Monday, October 17, 2011

Dialog Ja‘far As-Shodiq dan Para Sufi


Oleh: Musadiq Marhaban

Sufyan Al-Tsury, seorang tokoh Sufi terkenal yang hidup di kota Madinah, datang mengunjungi Imam Ja’far Shadiq as. Dia melihat Imam memakai pakaian yang rapi dan sangat elok, bagaikan tabir halus yang memisahkan antara kuning telur dengan putihnya. Sufyan mengkritik, “Anda tidak selayaknya menceburkan diri Anda dalam kemewahan duniawi. Dari andalah diharapkan ketaqwaan, kezuhudan, dan sifat menghindari dunia.”

Lalu Imam berkata, “Dengar baik-baik hai Sufyan. Akan aku katakan sesuatu yang berguna untuk dunia dan akhiratmu. Apabila engkau keliru dan tidak mengetahui pandangan agama Islam yang sebenarnya tentang perkara ini, maka ucapanku ini akan betul-betul berguna. Namun, kalau maksudmu untuk berbuat sesuatu yang bid’ah dan menyelewengkan ajaran agama, itu soal lain, dan kata-kataku ini tidak akan ada gunanya. Mungkin engkau mengamalkan cara hidup Rasulullah dan sahabat-sahabatnya yang faqir dan bersahaja pada zaman dulu, kemudian engkau mengira bahwa itu merupakan satu jenis taklif  (kewajiban) bagi setiap Muslim sampai hari kiamat

Namun aku katakan kepadamu, bahwa Nabi hidup di suatu masa dan keadaan di mana kesengsaraan, kemiskinan, dan kesempitan melanda mereka. Rata-rata kaum Muslimin saat itu tidak memiliki bahan keperluan pokok untuk hidup. Kehidupan Nabi dan sahabat-sahabatnya pada masa itu memang disebabkan oleh situasi dan kondisi yang menimpa semua orang. Tapi kalau hidup di suatu masa di mana keperluan-keperluan hidup mudah didapat dan kondisinya mengizinkan kita untuk menikmati pemberian-pemberian Ilahi, maka yang paling berhak menikmati karunia dan nikmat-nikmat Allah tersebut adalah orang-orang saleh dan bertaqwa, bukan orang-orang fasiq; orang-orang Muslim, bukan orang-orang kafir.

“Aib apa yang engkau lihat pada diriku? Demi Allah, meskipun —sebagaimana yang engkau lihat— aku menikmati pemberian-pemberian dan nikmat-nikmat Ilahi ini, tapi sejak masa baligh-ku sampai sekarang, tidak pernah malam dan siang berlalu tanpa aku menyadari apakah hak orang lain masih ada di tanganku atau tidak. Kalau ada, segera aku lunasi dan kusampaikan kepadanya.”

Sufyan diam dan tidak bisa menjawab penjelasan Imam Ja’far Ash-Shadiq. Dia keluar dengan hati yang “kalah”. Dia pergi ke tempat sahabat-sahabat sufinya dan menceritakan apa yang terjadi antara dia dengan Imam Ja’far. Mereka bersegera untuk menemui Imam Ja’far beramai-ramai dengan mendiskusikan hal tersebut.

Setelah sepakat, mereka datang dan berkata, “Sahabat kami tidak bisa menjawab Anda dengan dalil yang kuat. Kini kami datang untuk menjelaskan kepada Anda alasan-alasan kami.”

“Katakanlah dalil-dalil kalian,” kata Imam Ja’far.
“Dalil kami adalah Al-Quran.”
“Apakah ada dalil lain yang lebih baik dari Al-Quran? Coba sebutkan, aku bersedia mendengarnya.”
“Ada dua ayat dalam Al-Quran yang kami ambil sebagai dalil untuk membuktikan kebenaran kami dan ajaran tarekat kami. Dan ini cukup bagi kami. Allah swt memuji sekumpulan sahabat dalam Al-Quran, yakni firman Allah,
Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang-orang Muhajirin): dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung..” (QS. 59:9).

Dalam ayat lain Allah berfirman,
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan..” (QS. 76:9).

Ketika argumentasi para sufi itu sampai di sini, seseorang yang hadir berkomentar dari kejauhan, “Sejauh yang aku ketahui, kalian sendiri tidak mempercayai apa yang kalian ucapkan itu. Kalian hanya ingin agar mereka menjauhi harta benda mereka, lalu memberikannya kepada kalian, dan pada gilirannya kalianlah yang menikmati semua itu. Karena itu, tidak pernah tampak kalian menghindari makanan-makanan yang lezat!”

“Tidak ada gunanya engkau terburu-buru mengucapkan kata-kata itu,” Imam Ja’far menegur orang yang berkata tadi.
Lalu beliau menghadap para sufi dan berkata,
Pertama-tama, apakah kalian bisa membedakan antara Muhkam (ayat yang jelas maksudnya) dan Mutasyabih (ayat yang samar-samar maksudnya), nasikh dan mansukh (ayat-ayat yang membatalkan dan ayat-ayat yang dibatalkan) yang ada dalam Al-Quran ketika kalian berargumentasi dengan ayat-ayat suci Al-Quran? Kesesatan yang menimpa umat Islam ini adalah karena mereka berpegang pada suatu ayat, tanpa mengetahui pengertian yang benar dari Al-Quran.”

“Sebenarnya kami hanya tahu secara garis besar tentang ilmu Al-Quran ini, tidak terlalu sempurna,” mereka menjawab.
“Itulah letak kesalahan kalian. Hadits-hadits Nabi adalah juga seperti ayat-ayat Al-Quran. Untuknya diperlukan pengetahuan dan pengertian yang sempurna.

Ayat-ayat Al-Quran yang kalian bacakan tadi, bukan merupakan dalil yang mengharamkan kita menikmati pemberian-pemberian Ilahi ‘Azza Wa Jalla. Ayat itu berkenaan dengan pengorbanan dan pemberian infaq. Ayat itu memuji suatu kaum pada suatu masa tertentu, karena mementingkan orang lain lebih daripada diri mereka sendiri, dan memberikan hartanya yang halal kepada mereka. Namun kalau mereka tidak melakukan semua itu, bukan berarti mereka telah berbuat ingkar dan dosa.
Allah tidak mewajibkan mereka berbuat demikian, dan pada waktu yang sama juga tidak melarang mereka. Kaum Anshar berkorban dan mementingkan kaum Muhajirin berdasarkan rasa ihsan dan panggilan hati nurani mereka, karenanya Allah swt akan memberikan ganjaran kepada mereka. Dengan demikian, ayat itu tidak membuktikan kebenaran dakwaan kalian, karena kalian melarang dan mencela orang-orang yang menikmati pemberian-pemberian dan harta-harta yang Allah telah anugerahkan kepada mereka.
“Sahabat Nabi pada masa itu terlalu banyak menginfaqkan dan mengorbankan hak milik mereka, sampai turun wahyu Allah yang membatasi perbuatan mereka tadi. Wahyu yang datang kemudian me-mansukhkan amal perbuatan mereka. Seharusnya kita mengikuti wahyu yang datang kemudian, bukan mengikuti asal perbuatan mereka sebelumnya.

“Allah (Swt.), berdasarkan rahmat-Nya yang tersendiri dan demi kepentingan orang-orang Mukmin, melarang seseorang menyengsarakan diri dan keluarganya dengan memberi apa yang ada di tangannya kepada orang lain, karena dalam keluarganya terdapat orang-orang yang lemah, anak-anak kecil, dan orang-orang tua yang tidak dapat memikul semua itu. Seandainya aku memiliki beberapa keping roti, dan ku-infaq-kan semuanya, sedangkan keluargakulah yang berhak menerimanya, maka mereka akan mati kelaparan. Karena itulah Rasulullah saw bersabda, “Jika seseorang mempunyai beberapa biji kurma atau beberapa kerat roti, atau beberapa keping dinar, dan berniat menginfaqkan, pertama-tama dia harus infaqkan kepada anaknya, kemudian keluarga dan saudara-saudaranya yang mukmin, dan terakhir barulah amal-amal kebajikan dan amal-amal jariyah. Yang terakhir boleh dilakukan setelah memenuhi tiga yang pertama”.

“Ketika Nabi mendengar seorang Anshar wafat, meninggalkan anak-anak yang masih kecil, sedangkan hartanya yang tidak seberapa itu diinfaqkan di jalan Allah, beliau bersabda, ‘Kalau sebelum ini kalian beritahu aku, maka aku tidak akan memperkenankan dia dikebumikan di perkuburan orang-orang Muslim. Dia meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil-kecil, lalu ia buka tangannya untuk orang lain”.

“Ayahku Imam Muhammad al-Baqir meriwayatkan kepadaku sabda Nabi saw, ‘Utamakanlah infaq-infaq kalian mulai dari keluarga kalian menurut susunan yang terdekat. Mereka yang terdekat denganmu adalah mereka yang lebih berhak.’ Selain itu, nash Al-Quran melarang cara dan infaq kalian.
Allah berfirman, ‘(Orang-orang Mukmin) adalah orang-orang yang apabila menginfaqkan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir, dan adalah infaq itu ditengah-tengah antara yang demikian.’

“Banyak ayat-ayat Al-Quran yang melarang berinfaq secara berlebihan sebagaimana melarang sifat bakhil dan kikir. Al-Quran telah menentukan batas tengah dan kesederhanaan dalam amal ini. la tidak membenarkan sese-orang memberikan setiap yang dimilikinya kepada orang lain, dan membiarkan dirinya sendiri hidup dalam keadaan sengsara; kemudian mengangkat tangannya dan berdoa: ‘Ya Allah, limpahkanlah rezekiMu kepada hambaMu ini.’ Allah swt tidak akan mengabulkan doa seperti ini.
“Rasulullah Saw. Bersabda, ‘Allah tidak akan mengabulkan doa beberapa golongan yaitu:

1) Seseorang yang memohon kecelakaan bagi kedua orang tuanya;
2) Seseorang yang hilang hartanya karena dipinjamkannya kepada orang lain tanpa mempunyai saksi atau bukti, kemudian dia berdoa kepada Allah agar ditunjukkan suatu jalan lain yang dapat mengembalikan hartanya itu.
Doa orang seperti ini tidak akan dikabulkan oleh Allah; karena jalan yang benar telah diselewengkannya sendiri, yaitu memberikan hartanya tanpa saksi dan bukti;
3) Seseorang yang memohon dari Allah agar dijauhkan dari gangguan sang isteri. Sebabnya adalah, karena jalan keluarnya ada di tangan sang suami. Yakni, jika dia betul-betul merasa terganggu si isteri, maka dia bisa keluar dari suasana ini dengan menceraikan, misalnya.
4) Seseorang yang berpangku tangan di rumahnya, lalu berdoa kepada Allah agar dilimpahkan rezeki. Allah akan berkata kepada hamba yang tamak dan jahil ini, ‘Hambaku! Bukankah Aku telah tunjukkan kepadamu jalan untuk mendapatkan rezeki, yakni dengan bergerak dan berusaha? Bukankah telah kuberikan kepadamu anggota badan yang sehat; tangan, kaki, mata, telinga, dan akal, semua telah Kuberikan untuk melihat, mendengar, berpikir, dan bergerak? Setelah itu semua, masihkah kau hanya berpangku tangan tanpa mau berusaha? Semua itu diciptakan pasti ada motivasi dan maksud tertentu dibaliknya. Cara yang terbaik dalam mensyukuri semua nikmat adalah dengan menggunakannya pada tempatnya. Berdasarkan hal tersebut, maka hujjah dan alasan-Ku telah sempurna, bahwa kau harus berusaha dalam mencari rezeki, mematuhi perintah-Ku berkenaan dengan usaha ini dan tidak bergantung kepada orang lain. Kalau semua itu sejalan dengan iradah dan kemauan-Ku, maka pasti akan Kuberikan rezeki untukmu. Tapi kalau dikarenakan sebab-sebab atau masalah-masalah kehidupan, lalu kau tidak mendapatkannya, maka kau telah menjalankan usaha dan kewajibanmu dengan baik. Dalam hal ini kau akan dimaafkan oleh Tuhanmu.’
5) Seseorang yang telah mendapatkan harta yang banyak dari Allah, lalu habis disebabkan oleh infaq dan pemberiannya yang berlebih-lebihan, kemudian dia mengangkat tangannya dan berdoa: ‘Ya Allah, limpahkanlah rezeki-Mu padaku.’ Dalam jawabannya Allah akan berkata: ‘Bukankah Aku telah berikan kepadamu rezeki yang banyak? Kenapa kau tidak bersahaja? Bukankah telah Kuperintahkan kepadamu agar bersahaja dalam infaq? Bukankah telah Kularang berinfaq tanpa perhitungan dan berlebihan?;
6) Seseorang yang berdoa untuk memutuskan tali silaturahmi.
“Di dalam Al-Quran, Allah swt mengajarkan cara berinfaq yang benar, khususnya kepada Nabi saw. Suatu hari, Nabi memegang beberapa keping uang emas. Beliau mau menginfaqkan semuanya untuk fakir miskin karena tidak mau memilikinya walau untuk waktu satu malam. Kemudian beliau infaqkan semuanya dan diberikannya ke kanan dan ke kiri dalam satu hari. Esoknya, ada seseorang datang dan mendesak minta pertolongan Nabi. Beliau tidak memiliki apa-apa untuk diberikan kepada peminta ini. Karenanya beliau merasa sangat bersedih hati. Lalu turunlah ayat Al-Quran yang berkenaan dengan cara berinfaq:
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu, dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya; karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS.17:29).
“Demikianlah Hadis-hadis Nabi yang akurat, dan didukung ayat-ayat suci Al-Quran. Seorang yang betul-betul mukmin dan taqwa niscaya akan beriman dan mengikuti isi kandungannya.
“Ketika Abubakar dalam keadaan hampir menemui ajalnya, beliau ditanya tentang hartanya; apakah akan diwasiatkan atau tidak. Ia menjawab; ‘Seperlima dari hartaku kalian infaqkan, dan selebihnya adalah hak waris.’ Seperlima dari semua harta adalah jumlah yang tidak sedikit. Padahal seorang yang berada dalam keadaan sakaratul maut berhak berwasiat sampai sepertiga dari hartanya. Kalau Abubakar tahu bahwa infaq yang berlebihan adalah lebih baik dan terpuji, maka sebaiknya ia menggunakan haknya, yakni berwasiat sampai sepertiga dari haknya.
“Kehidupan dan cara berinfaq Salman Al-Farisi dan Abu Dzar Al-Ghifari ra yang kalian kenal ketaqwaan, kezuhudan, dan keistimewaan mereka, membuktikan kebenaran kata-kataku ini. “Ketika Salman menerima saham tahunannya dari baitul mal, dia menyisihkannya bagi taqwa, masih teringat untuk menyimpan uang untuk jangka waktu satu tahun? Bukankah hari ini keperluan perbelanjaannya untuk waktu satu tahun. Ia ditanya: ‘Engkau yang begini zuhud dan atau esok engkau bisa saja meninggal dan tidak menjumpai akhir tahun ini?’ “Salman menjawab: ‘Dan mungkin juga aku tidak mati! Kenapa kamu hanya memperhitungkan kemungkinan mati saja tanpa menghiraukan kemungkinan hidup?! Andainya aku hidup, aku telah mempunyai perbelanjaan dan bekal. Wahai orang-orang jahil! Kalian telah lupa pada segi ini, yakni bahwa jiwa manusia akan malas dan enggan untuk taat kepada Allah, bahkan akan kehilangan semangat dan energinya pada jalan yang haq, jika dia tidak memiliki bekal hidup yang cukup. Namun kalau kebutuhannya terjamin, maka kehidupannya akan terasa tenteram”.

“Abu Dzar al-Ghifari ra mempunya beberapa ekor unta dan kambing yang biasa dia perah dan minum susunya. Kadangkala beliau amat ingin memakannya, tapi jika beliau kedatangan tamu, atau ada orang lain yang memerlukan daging, serta merta beliau sembelih dan gunakan daging tersebut. Apabila Abu Dzar ingin memberikan sesuatu kepada orang lain, maka beliau menyisihkan kadar yang sama untuk dirinya sendiri.
“Manusia mana yang lebih zuhud dari mereka? Nabi telah bersabda mengenai mereka, yang tidak syak lagi, telah kalian ketahui semua. Mereka tidak pernah, dengan alasan taqwa dan zuhud, melepaskan seluruh hak milik mereka. Mereka tidak pernah mengajarkan dan mengamalkan seperti apa yang kalian ajarkan, yakni agar setiap Muslim meninggalkan setiap yang mereka miliki, dan membiarkan diri dan keluarganya dalam keadaan sengsara.

“Aku ingin mengingatkan kalian pada suatu hadis yang diriwayatkan ayahku, beliau meriwayatkan dari ayahnya sampai kepada Nabi saw, Nabi bersabda:

Sesuatu yang paling menakjubkan adalah keteguhan iman seorang Mukmin dalam keadaan yang jika badannya dikerat sepotong-sepotong dengan pisau, maka semua itu merupakan kebaikan dan kebahagiaan baginya. Dan jika kekuasaan Barat dan Timur diberikan kepadanya, ini pun merupakan kebaikan dan kebahagiaan baginya’.

“Kebaikan seorang Mukmin tidak seharusnya ada dalam lingkaran kefakiran dan kemiskinan. Kebaikannya berangkat dari hakikat iman dan aqidahnya dalam segala kondisi, apakah jatuh fakir dan miskin, atau kaya dan berkecukupan. Semua itu tidak mengubahnya untuk menjalankan kewajibannya dengan cara yang terbaik. Inilah yang dikatakan sebagai keadaan paling menakjubkan dari seorang Mukmin di mana setiap kejadian, kesusahan atau kesenangan, baginya adalah baik dan membahagiakan.
“Bagaimana, apakah ini cukup bagi kalian ataukah perlu kutambah?

Tahukah kalian sejarah periode pertama datangnya risalah Islam, di mana jumlah kaum Muslimin masih sedikit? Undang-undang jihad pada masa itu adalah: setiap satu orang Muslim wajib berdiri menghadapi sepuluh orang kafir. Siapa yang ingkar terhadap perintah tersebut adalah berdosa dan melanggar hukum. Namun kemudian diperoleh kemudahan-kemudahan yang lebih banyak. Melalui inayah dan rahmat-Nya, Allah meringankan peraturan itu sehingga menjadi: setiap Muslim hanya wajib menghadapi dua orang kafir, tidak lebih.
“Aku bertanya kepada kalian tentang satu perkara yang berkenaan dengan hukum qadha, perundang-undangan dan mahkamah Islam. Andaikan salah seorang di antara kalian berada di mahkamah, dan didakwa dalam perkara nafkah terhadap isteri, lalu hakim memutuskan bahwa engkau wajib memberikan nafkah kepada isterimu, apa yang akan engkau lakukan? Apakah engkau akan minta maaf dan mengatakan bahwa engkau adalah orang yang zuhud dan tidak menghiraukan lagi nikmat-nikmat duniawi? Apakah alasanmu itu dapat dibenarkan?
Apakah dalam pandanganmu, keputusan hakim yang mewajibkan engkau memberikan nafkah kepada isterimu, merupakan suatu keputusan yang benar dan adil, ataukah keputusan yang lalim dan aniaya? Kalau engkau katakan bahwa keputusan itu adalah lalim dan tidak benar, maka jelas bahwa engkau telah berdusta dan telah menganiaya semua Muslim melalui tuduhan yang melulu ini. Dan kalau engkau katakan bahwa keputusan hakim itu adalah benar, maka alasanmulah yang keliru; dan konsekuensinya adalah bahwa tarekat dan ajaranmu adalah salah.

“Ada beberapa perkara di mana kaum Muslim wajib atau tidak mengeluarkan infaqnya, seperti zakat atau kaffarah (denda). Andaikan kita definisikan zuhud sebagai menghindar dari kehidupan dan keperluan-keperluan hidup, dan andainya semua orang - mengikuti kemauan kalian - menjadi zuhud dan berpaling dari kehidupannya sehari-hari, maka bagaimana nasib infaq-infaq wajib seperti zakat dan kaffarah? Bagaimana pula nasib zakat-zakat wajib seperti emas, perak, kambing, unta, sapi, kurma, kismis dan lain sebagainya? Bukankah maksud yang tersirat dari pemberian infaq adalah agar orang-orang yang tidak mampu bisa hidup lebih baik, dan mereka bisa menikmati anugerah-anugerah Ilahi itu? Inilah sebenarnya maksud yang tersirat di balik penentuan hukum-hukum tersebut. Kalau motivasi agama adalah menjadi fakir, dan hidup dalam kesengsaraan adalah puncak tertinggi dari tarbiyah diniyyah (pendidikan agama), itu berarti bahwa orang-orang fakir telah berhasil mencapai puncak tersebut dan mereka tidak boleh diberi apapun agar tetap dapat dalam keadaan yang baik dan berbahagia. Pada gilirannya mereka pun tidak boleh menerima setiap pemberian agar tetap dalam suasana mereka yang selalu berbahagia.
“Kalau apa yang kalian ucapkan itu benar, maka selayaknya setiap orang tidak menyimpan harta. Apa yang ia peroleh harus diinfaqkan. Dengan demikian kewajiban membayar zakat tidak perlu ada lagi.
“Maka jelas bahwa apa yang kalian anut dan sebarkan, adalah satu ajaran dan tarekat yang salah dan berbahaya. Dan ajaran ini berasal dari kejahilan dan ketidakpahaman kalian akan Al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw. Hadis-hadis yang kupaparkan tadi tidak diragukan lagi kesahihannya; ayat-ayat suci Al-Quran, juga tidak tahu membedakan antara nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih serta amr dan nahi.

“Coba kalian jawab argumenku berikut ini mengenai kisah Nabi Sulaiman bin Daud as. Beliau mohon suatu kekuasaan dari Allah swt yang tidak akan diperoleh siapapun sepeninggalnya: ‘Dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang jua pun sesudahku.’ (QS. 38:35). Dan Allah memberikan kepadanya. Nabi Sulaiman tidak menginginkan sesuatu kecuali yang haq. Dalam hal ini, baik Allah swt atau orang-orang mukmin, tidak mencela Nabi Sulaiman karena memohon kekuasaan yang begitu besar dari Allah. Begitu juga halnya dengan Nabi Daud as yang datang sebelumnya.
Dalam kisah Nabi Yusuf, beliau berkata kepada raja: ‘Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir) sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.’ (QS. 12:55). Akhirnya beliau menangani semua urusan negara yang terbentang luas dari Mesir sampai ke Yaman. Ketika paceklik menimpa seluruh pelosok negeri, semua penduduk dari berbagai belahan datang membeli perbekalan dan bahan-bahan pokok mereka. Ini tidak menyebabkan Yusuf lupa pada yang haq, dan Allah pun tidak mencelanya di dalam Al-Quran.

“Begitu juga dengan kisah Dzul Qarnain, seorang hamba yang cinta kepada Allah dan dicintai oleh-Nya. Kepada Dzul Qarnain, Allah memberikan kemudahan-kemudahan dan kekuasaan dunia, dari Barat sampai ke Timur.
“Hai orang-orang sufi! Tinggalkanlah jalan yang tidak benar itu. Tunjukkanlah adab Islam yang sebenarnya. Jangan melampaui perintah dan larangan Allah, dan jangan pula mengurangi perintah-perintah-Nya. Jangan kalian ceburkan diri kalian ke dalam masalah-masalah yang kalian tidak ketahui. Tuntutlah ilmu-ilmu itu dari ahlinya. Kenalilah perbedaan antara nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, serta halal dan haram. Semua itu akan lebih baik dan mudah bagi kalian, serta dapat menjauhkan kalian dari kejahilan. Bebaskan diri kalian dari kejahilan, karena penyokong-penyokongnya terlalu banyak; sebaliknya, penyokong-penyokong ilmu pengetahuan sangatlah sedikit.”

No comments:

Post a Comment