oleh:
Candiki Repantu
INTERNALISASI
WILAYAH AL-FAQIH DALAM KONSTITUSI IRAN
Perjalanan
panjang dan perjuangan tak kenal henti yang dilakukan Imam Khumaini ternyata
membuahkan hasil. Tepat, pada 11 februari 1979, sepuluh hari setelah Syah
angkat kaki dari Iran dan Imam Khumaini menginjakkan kakinya kembali ke tanah
airnya, rakyat Iran bergolak menuntut perubahan radikal di Iran. Tuntutan itu
berubah menjadi gerakan massa yang menekan dan menumbangkan monarki absolutnya
Raja Pahlevi.
Satu-satunya
negara yang mengakui dan menerapkan sistem wilayah al-faqih dalam bentuk
praktisnya adalah Republik Islam Iran. Untuk itu, melihat secara dekat
pemikiran dan penerapan konsep wilayah al-faqih di Iran dengan dinamika
dan dialektikanya—yang tentu saja tidak selamanya mulus—menjadi salah satu
rujukan penting bagi agenda tata politik Islam kontemporer. Meskipun,
implementasi konsep tersebut dapat dikatakan baru, setidaknya banyak pelajaran
berharga yang dapat di petik sebagai iktibar bagi Negara-negara lain atau
pemikir-pemikir politik Islam untuk mengelaborasi lebih jauh perspektif politik
Islam baik dalam bentuk teoritis maupun praktis. Semoga!
Catatan paling
awal yang menceritakan penulisan rumusan UUD RII disebutkan oleh Sayyid Sadegh
Thabathabai. Ia termasuk keluarga dekat Imam Khomeini dan salah seorang
aktivis pergerakan mahasiswa di luar negeri. Ia menyebutkan:
”Pada akhir
musim gugur dan pada awal musim dingin tahun 1358 H.S, pada malam yang dingin,
Imam Khomeini memanggil saya, DR. Habibi dan Ayatullah Muhammad Baghir
Thabathabai. Selain menyampaikan masalah penting dan keharusan penulisan UUD,
Imam Khomeini juga memberikan perintah untuk menuliskan rumusannya. Untuk itu,
penulisan ini dilimpahkan kepada DR. Habibi (karena pengetahuannya tentang
hukum lebih dari yang lain) dan Ayatullah Muhammad Baghir Thabathabai dengan
alasan pikiran-pikiran fikihnya dekat dengan cara pandang Imam”.
“Beberapa minggu
setelah perintah tersebut, secara kontinyu siang dan malam, penulisan rumusan
UUD akhirnya selesai. Dan setelah melakukan diskusi dan negosiasi dengan Imam
dalam masalah rumusan UUD akhirnya pandangan umum Imam Khomeini termuat di
dalamnya. Rumusan UUD kemudian diperlihatkan kepada sejumlah marja’ (mujtahid)
di Iran. Naskah lainnya diberikan kepada para tokoh agama dan partai-partai
politik yang ada. Diharapkan dari naskah yang ada, dilakukan pengkajian lebih
lanjut.”
Sayyid Sadegh
Thabathabai, menceritakan peristiwa bersejarah di atas yang merupakan titik
awal perumusan konstitusi Iran menuju negara baru. Saat itu, pasca revolusi,
Imam Khomeini mengeluarkan perintah tentang perlu dan keharusan adanya
Undang-Undang Dasar. Akhirnya di godoklah pembuatan konstitusi oleh ulama ahli
hukum Islam dan intelektual yang ahli dalam hukum modern, sehingga selesailah
lima buah draft UUD.
Kelima buah
draft tersebut masing-masing ditulis oleh Dewan Garda, oleh pemerintahan
sementara Iran, oleh sekelompok ahli hukum yang dipimpin oleh DR. Naser
Katuziyan, oleh Dewan Revolusi, dan terakhir oleh Dewan Pakar.
Anehnya, kelima
draft UUD tersebut tidak satupun yang memuat kata wilayah al-faqih, yang
sejak awal merupakan cita-cita politik Imam Khumaini. Tetapi lebih anehnya
lagi, Imam Khumaini yang dinobatkan sebagai penguasa tertinggi tidak memberikan
komentar negatif atas fenomena tersebut, dan tidak menggunakan wewenangnya
untuk mengkebiri draft tersebut agar diarahkannya pada konsep wilayah
al-faqih, padahal beliau mengkritisi hampir tiap bait susunan UUD tersebut
yang menurut beliau tidak sesuai dengan cita-cita politik Islam. Bahkan, Dewan
Revolusi (shura enqelabi) yang beranggotakan ulama pendukung teras
Revolusi Islam, seperti Sayid Husaini Beheshti, Bahonar, Ali Akbar Rafsanjani,
Sayid Ali Khamanei, juga tidak memberikan catatan untuk memasukkan wilayah
al-faqih sebagai fondasi Negara Iran. Hal itu berlanjut sampai tahap final
perumusan draft untuk disahkan menjadi UUD.
Salah seorang
penulis draft UUD tersebut, Sahabi, menginformasikan bahwa sebelum pembukaan
sidang penetapan UUD RII pada Dewan Pakar penetapan UUD dan dalam pertemuan
anggota Dewan Pakar dengan Imam Khomeini di Qom tidak ada disinggung tentang
masalah wilayah al-faqih.
Tidak
dimasukkannya wilayat al-faqih pada kelima draft rancangan UUD RII
menimbulkan asumsi dimasyarakat luas bahwa wilayah al-faqih bukanlah
dasar dari Republik Islam Iran.
Fenomena itu
sedikit mengalami perubahan setelah salah satu draft tesebut diumumkan di media
cetak dan diedarkan untuk menampung berbagai komentar, kritikan, dan masukan
dari para ulama, pakar, ataupun masyarakat luas yang peduli pada Revolusi
Iran. Selama satu bulan pengumuman itu dimuat, ternyata menghasilkan tanggapan
yang serius dari berbagai kalangan, sebagai wujud partisipasi politik mereka.
Salah satu yang terpenting adalah komentar ulama besar Syiah, Ayatullah
Golpaygani, yang menyayangkan tidak adanya pembahasan wilayah al-faqih di
dalam draft UUD. Untuk itu, sembari mengingatkan perjuangan Islam, ia
menekankan pentingnya dimasukkan wilayah al-faqih sebagai salah satu
dasar Negara Iran yang dijamin dalam konstitusi (UUD).
Salah satu
alasan mengapa rumusan pertama UUD RII tidak dicantumkan kata wilayat al
faqih sebagai salah satu prinsip dalam UUD disebutkan oleh DR. Habibi
karena menurut para penulis draft UUD, pada hakikatnya Dewan Garda adalah
institusi yang mengamalkan pandangan-pandangan wilayat al-faqih, atau
setidak-tidaknya sebagai penggantinya dalam UUD.
Memang, secara
umum banyak ulama, terutama yang mendukung perjuangan Imam Khumaini, menganggap
wilayah al-faqih merupakan hal yang aksiomatik dan secara inheren
menyatu dalam Republik Islam. Akan tetapi, tanpa landasan UUD, hal itu akan
menjadi sia-sia dikarenakan tidak adanya pengakuan resmi yang memiliki kekuatan
hukum yang legal dalam sebuah Negara.
Kondisi ini sama
saja dengan masa-masa Syah, karena jika hanya mengharapkan pengakuan masyarakat
akan kedudukan ulama sebagai pemimpin umat terutama dalam bidang keagamaan,
sudah lazim dalam tradisi syiah meskipun mendapatkan tekanan dari setiap
pemerintahan yang tiranik. Konsep marja’iyyah telah membuktikan hal itu.
Namun hal itu tidaklah cukup, sebab marja’iyyah hanya berhubungan dengan
persoalan fikih dan ritual peribadatan dalam Islam. Sedangkan wilayah
al-faqih menyangkut keseluruhan dimensi ajaran Islam yang bersifat
individual maupun sosial-kemasyarakatan. Selain itu, marja’iyyah juga
hanya berkaitan dengan keputusan mujtahid yang disebut fatwa yang hanya
mengikat para muqallid-nya saja. Sedangkan wilayah al-faqih berhubungan
dengan persoalan hukum (hukm) yang mengikat seluruh kaum muslimin (yang
syiah). Untuk itu jaminan konstitusional mutlak diperlukan sebagai dasar hukum
fundamental bagi wilayah al-faqih yang mengikat semua elemen dalam
Negara yang berdaulat.
SISTEM
PEMERINTAHAN IRAN
“Sistem
pemerintahan Iran adalah Republik Islam yang telah disetujui oleh rakyat Iran,
berdasarkan keyakinan tradisional mereka dalam kaidah Tuhan dan keadilan Qur’an
dan mengikuti kemenangan revolusi mereka di bawah pimpinan marja’I taqlid
agung Ayatullah Imam Khomaini dengan mayoritas 98,2 % suara dari semua yang
berhak memilih dalam referendum yang diadakan pada tanggal 10 dan 11 Farvardin
1358 tahun Hijrah matahari (tanggal 1 dan 2 jumadilawal 1399 tahun Hijrah
bulan; 30 dan 31 Maret 1979”. (UUD Republik Islam Iran, Bab I pasal 1)
Secara
konstitusional Iran adalah Negara yang berbentuk Republik Islam. Republik
mengindikasikan sistem pemerintahan, sedangkan Islam menjelaskan isi sistem
tersebut. Artinya, sebagai republik, Iran berarti memakai sistem demokrasi yang
warga negara memiliki hak untuk memilih pemimpinnya sejalan dengan konstitusi
yang berlaku. Dan dengan Islam, pemerintah mesti ditegakkan atas dasar
ajaran-ajaran dan prinsip-prinsip islami dan digerakkan pada poros yang islami
pula. Berdasarkan hal itu, Republik Islam adalah sistem pemerintahan yang
seluruh warga negaranya mempunyai hak untuk memilih kepala Negara mereka untuk
masa jabatan tertentu, dan ajaran-ajaran serta prinsip-prinsip Islam menjadi
inti dan dasarnya. [1]
Republik Islam
adalah istilah yang mengandung arti nafi(penolakan) dan itsbat (penetapan)
sekaligus. Yang dimaksud nafi adalah meniadakan sistem penguasa yang
menetapkan masa jabatan untuk dirinya selama-lamanya, sedangkan itsbat
berarti menetapkan Islam dan tauhid sebagai isi republik tersebut.[2]
Murtadha
Muthahhari, salah satu pioner penting Revolusi Iran, dengan keras mengkritik
demokrasi ala Barat sehingga baginya demokrasi atau sebuah Negara
republik perlu ditegakkan dengan panji dan nilai-nilai islami. Baginya,
Republik Islam adalah khas dan berbeda dengan demokrasi Barat, sebab demokrasi
Barat abad ke-18 hanya berisi hak-hak umat manusia untuk memperoleh
penghasilan, makanan, dan pakaian, tetapi melupakan hak-hak manusia yang
berkaitan dengan akidah dan keimanan, serta mengabaikan pula adanya inti
kemanusiaan yang terdapat dalam keterbebasan manusia dari belenggu naluri,
lingkungan sosial dan alam sekitarnya, serta berpegang pada prinsip, keimanan,
dan tujuan hidup.[3]
Dengan demikian
Republik Islam Iran (RII) merupakan Negara yang mengadaptasi sistem politik
modern dan sistem politik Islam sekaligus. Ini membuktikan bahwa Islam yang
sempurna dan baku bukanlah agama yang bisa usang hanya dimakan usia dan
ketinggalan zaman dikarenakan ide-ide yang senantiasa berubah dan berkembang.
Hanya saja, yang membuat unik dan khas bahkan asing, baik bagi sistem politik
modern maupun politik Islam, adalah konsep kepemimpinan ahli agama (ulama)
dalam tata politik Republik Islam Iran, yang disbut dengan konsep wilayah
al-faqih.
Jadi, meskipun
setelah revolusi pada 1979, para pengusung revolusi Islam di Iran dengan penuh
kesadaran memilih Negara Islam, akan tetapi tetap dengan mengadaptasi politik
modern. Di satu segi, hal ini jelas merupakan kenyataan bahwa para mullah
di Iran, tidak tertutup dari gagasan politik baru, dan sekaligus membantah
tuduhan bahwa para tokoh revolusi Iran bermaksud menarik Iran mundur kembali ke
abad pertengahan. Republik dipilih tentu karena bentuk pemerintahan ini
dianggap bisa menjadi wadah bagi pemahaman mereka tentang tata cara pengaturan
negara modern yang sejalan dengan konsep Islam mengenai masalah ini.[4] Dengan demikian, konstitusi Iran telah
menciptakan negara dengan model Islam raja filosof Plato, tetapi ia menempatkan
pemimpinnya dalam sistem parlementer modern.[5]
Memang, pada
awal revolusi, para mullah lamban berpartisipasi dalam politik, dan
sejumlah sarjana Amerika menyimpulkan bahwa ulama “tidak pernah berpartisipasi
secara langsung dalam struktur pemerintahan “formal” karena mereka, dalam
bahasa Mark Juergens Meyer, tidak begitu cerdas untuk melakukannya atau
memperjuangkan kepentingan itu. Kebanyakan mullah puas dengan kembali
kepada konstitusi demokratis tahun 1906 yang membolehkan peninjauan kembali
untuk menjamin bahwa undang-undang dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip
Islam. Tetapi Khomeini menghendaki keterlibatan yang lebih aktif dari para
ulama dan perubahan yang lebih menyeluruh dari sistem politik lama. Beberapa
politisi berpendidikan Barat yang memimpin pemerintahan segera setelah
revolusi, di antaranya Bani-Sadr, Mehdi Bazargan, dan Sadeq Qotbzadeh,
digantikan oleh ulama yang tidak terlalu mengenal Barat. Tetapi sekalipun
dengan keterlibatan mereka, menurut Meyer, Iran bukanlah sebuah teokrasi.[6]
Konsep republik,
yang diterapkan dalam Republik Islam Iran, telah dimodifikasi dengan konsep Wilayah
al-Faqih, atau pemerintahan para ulama. Modifikasi ini menyentuh tiga sendi
sistem republik, meliputi institusi-institusi yang biasa disebut sebagai Trias
Politika. Hal ini dirasa perlu, mengingat pada sistem ini konsep kepemimpinan
Islam – apakah itu namanya wilayah atau Imamah – tidak cukup
terwakili di dalamnya. Ada batas-batas, sebagaimana diatur menurut konsep Trias
Politika, yang di dalamnya kekuasaan eksekutif sepenuhnya ditundukkan terhadap
kekuasaan legislatif. Demikian pula, kekuasaan yudikatif mempunyai
batas-batasnya sendiri yang membuat mereka tidak leluasa menerapkan hukum
Islam.[7]
Mengenai
dasar-dasar dan landasan pemerintahan Iran dijelaskan secara detail dalam
Undang-Undang dasar Iran, terutama pasal 2 Konstitusi 1979 menyatakan :
“Republik Islan
Iran sebagai suatu sistem pemerintahan berdasarkan atas keyakinan pada:[1]
Tauhid, La ilaha illa Allah (tiada tuhan selain Allah). Kemahakuasaan-Nya
dan Syari’at-Nya hanyalah milik-Nya semata-mata serta kewajiban menaati
perintahnya; [2] Wahyu ilahi dan peranan fundamentalnya dalam interpretasi
hukum; [3] Hari kebangkitan kembali dan peranan konstruktifnya dalam
penyempurnaan manusia terhadap Tuhan; [4] Keadilan Tuhan dalam menciptakan dan
menegakkan hokum agama; [5] Imamah dan kelanjutan kepemimpinan, serta
peranan fundamentalnya demi kelanggengan revolusi Islam; [6] Kemuliaan dan
nilai agung manusia serta pertanggungjawabanya dihadapan Tuhan yang menjamin
persamaan, keadilan dan kemerdekaan politik, ekonomi, dan kebudayaan maupun
persatuan dan solidaritas nasional melalui: a). Pelaksanaan lannggeng hukum
agama oleh ahli-ahli hukum agama yang memenuhi persyaratan atas dasar kitab
suci al-Quran dan hadits-hadits dari empat belas manusia suci, semoga Tuhan
memberkati mereka; b). Mengambil manfaat dari pengetahuan dan pengalaman
manusia yang sudah maju dan mengusahakan untuk lebih memajukannya lagi; c).
Menolak untuk menindas atau ditindas; mendominasi atau didominasi.” (UUD RII,
Bab I Pasal 2)
Dari isi pasal
di atas telihat pengaruh doktrin syiah dalam landasan konstitusional Negara
Iran. Jika dicermati dasar pertama sampai kelima yang disebutkan di atas adalah
merupakan lima dasar agama (ushuluddin) dari mazhab syiah yaitu,
ketuhanan (tauhid), kenabian sebagai penerima wahyu (an-Nubuwah),
Kepemimpinan (Imamah), keadilan (al-Adl), dan Hari Akhir (al-maad).
Pasal tersebut di atas juga memberikan indikasi pada kepemimpinan ulama yang
memenuhi syarat yang dalam tradisi fiqih syiah disebut marja’I taqlid,
seorang mujtahid yang telah mencapai gelar ayatullah, sedangkan dalam
terminologi politik disebut wali faqih atau wali al-amr muslimin.
Sebetulnya Wilayah
al-Faqih yang dijadikan sebagai konstitusi Iran dalam banyak segi mirip
dengan konstitusi negara-negara Barat yang termodern. Ia memuat jaminan
terhadap hak-hak sipil dan hak-hak minoritas, serta membagi tiga kekuasaan
pemerintahan; eksekutif, yudikatif dan legislatif, dan menentukan keseimbangan
kekuasaan di antara ketiga-tiganya. Presiden dan anggota-anggota dewan
legislatif dipilih oleh rakyat selama periode waktu terbatas.
Satu-satunya
ciri khas dari konstitusi ini, menurut sudut pandang Barat sekuler, adalah
desakan untuk menjadikan hukum Islam sebagai landasan yang menjadi sumber bagi
seluruh prinsip hukum dan peran ulama dalam membimbing para pembuat hukum agar
hukum yang dibuat mereka tidak melenceng. Konstiusi ini juga menentukan peran
yang luar biasa dari “pemimpin”. Pada awalnya, pasca Revolusi Iran, posisi ini
diamanahkan kepada Ayatullah Khomeini.
LEMBAGA-LEMBAGA
TINGGI NEGARA IRAN
Dalam sistem
pemerintahan Iran, kepemimpinan politik seperti juga pada Negara-negara lainnya
berdasarkan pada sistem trias politika, yaitu kepemimpinan eksekutif,
legislative, dan yudikatif. Hanya saja mendapat kodifikasi dan pengadaptasian
melalui konsep wilayah al-faqih yang menjadi dasar pemerintahan Iran.
Dalam kesempatan ini akan di bahas beberapa lembaga Negara yang menempati
posisi-posisi penting dan strategis di Iran.
Wali
Faqih/Rahbar
Unik sekaligus
khas, sesuai dengan prinsip wilayah al-faqih, kepemimpinan tertinggi di
Republik Islam Iran berada di tangan seorang ulama yang disebut rahbar
dan juga wali fakih.[8] Akan tetapi, dalam Wilayah al-faqih
bukanlah berarti bahwa yang berada di puncak pimpinan adalah seorang faqih
dan secara langsung menjalankan pemerintahan. Peran seorang faqih dalam
Negara Islam yang rakyatnya mengakui Islam sebagai prinsip dan ideologinya
adalah peran seorang ideolog dan bukan penguasa. Kewajiban seorang ideolog
adalah melakukan pengawasan terhadap sejauh mana ideologi itu telah
dilaksanakan secara benar.[9]
Sepanjang
revolusi konstitusi, rakyat Iran tidak pernah memahami wilayat al-faqih sebagai
penyerahan kekuasaan dan pengaturan Negara nagara kepada para faqih.
Sebab, selama ini mereka memahami bahwa seorang faqih harus (bertugas)
menentukan tepat atau tidaknya seorang penguasa untuk dipilih, dan sejauh mana
pula kapasitasnya dalam melaksanakan undang-undang kenegaraan yang islami,
karena masyarakatnya adalah masyarakat Islam dan warga negaranya melaksanakan
ajaran Islam.[10]
Sebagai pemegang
mandat tertinggi sebagai pemimpin religius dan politis, wali faqih memiliki
peranan dan wewenang besar dalam menjaga stabilitas politik dalam dan luar
negeri Republik Islam Iran. Besarnya wewenang faqih inilah, yang sering
dijadikan sasaran oleh para politikus Barat yang anti Islam (Iran) dan tidak
memahami dengan cermat sistem politik wilayat al-faqih untuk mengklaim
Iran sebagai Negara yang tidak demokratis, kasar, fundamentalis, tidak toleran,
bahkan sarangnya teroris.
Mengenai
kepemimpinan wilayat al-faqih, secara jelas disebutkan dalam Pasal 5
Konstitusi Iran yang menyatakan :
“selama gaibnya
Hazrat Wali al-Asr (Shahib al-Zaman – yaitu Imam
Mahdi)– semoga Allah memeprcepat kedatangannya, wilayah dan kepemimpinan
umat berada di tangan faqih yang adil dan saleh, berakhlak mulia,
memahami benar keadan zamannya, berani, bijaksana, dan mampu memerintah; serta
diakui dan diterima sebagai pemimpin oleh mayoritas rakyat. Jika tidak terdapat
ahli-ahli agama atau ahli-ahli hokum agama yang memenangkan mayoritas suara
rakyat tersebut, pemimpin atau Dewan Pimpinan yang terdiri dari ahli-ahli agama
Islam dan ahli-ahli hokum agama Islam yang memenuhi persyaratan sebagaimana tersebut
di atas, akan diserahi tugas untuk memerintah atau memimpin sebagaimana
tercantum dalam pasal 107 Undang-Undang ini”. (UUD RII Bab I Pasal 5)
Wali faqih diberi kekuasaan sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 110, sebagai komando kekuatan angkatan bersenjata tertinggi, yang
dilaksanakan dengan tindakan berikut ini: menunjuk dan memecat Kepala dari
seluruh staf, menunjuk dan memecat Komandan Staf Korps Pengawal Revolusi Islam,
membentuk sebuah Dewan Pertahanan Nasional Tertinggi, menunjuk Komandan
Tertinggi dari cabang-cabang Angkatan bersenjata dan mengumumkan perang dan
damai.[11]
Supremasi faqih
muncul pula dalam kekuasaannya menyangkut pengangkatan dan pemecatan
presiden. Ia memberhentikan Presiden Republik demi kepentingan negara, setelah
pengumuman suatu penilaian/evaluasi oleh Mahkamah Agung yang membuktikan bahwa
sang presiden gagal memenuhi tugas-tugas legalnya, atau sebuah pemungutan suara
dalam Majelis Pertimbangan Nasional mengakui ketidakcakapan politis sang
presiden.[12]
Demikian juga,
pemimpin mempunyai kekuasaan untuk menunjuk dewan ulama yang mensahkan
keputusan-keputusan dasar hukum Islam, menujuk Mahkamah Agung, memberi
pengampunan, menghukum atau mengurangi hukuman, tetapi hanya setelah menerima
rekomendasi dari Mahkamah Agung.
Lebih detil,
dalam suatu referendum yang disetujui pada 1980 ada 10 tugas penting Wali Faqih
yakni :
- Mengangkat para fuqaha Dewan Perwalian, yang tugasnya adalah untuk mengawasi peraturan yang telah disepakati oleh majelis syura
- Mengangkat anggota Pengadilan Tinggi, yang merupakan otoritas pengadilan Negara yang paling tinggi
- Mengangkat dan memberhentikan komandan staf gabungan
- Mengangkat dan memberhentikan komandan Pengawal Revolusi
- Membentuk Dewan Pertahanan Tertinggi
- Mengangkat para komandan darat, laut, dan udara
- Mengumumkan perang dan damai serta memobilisasi kekuatan
- Menandatangani dekrit secara resmi pengangkatan mandataris setelah ia dipilih oleh rakyat
- Memberhentikan mandataris setelah pernyataan atas ketidaksanggupannya baik oleh pengadilan tinggi atau majelis syura
- Memaafkan para pelaku kejahatan atau mengurangi hukuman mereka atas rekomendasi pengadilan tinggi.[13]
Tugas-tugas
diatas hanyalah sebagian, ada tugas-tugas yang tidak disebutkan dalam
konstitusi yang merupakan tugas wali faqih,diantaranya :
- Mengangkat para Imam Jumat
- Melaksanakan hudud dan takzirat
- Melakukan pengawasan atas orang-orang cacat, harta anak-anak yatim yang masih kecil, orang-orang gila dan orang-orang yang meninggal dunia tanpa ahli waris.
- Melaksanakan amr makruf dan nahi munkar
- Melakukan pengawasan terhadap harta rampasan
- Mengawasi khumus (Zakat 20%)
- Mengawasi tanah-tanah hasil rampasan perang
- Mengumpulkan pajak-pajak disamping pajak-pajak yang telah ditetapkan agama
- Mengumpulkan jizyah (pajak non muslim) dari orang-orang yang diwajibkan atasnya.
- Mengangkat bendahara untuk harta-harta yang dihibahkan untuk umum
- Mengumpulkan zakat dan membentuk panitia untuk mengurusnya
- Membuat persiapan untuk upacara pemakaman orang-orang meninggal tanpa ahli waris
- Mencegah penimbunan harta dan menetapkan harga-harga perdagangan
- Memanfaatkan barang-barang temuan (luqatahah)
- Mengeluarkan putusan-putusan kebangkrutan atas-atas orang-orang yang bangkrut (mencabut otoritas atas harta miliknya)
- Menceraikan istri yang suaminya menghilang atau gila
- Mendengar kata-kata l’ian dalam hal mula’anah
- Mengeluarkan putusan tentang rukyat hilal dan permulaan bulan yang dalam keraguan.[14]
Meskipun hal-hal
di atas merupakan wewenang wali faqih (wali al-amr), namun tetap
dapat diwakilkan kepada yang lainnya untuk mengawasi agar tugas-tugas tersebut
dilaksanakan dengan tepat. Ia juga mendirikan kementrian secara terpisah untuk
memenuhi tugas-tugas tersebut, seperti membentuk biro wakaf, biro pengawasan
salat jumat, pengawasan anfal, dan sebagainya.
Jadi, Wali
Faqih atau Rahbar merupakan jabatan pemimpin tertinggi revolusi
Islam Iran (Rahbar-e Enqelab-e Jumhuri-e Islami-e Iran) yang membawahi
semua institusi pemerintahan Islam Iran termasuk presiden (eksekutif), parlemen
(legislatif), pengadilan (yudikatif), pasukan elit pengawal revolusi (IRGC),
angkatan bersenjata, dan pasukan relawan (basiij). Sejak meninggalnya
Imam Khumaini pada tahun 1989 hingga saat ini, jabatan ini diduduki oleh
Ayatullah al-Uzhma Sayid Ali Khamenei, setelah dipilih oleh Dewan Ahli Rahbari
(Majlise Khubregane Rahbari) yang terdiri atas sejumlah ulama senior
yang memahami masalah kepemimpinan dalam Islam.
Wali faqih atau rahbar ini diangkat oleh
sebuah majelis ulama yang disebut Dewan Ahli (Majlis Khubregan; The Assembly
of Experts). Dewan ahli itu sendiri di angkat oleh rakyat melalui pemilihan
umum. Hal ini ditunjukkan oleh konstitusi Iran, di mana Pasal 107 menyebutkan,
bahwa ahli-ahli yang dipilih rakyat akan menunjuk salah seorang faqih yang
memenuhi syarat untuk menjadi pemimpin guna mengemban jabatan. Jika tidak ada
seseorang yang memenuhi persyaratan, Dewan Ahli yang sama akan menunjuk tiga
atau lima marja’’ yang memiliki persyaratan yang diperlukan untuk
membentuk Dewan Faqih. Dewan Ahli (Majlis-i Khubregan) yang
disebut-sebut dalam pasal ini beranggotakan 72 ahli hukum Islam yang dipilih
oleh rakyat melalui pemilihan umum yang khusus dipersiapkan untuk tujuan ini. [15]
“After the
demise of the eminent marji‘ of taqlīd, great Leader of the universal Islamic
revolution, and the founder of the Islamic Republic of Iran, Ayatollah
al-’Uẓmā Imam Khomeini (quddisa sirruh al-sharif) who was recognized and
accepted as marji‘ and Leader by a decisive majority of the people, the task of
appointing the Leader shall be vested with the experts elected by the people.
The experts will review and consult among themselves concerning all the faqīhs
possessing the qualifications specified in Articles 5 and 109. In the event
they find one of them better versed in Islamic regulations and the subjects of
the fiqh, or political and social issues, or possessing general popularity, or
special prominence for any of the qualifications mentioned in Article 109, they
shall elect him as the Leader. Otherwise, in the absence of such superiority,
they shall elect and declare one of them as the Leader. The Leader thus elected
by the Assembly of Experts shall assume the wilāyat-e-’amr and all the
responsibilities arising therefrom. The Leader is equal to the rest of the
people of the country before the law.” (UUD RII Pasal 107)
Kekuasaan
Eksekutif : Presiden
The functions of
the executive, except in the matters that are directly placed under the
jurisdiction of the Leader by the Constitution, are to be exercised by the
president and the ministers (UUD RII Pasal 60).
Pemimpin yang
menempati psosisi tertinggi selanjutnya di Iran adalah presiden. Presiden
memegang otoritas tertinggi Negara yang bertanggungjawab untuk
mengimplementasikan konstitusi dan sebagai kepala pemerintahan untuk
menjalankan kekuasaan eksekutif.[16] Ia dipilih setiap empat tahun sekali.[17] Tugas-tugas pokoknya adalah menjadi kepala
pemerintahan, menjalankan konstitusi Negara, dan mengkoordinir lembaga tinggi
negara yakni eksekutif, legislative, dan yudikatif. Presiden merupakan pejabat
tertinggi Pemerintah Iran dalam hubungan dengan dunia internesional. Ia
menandatangani seluruh perjanjian. Dan ia juga berhak mengangkat Perdana
Menteri setelah Parlemen memberikan persetujuannya. Kapan saja ia meminta
kabinet untuk bersidang, langsung di bawah pimpinannya.
Secara teoritis,
kandidat-kandidat presiden yang
dicalonkan di Iran haruslah terlebih dahulu
disaring oleh rahbar dan majelis mudarrisin sebelum nama mereka
disiarkan oleh Dewan Pelindung Konstitusi. Seorang kandidat presiden
harus memenuhi beberapa persyaratan yang ditetapkan oleh konstitusi Iran
seperti asli Iran, warga Negara Iran, memiliki kemampuan administrasi dan
kepemimpinan, memiliki masa lalu yang baik, beriman, dan teguh pada landasan
Republik Islam Iran dan mazhab reami Negara. Setelah lulus seleksi, maka
diumumkanlah kandidat dan ditetapkan sebagai calon presiden. Kemudian
diadakanlah pemilihan umum yang diikuti oleh seluruh rakyat Iran untuk memilih
presiden dari calon-calon tersebut. Calon yang mendapatkan suara mayoritas
rakyat, maka ditetapkan sebagai presiden untuk masa jabatan empat tahun. Dan
jika masa jabatannya telah habis, ia diperbolehkan mengikuti pemilihan presiden
sekali lagi. Hal-hal tersebut di atas disebutkan secara eksplisit di dalam UUD
Iran :
“Presiden
dipilih secara langsung oleh rakyat untuk masa jabatan empat tahun. Dia
secara berturut-turut diperbolehkan mengikuti mengikuti pemilihan kembali
sekali lagi.” (UUD RII Pasal 114)
“Presiden harus
dipilih di antara tokoh agama dan politisi yang memiliki kualifikasi sebagai
berikut: asli Iran, warga negara Iran, memiliki kapasitas administrasi dan
kepemimpinan, memiliki masa lalu yang baik, jujur, bertakwa, beriman, dan
berpegang teguh pada landasan Republik Islam Iran dan mazhab resmi Negara.”
(UUD RII Pasal 115)
“Kandidat
presiden akan secara resmi mengumumkan pencalonan mereka sebelum pergelaran
pemilihan. Perlengkapan yang berhubungan dengan kebutuhan pemilihan presiden
ditetapkan sesuai peraturan yang berlaku. (pasal 116)
Proses pemilihan
umum yang dilangsungkan untuk menetapkan presiden melalui suara terbanyak
merupakan elemen penting demokrasi. Jika dalam putaran pertama tidak ada
kandidat yang mendapatkan suara mayoritas, maka diadakan pemilihan putaran
kedua. Hanya dua kandidat yang memiliki suara terbanyak pada putaran pertama
yang berhak mengikuti pemilihan pada putaran kedua. Dan siapa yang memperoleh
suara mayoritas maka ialah yang terpilih dan ditetapkan sebagai presiden.[18]
Dalam lembaga
eksekutif, Presiden di bantu oleh para menteri yang di seleksi dan diangkat
oleh parlemen. Saat ini ada sekitar 32 pembantu presiden dengan susunan
sebagai berikut :
- Wakil Presiden (First Vice President)
- Wakil presiden dan Kepala Organisasi Pendidikan Fisika (Vice President & Head of the Physical Education Organization)
- Wakil Presiden dan Kepala Organisasi Energi Atom (Vice President & Head of Atomic Energy Organization)
- Wakil Presiden dan Kepala Organisasi Manajemen dan Perencanaan (Vice President & Head of Management and planning Organization)
- Wakil Presiden Bidang Pengesahan dan Urusan Perlementer (Vice President for Legal & Parliamentary Affairs)
- Wakil Presiden dan Kepala Organisasi Perlindungan Lingkungan (Vice President & Head of Environmental Protection Organization)
- Wakil Presiden dan Kepala Organisasi Kepemudaan (Vice President & Head of National Youth Organization)
- Wakil Presiden dan Kepala Warisan Budaya dan wisata (Vice President & Head of Cultural Heritage & Tourism Organization)
- Wakil Presiden dan Kepala Urusan Jihad dan Pengorbanan (Vice President & Head of Martyrs and self sacrifice’s Affairs Foundation)
- Wakil Presiden Bidang Urusan Eksekutif (Vice President for Executive Affairs)
- Kepala Kantor Kepresidenan
- Menteri Perdagangan (Minister of Commerce)
- Menteri Kehakiman (Minister of Justice)
- Menteri Dalam Negeri (Interior Minister)
- Menteri Perumahan dan Pengembangan Perkotaan (Minister of Housing & Urban Development)
- Menteri Komunikasi dan Informasi Teknologi (Minister of Communication & Information Technology)
- Menteri Energi (Minister of Energy)
- Menteri Kesehatan dan Pendidikan Medis (Minister of Health Medicine & Medical Education)
- Menteri Pertahanan dan Keamanan (Minister of Welfare and Social Security)
- Menteri Perhubungan dan Transportasi (Minister of Roads and Transportation)
- Menteri Industri dan Pertambangan (Minister of Industries & Mines)
- Menteri Agrikultural (Minister of Agricultural Jihad)
- Menteri Sosial (Minister of Labor and Social Affairs)
- Menteri Luar Negeri (Minister of Foreign Affairs)
- Menteri Kebudayaan dan Keagamaan (Minister of Culture & Islamic Guidance)
- Menteri Sains, Riset, dan Teknologi (Minister Of Science, Research & Technology)
- Menteri Pendidikan (Minister of Education)
- Menteri Ekonomi dan Keuangan (Minister of Economy and Finance)
- Menteri Intelegen (Minister of Intelligence)
- Menteri Perminyakan (Petroleum Minister)
- Menteri Pertahanan dan Logistik (Minister of Defense & Logistics)
- Menteri Koperasi (Minister of Cooperatives)
Kekuasaan
Legislatif : Parlemen
Parlemen
merupakan pemegang kekuasaan legislatif dalam sistem politik modern, dan
menjadi syarat negara demokratis. Kekuasaan ini terpisah dari eksekutif untuk
menjaga keseimbangan kekuasaan (balances of power), dan diberi tuga
umumnya sebagai pembuat undang-undang.
Begitu pula
dalam pemerintahan RII. Parlemen menjadi salah satu bagian integral dari Negara
yang memiliki kedudukan setingkat lembaga eksekutif dan bertanggung jawab atas
ketetapan dan pembuatan undang-undang di Iran. Hanya saja setiap produk
undang-undang yang mereka rumuskan haruslah diuji oleh Dewan Pelindung
Konstitusi untuk mendapatkan legalitas tentang kesesuaiannya dengan syariat
Islam. Jadi, selain parlemen yang memang memiliki tugas berkenaan dengan
undang-undang Negara, maka ada beberapa lembaga penting yang terkait dengan
pembuatan dan pengujian undang-undang, diantaranya :
1. Dewan
Pelindung Konstitusi (Guardian Council)
“With a view to safeguard the Islamic
ordinances and the Constitution concerning the compatibility of the legislation
passed by the Islamic Consultative Assembly with Islam, a council to be known
as the Guardian Council is to be constituted with the following composition:
1). six just faqīhs aware of the present needs and the issues of the day to be
selected by the Leader, and 2). six jurists, specializing in different areas of
law, to be elected by the Islamic Consultative Assembly from among the Muslim
jurists nominated by the Head of the Judiciary.” (UUD RII Pasal 91)
Menurut buku
panduan yang dikeluarkan Kementerian Kebudayaan dan Panduan Islam Iran (2005),
Dewan Pelindung merupakan salah satu lembaga negara yang paling penting dan
berada di bawah pengawasan langsung dari pemimpin tertinggi. Lembaga Dewan
Pelindung dibentuk dengan tujuan untuk melindungi aturan-aturan Islam dan
konstitusi. Dewan terdiri dari 12 anggota; enam di antaranya adalah para ahli
hukum (Islam) yang telah mencapai gelar ayatullah dan enam lainnya
adalah ahli hukum biasa yang diusulkan oleh Dewan Pengadilan Tinggi dan
disetujui parlemen. Otoritas tertinggi dalam lembaga ini berada di tangan para ayatullah,
yang ditunjuk oleh Pemimpin Tertinggi, kini adalah Ayatullah Khamenei, untuk
masa bakti selama enam tahun.[19]
Dewan Pelindung
konstitusi ini memiliki posisi penting dan menentukan dalam pembuatan
undang-undang Negara. Tanpa persetujuan Dewan ini, seluruh kegiatan parlemen
tidaklah sah. Saran-saran dari Dewan ini harus dituruti dan bila tidak
dilaksanakan, maka seluruh keputusan parlemen akan batal. Selain itu, tugas
utama Dewan Pelindung Konstitusi adalah melindungi Islam, melaksanakan
referendum-referendum, pemilihan presiden dan pemilihan anggota parlemen.[20]
Sebagai lembaga
yang bertugas mengawasi konstitusi, pembuatan dan pelaksanaan undang-undang,
maka interpretasi Dewan Pelindung Konstitusi terhadap undang-undang menjadi
acuan penting, sebab, dalam kondisi apapun, kehormatan konstitusi dan
undang-undang mesti dijaga. Jika terjadi masalah dalam interpretasi
undang-undang sehingga menimbulkan perselisihan yang akan terkait dengan
kemaslahatan publik, maka hal itu akan diselesaikan dengan intervensi pemimpin
revolusi (wali faqih).
2. Dewan
Permusyawaratan Islam (Syura-ye Negahban; Islamic Consultative
Assembly)
Untuk mengawasi
perundang-undangan Negara agar tidak menyimpang dari ajaran Islam, maka di Iran
di bentuk sebuah Dewan Wali yang terdiri dari ulama yang beranggotakan 270
orang. Lembaganya disebut Syura-ye Negahban yang
anggotanya para faqih, dan dipilih oleh rakyat secara pemilihan umum.
Tugas Dewan ini
adalah menguji undang-undang yang dibuat oleh parlemen; apakah undang-undang
itu bertentangan dengan kehendak Tuhan atau tidak? Kadang-kadang, mereka juga
membuat rancangan undang-undang, yang sumbernya adalah syariat Islam, lalu
disodorkan kepada parlemen untuk dirumuskan ke dalam peraturan yang lebih spesifik
dan praktis. Dengan demikian, untuk menjadi sebuah hukum positif diperlukan
pengesahan dari Dewan ini. Meskipun demikian, lembaga ini bukanlah legislatif.[21]
Kekuasaan
Yudikatif : Kehakiman
Ciri demokrasi
berikutnya adalah sistem peradilan yang independen. Perlunya pengadilan
dilandaskan pada tiga hal, yaitu:
- Manusia merupakan makhluk sosial
- Banyaknya terjadi konflik dan perbedaan
- Perlunya menetapkan aturan umum untuk mengurai perbedaan.[22]
Agar dapat
mempertahankan tatanan sosial dan menjaga kesatuan sosial, perbedaan harus
dihilangkan dengan merujuk pada keputusan Allah dan Rasul-Nya sebagai penengah
dalam sengketa. Pengadilan merupakan jaminan bagi penerapan suatu sistem
peraturan yang adil dan untuk mencegah penyimpangan dalam urusan-urusan social.
Ia membutuhkan penempatan segala sesuatu secara tepat, kembalinya semua hak
kepada pemiliknya, dan setiap orang memperoleh haknya.[23]
Dalam negara
demokratis, lembaga peradilan harus idependen sehingga dapat melindungi rakyat
dari kesewenang-wenangan antar sesamanya atau antar rakyat dengan pemerintah.
Untuk menjamin independensi pengadilan, lembaga peradilan (yudikatif)
dipisahkan dengan lembaga eksekutif dan legislatif sehingga eksekutif tidak
dapat mengintervensi pengadilan. Selain itu jaminan konstitusi atas hal
tersebut merupakan sesuatu yang niscaya. Undang-undang harus dengan tegas
memberi jaminan terhadap rasa adil masyarakat.[24]
Konsep Wilayah
al-Faqih dalam Republik Islam Iran telah memberikan sistem peradilan yang
independen. Lembaga peradilan dalam menjalankan tugasnya mengacu pada
konstitusi yang bertugas mengusahakan terciptanya keadilan untuk setiap orang.
Bab III Pasal 34 Konstitusi Iran Menyebutkan:
“Mengusahakan
terlaksananya keadilan adalah hak setiap orang yang tidak dapat diperdebatkan
lagi, dan untuk tujuan ini, semua orang berhak untuk mengajukan perkaranya
kepada pengadilan yang berwenang. Pengadilan tersebut harus terbuka bagi semua
orang dan tak seorang pun akan dilarang untuk menempuh jalan lain untuk
mengambil tindakan yang sah sesuai dengan haknya menurut undang-undang. (UUD
RII Bab III Pasal 34)
Dalam menjalani
proses peradilan, di mana pihak yang berperkara tidak sanggup menyewa
pengacara, konstitusi menjamin haknya dengan menyediakan biaya yang dibutuhkan.
Pasal 35 menyebutkan :
“Di dalam semua
pengadilan, kedua belah pihak yang bersengketa berhak untuk mengangkat seorang
pengacara dan jika mereka tidak mampu membiayai, mereka akan diberi sarana
untuk mengangkat dan membayar seorang pengacara.” (UUD RII Pasal 35)
Konstitusi juga
menjamin keselamatan seseorang dalam menjalani proses peradilan. Penyiksaan dan
pemaksaan merupakan sesuatu yang terlarang :
“Setiap
penyiksaan untuk membuat orang mengaku atau untuk memperoleh keterangan
adalah dilarang. Memaksa seseorang untuk menjadi saksi, mengakui atau bersumpah
tidak akan diizinkan dan kesaksian pengakuan serta sumpah semacam itu adalah
tidak sah. Pihak yang melanggar pasal ini akan dihukum menurut undang-undang.”
(UUD RII Pasal 38)
Azas praduga tak
bersalah pun menjadi salah satu sifat peradilan di Iran. Hal ini ditunjukkan
oleh undang-undang dengan menyatakan bahwa semua orang dianggap tidak bersalah
di mata hukum sampai kesalahannya dibuktikan oleh pengadilan yang berwenang.[25] Bahkan, seseorang yang ditahan sekalipun
mesti tetap dihormati dengan sepantasnya dan dilarang dihina atau dikucilkan
dari pergaulan, karenanya tindakan tersebut tidak dibenarkan dan yang
melakukannya akan dapat ditindak secara hukum, Bab III Pasal 39 menyatakan:
“Menjelek-jelekkan
kehormatan dan nama baik seseorang yang ditahan, dipenjara atau diasingkan
menurut hukum tidak diperkenankan sama sekali dan dapat dikenakan hukuman.”
(UUD RII, Bab III, Pasal 39)
Kemudian untuk
pelaksanaan hukum tersebut, dibentuklah sebuah dewan yang disebut Dewan
Kehakiman Agung, yang terdiri dari tiga unsur yaitu : Ketua Mahkamah Agung
Kasasi, Penuntut Umum Negara, dan Tiga Hakim adil yang berpengalaman dalam ilmu
agama dan hukum agama yang diangkat oleh pengadilan Negara. Anggota-anggota dewan
dipilih untuk masa jabatan lima tahun dan boleh dipilih kembali jika memenuhi
syarat yang ditentukan undang-undang.[26] Selain ketiganya, ada pula Kementrian
Kehakiman yang menjadi penguasa resmi Negara untuk mengusut pengadilan dan
pengaduan-pengaduan. Menteri Kehakiman diangkat dari calon-calon yang diusulkan
oleh Dewan Kehakiman Agung kepada Perdana Menteri, yang mana ia bertanggung
jawab atas semua persoalan mengenai hubungan kekuasaan kehakiman dengan
kekuasaan eksekutif dan legislatif.
Dewan Kehakiman
Agung yang merupakan kekuasaan kehakiman tertinggi, bertanggung jawab untuk
menjaga terimplementasinya keadilan dan jaminan penerapan hukum di masyarakat.
Dewan Kehakiman Agung ini, mendapat amanah konstitusi dengan tiga tugas penting
:
- Membentuk organisasi-organisasi kehakiman
- Menyiapkan rancangan undang-undang kehakiman sesuai dengan asas-asas Republik Islam
- Merekrut hakim-hakim yang cakap dan adil, mengatur pengangkatan dan pemberhentiannya, pennjukkannya dalam jabatan-jabatan kehakiman dan kenaikan pangkat serta urusan administrasi dengan cara yang sah menurut hukum. [27]
Adapun secara
lebih detail, Undang-undang Republik Islam Iran, memberikan kekuasaan hukum
yang akan melakukan kegiatan berikut :
- Pengusut acara pengadilan, ketidakadilan dan pengaduan serta dikeluarkannya keputusan hakim; penyelesaian sengketa dan pembuatan keputusan terhadap persoalan yang tidak dapat dipertengkarkan untuk ditentukan oleh hukum.
- Pemulihan hak-hak publik dan peningkatan keadilan dan kebebasan-kebebasan yang legal.
- Melakukan pengawasan atas pelaksanaan hukum.
- Pengusutan pelanggaran, penuntutan hukuman kepada penjahat dan pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh hukum pidana Islam.
- Mengambil tindakan-tindakan secukupnya untuk mencegah kejahatan dan memperbaiki pelaku kejahatan.[28]
Seperti di
Negara-negara lainnya juga, di Republik Islam Iran, juga ada beberapa jenis
peradilan seperti Peradilan Umum, Mahkamah Militer, dan Mahkamah Administratif.
Hal ini, disebutkan dengan jelas dalam pasal-pasal berikut :
“Untuk mengusut
pelanggaran-pelanggaran yang berhubungan dengan tugas-tugas militer atau
keamanan yang dialkukan oleh personalia angkatan perang, gendarmerie, polisi
dan korp pengawal revolusi, Mahkamah Militer akan diadakan sesuai dengan
undang-undang. Bagi pelanggaran biasa yang dilakukan oleh personalia militer,
pelanggaran-pelanggaran tersebut akan diusut di pengadilan umum. Mahkamah
Militer berada dalam Jurisdiksi kekuasaan kehakiman dan merupakan bagian
integral dari system kehakiman Negara.” (UUD RII, Bab XI, Pasal 172)
“Untuk mengusut
proses pengadilan, pengaduan dan protes public terhadap pejabat, unit atau
peraturan pemerintah dan untuk melaksanakan keadilan dalam perkaranya, suatu
mahkamah yang disebut ‘Mahkamah Administratif’ akan dibentuk di bawah
pengawasan Dewan Kehakiman Agung. Jurisdiksi dan prosedur untuk melaksanakan
mahkamah ini akan ditentukan oleh undang-undang.” (UUD RII, Bab XI, Pasal 173)
“Berdasarkan
atas hak kekuasaan kehakiman untuk mengontrol arus peristiwa yang memuaskan dan
pelaksanaan undang-undang yang sehat dalam unit-unit pemerintahan, suatu
organisasi yang disebut ‘Inspektorat Negara’ akan dibentuk di bawah pengawasan
Dewan Kehakiman Agung.” (UUD RII, Bab XI, Pasal 174)
Dengan
uraian-uraian di atas jelaslah bahwa sistem peradilan Iran telah memberikan
jalur demokratis dan hak hukum yang berdasarkan pada persamaan, keadilan,
keterbukaan, dan tentunya keislaman.
[1] Lihat penjelasan panjang lebar istilah ini
oleh Murtadha Muthahhari. Kebebasan Berpikir dan Berpendapat dalam Islam.
(Jakarta: Risalah Masa, 1990), h. 79-80.
[2] Murtadha Muthahhari. Kebebasan, h.
80.
[3] Murtadha Muthahhari. Kebebasan, h.
84.
[4] Yamani. Antara Al-Farabi dan Khumaini:
Filsafat Politik Islam. (Bandung: Mizan, 2002), h. 127.
[5] Mark Juergens Meyer. Menentang Negara
Sekuler. (Bandung: Mizan 1998), h. 209.
[6] Mark Juergens Meyer. Menentang, h.
209-210.
[7] Mark Juergens Meyer. Menentang, h.
210.
[8] Memang, ada perbedaan antara posisi rahbar
dan wali faqih. Rahbar merupakan jabatan tertinggi yang diberikan oleh
Negara Iran, yang mana keputusan-keputusan rahbar mengikat seluruh warga
Negara Iran apapun kelompok, suku, dan agamanya. Sedangkan wali fakih
merupakan jabatan ilahiah sebagai pengganti Imam Maksum yang sedang gaib, dan
wewenangnya meliputi semua kaum muslimin (mazhab syiah) dimanapun berada, sehingga
disebut juga wali al-amr muslimin.
[9] Murtadha Muthahhari. Kebebasan, h.
85-86.
[10] Murtadha Muthahhari. Kebebasan, h.
86.
[11] Chibli Mallat. Menyegarkan Islam. (Bandung:
Mizan, 2001), h. 133.
[12] Chibli Mallat. Menyegarkan, h.
133. UUD RII Pasal 110 menyatakan sebagai berikut : “Following are the
duties and powers of the Leadership: 1). Making the general policies of the
Islamic Republic of Iran after consultation with the Expediency Council.
(Pembinaan keamanan umum RII setelah konsultasi dengan Dewan Kebijaksanaan);
2). Supervising over the proper execution of the general policies of the
system (Mengawasi pelaksanaan yang baik tentang system keamanan publik);
3). Issuing a decree for a national referendum (mengeluarkan dekrit untuk
referendum nasional); 4). Assuming supreme command of the armed forces
(Mengangkat Komandan Tertinggi Angkatan Bersenjata); 5). Declaring war and
peace, and mobilizing the armed forces. (Mengumumkan perang dan damai dan
memobilisasi Angkatan Bersenjata); 6). Appointment (Mengangkat), dismissal
(Memecat), and acceptance of resignation (menerima pengunduran diri) of: a) The
faqīhs of the Guardian Council (ulama dewan pelindung). b) The supreme judicial
authority of the country (wewenang tertinggi pengadilan Negara). c) The head of
the Islamic Republic of Iran Broadcasting (pemimpin siaran radio RII/IRIB). d)
The Chairman of the Joint Chiefs of Staff (Pemimpin seluruh kepala-kepala
staf). e) The chief commander of the Islamic Revolution Guards Corps (Kepala
staf korp pengawal revolusi Islam). f) The supreme commanders of the Armed
Forces and the Police (Komandan tertinggi Angkatan Bersenjata dan Polisi); 7).
Resolving differences between the three branches and regulating their
relations. (Memutuskan perbedaan antara tiga cabang dan hubungan regulasi
mereka); 8). Resolving the system’s problems, that cannot be solved by
conventional methods, through the Expediency Council. (memutuskan; 9). Signing
the decree formalizing the election of the President of the Republic by the
people. The suitability of candidates for the Presidency of the Republic, with
respect to the qualifications specified in the Constitution, must be confirmed
by the Guardian Council before elections take place; and, in case of the first
term [of the Presidency], by the Leadership; 10). Dismissal of the President of
the Republic, with due regard for the interests of the country, after the
Supreme Court holds him guilty of the violation of his constitutional duties,
or after a vote of the Islamic Consultative Assembly testifying to his
incompetence on the basis of Article 89 of the Constitution; 11). Pardoning or
reducing the sentences of convicts, within the framework of Islamic criteria,
recommended by the Head of the Judiciary. The Leader may delegate part of his
duties and powers to another person (UUD RII Pasal 110).
[13] Lihat Ali Mishkini, Wali Faqih. (Jakarta:
Risalah Masa, 1991), h.68-69.
[14] Ali Mishkini. Wali, h. 70-71.
[15] lihat Yamani. Antara, h. 128.
[16] Lihat UUD RII, Pasal 113 sebagai berikut :
“Next to the Leader, the President shall be the highest official State
authority who is responsible for the implementation of the Constitution and, as
the Chief Executive, for the exercise of the executive powers, with the
exception of those matters that directly relate to the Leader. (Pasal 113)
[17] Lihat UUD RII, Pasal 114 sebagai berikut :
The President shall be elected by the direct vote of the people for a four-year
term of office. His consecutive re-election shall be allowed only for one term.
(Pasal 114)
[18] Pasal 117 UUD Iran menyebutkan : “The
President shall be elected by an absolute majority of votes cast. However, if
in the first round none of the candidates secures such majority, a second round
of elections shall be held on the Friday of the following week. Only two of the
candidates, who secure the highest number of votes in the first round, shall
participate in the second round. But in case one or more of such candidates
wish to withdraw from the elections, two candidates from among the rest, who
secured the highest number of votes in the first round, shall be introduced for
election.” (Pasal 117).
[19] Yamani. Antara, h. 129.
[20] Nasir Tamara, Revolusi, h. 290-291.
[21] Lihat Nasir Tamara. Revolusi, h.
291.
[22] Lihat Ayatullah Jawadi Amuli. Sistem
Pengadilan Islam dalam al-Quran. dalam Jurnal al-Huda Vol. III, No. 9,
2003, h. 5-9.
[23] Jawadi Amuli. Sistem, h. 5.
[24] Phillipa Strum. Peran Peradilan
Independen. dalam jurnal Demokrasi, Office of International,
h. 37-38.
[25] Lihat UUD RII, Bab III, Pasal 37.
[26] Lihat UUD RII, Bab XI, Pasal 158,159 dan
160.
[27] Lihat UUD RII, Bab XI, Pasal 157.
[28] Lihat UUD RII, Bab XI, Pasal 156.
No comments:
Post a Comment