 pm
assalamualaykum…
hmmm…. gmn yah ngejawabnya?

ya… ana rasa antum diberia akal fikiran oleh Allah untuk memilih kebenaran.
untuk masalah hadits shohih bukhori & muslim harus diingat bahwa bukhori muslim itu tidaklah ma’sum, jadi kita tetap harus melihat kembali dan tidak menerima mentah-mentah isi hadits itu.
sebagai contoh silahkan antum coba pelajari kembali hadits2 yang ada dalam shohih bukhori ternyata masih banyak hadits yang dho’if baik dari segi sanad atupun matan. ingat yang mengatakan bahwa hadits dalam kitab shohih itu yang mengatakan semua hadisnya shohih adalah bukhori muslim sendiri, dan kita tidak bisa percaya begitu saja.
afwan insyaallah akan ana komentari lebih lanjut tapi lagi sibuk neh.
syukron.
By: luthv on Maret 8, 2007
at 12:58 pm
oia…. menurut ilmu ushul salah satu indikator sebuah hadits dikatakan shohih apbila hadits tersebut tidak bertentangan dengan al-Quran dan sunnah yang mutawattir serta lebih kuat serta tidak bertentangan dengan akal sehat.
wallahualam.
By: luthv on Maret 8, 2007
at 1:01 pm
Apa betul Aisyah umurnya 30 tahun alias terlambat kawin (perawan berek)???
  •  
By: az on Maret 13, 2007

at 10:13 am
salam mas,
hadis ini memang sering dibuat bahan olen para orientalis dan non muslim untuk menyerang pribadi luhur, manusia terbaik pilihan Allah Nabi Besar Muhammad saw.
ya karena umat Islam sudah terlalu meluarbiasakan kitab Bukhori-Muslim akhirnya sifat kritis kita terhadap hadis-hadisnya sudah nggak ada lagi, padahal seperti kata mas luth tadi Bukhori adalah manusia biasa yang bisa salah.
kadang-kadang dengan tidak kita sadari kita lebih membela hadis-hadis yang masih meragukan tersebut, walaupun dengan resiko pribadi Nabi saw yang agung tercoreng. padahal beliau sudah dijamin dalam al-Qur’an bahwa beliau saw adalah “Pribadi yang paling agung”!
harusnya kita menteladani Bukhori yakni menyaring hadis-hadis, bukan hanya hadis Bukhori saja tapi semua hadis, agar kita benar-benar mendapatkan hadis-hadis, yang shohih. Bukankah Bukhori katanya menyaring hadis yang jumlahnya ratusan ribu (ada yang bilang sejuta, yang penting banyaklah) kemudian disaring dan di saring hingga yang dibukukan tinggal sekitar empat ribuan atau enam ribuan termasuk hadis-hadis yang sama.
kebetulan mengenai pembahasan diatas, saya kebetulan lagi asyik browsing, akhirnya ndapatin tulisan soal itu di “Sydney Morning Herald”, koran ini kebetulan lagi memberi laporan khusus soal Islam di Sydney-Australi. disitu seorang muslim [Dr Zacharia Matthews] diberi kesempatan untuk menjawab pertanyaan para bule yang non muslim tentang Islam, kebetulan salah seorang penanya menyoal perkawinan Nabi saw dengan Aisyah ra yang berumur 9th. dibawah ini saya kopi-pastekan soal jawab tersebut (untuk diketahui):
[How are Islamic men ever going to respect women when the KOran states that a woman's word is worth half that of a man, a man is allowed to lightly beat his wife and the prophet married and slept with a 9 year girl? Is it not time for an intelligent Muslim to stand up and say maybe the prophet and the Koran aren't so perfect?
When it comes to the testimony or witness of a man versus a women, it is conditional upon qualification and roles assigned by Islam. For example as some scholars have ruled, if a Muslim woman is an expert on Islamic Finance then she is qualified to act as a witness or give testimony within her filed of expertise.
With regard to the Prophet marrying a nine year old, he did not incur any sanction from the people of his time including his enemies since it was an accepted practice. The age of puberty differed esepcially in warmer climates. Standards have changed over time.]
alhamdulillah dilalah saya dapatkan jawabannya juga di weblog ini, makasih ya mas!
bondet
  •  
By: aminsubroto on Mei 4, 2007
at 6:35 pm
salaam,
diskusi/studi kritis seperti ini yg sangat bagus, seharusnya disajikan kepada kaum muslimin dan selalu diingatkan, jadi kalau ada perlecehan dari pihak lain yang jahil terhadap rasulullah SAW, kita sudah mengerti siasat mereka.
Ya Allah fansurna ala kaumil kafirin
  •  

No comments:

Post a Comment