2 02 2011
Ustadz
MIFTAH F. RAKHMAT
ALKISAH, seorang anak ditanya oleh ayahnya. Sang ayah adalah
seorang alim besar pada zamannya. Ingin jadi apakah kau ketika besar nanti? “
Aku ingin menjadi sepertimu,” jawab si anak. “Salah besar anakku,
bercita-citalah untuk meniru Imam Jafar Shadiq. Dengan begitu, walaupun 1 %
cita-citamu itu tercapai, engkau sudah jauh lebih baik dariku.”
***
Cerita di atas menggambarkan sebuah tradisi keilmuan dalam
mazhab Ahlul Bait. Tentu yang dimaksud dengan Ahlul Bait di sini adalah mazhab
Syiâh Imamiyyah. Walaupun saya pribadi cenderung memisahkan antara kedua
istilah itu. Ahlul Bait adalah pusaka peninggalan Rasulullah untuk umatnya,
karena itu ia tidak terbatas hanya kepada Syiâh saja.
Dari cerita di atas terlihat betapa besar pengaruh para Imam
Ahlul Bait kepada para pengikutnya. Imam Jafar Shadiq, misalnya, meninggalkan
khazanah keilmuan yang banyak untuk para pengikutnya. Pada masa beliaulah
‘universitas Islam’ pertama didirikan. Abu Hanifah, salah seorang murid Imam
Jafar Shadiq, bahkan dididik dalam suasana toleransi dan pluralitas bermazhab
yang tak terbatas. Bahkan para zindiq pun waktu itu mewarisi dan menikmati
wacana intelektual yang beragam.
Namun, sepeninggal Imam Jafar Shadiq, seiring dengan naiknya
kekhalifahan˜Abbasiyyah ke tampuk pemerintahan, tradisi itu perlahan-lahan
memudar. Masing-masing mazhab pemikiran berkembang sendiri-sendiri, hingga
zaman keemasan Andalusia, dengan Ibn Arabi sebagai contoh didikan masa itu.
Syeikh Muhyiddin Ibn Arabi, alim Andalusia yang dimakamkan di Rukn al-Din,
Damaskus hidup di tengah masa yang dipenuhi perdebatan yang sengit antara
penganut Islam dan Nasrani, antara Mutazilah dan Asyariah, antara para ahli
fikih, filsafat, dan tasauf. Semua perdebatan itu menimbulkan bekas yang
mendalam pada dirinya sebagaimana dikatakan oleh Abu ˜Ala Afifi, “Inna li Ibn
‘Arabi `fi
kulli mu’askarin qadamun†(Nashr Hamid Abu Zayd, Falsafah al-Ta`wil, Dirasatun
fi Ta’wil al-Qur’an ‘inda Muhy al-Din bin ‘Arabi, 1996).
kulli mu’askarin qadamun†(Nashr Hamid Abu Zayd, Falsafah al-Ta`wil, Dirasatun
fi Ta’wil al-Qur’an ‘inda Muhy al-Din bin ‘Arabi, 1996).
Dalam Syiah sendiri, pengaruh para Imam yang dominan
memberikan ruang interpretasi yang terbatas bagi para pengikutnya. Beberapa
kisah diskusi Imam dan sahabatnya menggambarkan hal itu. Toh, tidak ada
kekhawatiran yang berarti. Karena orang Syiah percaya bahwa sang Imam adalah
pewaris mutlak kenabian. Kepada mereka juga berlaku ayat, “…Apa saja yang dibawa/diperintahkan oleh rasul (berupa
hukum) kepadamu maka terimalah dia. Dan apa saja yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah…” (Qs. al-Hasyr [59]: 7). Ucapan mereka, tingkah
laku dan perbuatan mereka adalah divinely
intervened uswatun hasanah.
Demikian berlanjut hingga zaman Imam keduabelas, Imam Mahdi
al-Muntazhar. Pada 229 H, setelah Imam Mahdi menjalani ghaybat al-sughra, naib
keempat Imam, Ali bin Muhammad Simmari mengabarkan periode ghaybat al-kubra
yang akan dijalani Imam. Setelah itu, kontak langsung dengan sumber wahyu
terputus. Tidak dapat lagi masyarakat awam menanyakan persoalan-persoalan
mereka. Sejak itulah, ruang interpretasi dibuka sebebas-bebasnya. Sejak itu
pulalah dimulai tradisi keilmuan yang baru dalam khazanah Ahlul Bait. Tradisi
ini sekaligus mewariskan sebuah hierarki intelektual yang menjadi jenjang yang
tak dapat begitu saja diabaikan. Mungkin periode setelah ghaybat al-kubra ini
bisa dikatakan sebagai kelahiran dunia intelektual Syiâh.
Sejak itu, pintu ijtihad dibuka lebar-lebar. Nama-nama
seperti Syeikh Kulayni (329 H), Syeikh Shaduq (381 H), Syeikh Mufid, Syeikh
Anshari, Syeikh Tabarsi, dan sederet nama lain muncul ke permukaan. Beberapa
nama terakhir bahkan muncul pada abad ke 19 dan 20. Periode pengumpulan hadis
para Imam oleh ulama di atas menggiring pada tahap berikutnya: masa ijtihad dan
pengeluaran fatwa. Sepeninggal Imam Mahdi, masyarakat awam merujuk pada ulama
yang memenuhi kriteria yang disebutkan Imam sebagai penerusnya: alim, adil,
ukhalifun li hawahu (menentang hawa nafsunya, yang senantiasa memelihara
kesucian dirinya), faqihun fi al-dîn (faham permasalahan agama), arif bi
muqtadhiyati zamanihi (mengenali tantangan dan kebutuhan zaman) dan sebagainya.
Pada periode ini mencuat dua nama besar: Syeikh Mufid dan Syahid Tsani. Buku
Syahid Tsani, Lumâat al-Dimasyqiyyah, menjadi kitab standar yang digunakan oleh
para calon mujtahid.
Sejak saat itu pula, segala hal-hal yang berhubungan dengan
ilmu, menjadi wahana dominasi ulama. Terjadi dikotomi yang jelas antara ulama
di satu sisi, dan awam di sisi lain.
Demikian berlangsung, sampai dasawarsa terakhir abad ke-19
ketika Ayatullah Shirazi memberi fatwa pelarangan tembakau, sebagai upaya
melawan penjajah kolonial Inggris dan Rusia. Fatwa Ayatullah Shirazi itu menandai
dibukanya satu fase baru dalam dunia keilmuan Ahlul Bait, ialah fase
marjaiyyah. Dikotomi ulama dan awam itu, pada fase marjaiyyah ditandai dengan
perbedaan yang jelas antara marja dan muqallid. Marjaâ secara harfiah berarti
yang dirujuk dan muqallid berarti yang mengikuti.
Meskipun pembahasan seputar keharusan bertaklid atau
klasifikasi umat ke dalam muqallid, muhtath, atau mujtahid sudah tercantum
dalam kitab-kitab abad 19 seperti dalam Al- Urwah al-Wutsqa, karya Muhammad
Kazhim al-Thabathabai, atau bahkan Lumâ Dimasyqiyyah, karya Syahid Tsani yang
sekarang menjadi standar pengantar fikih di hawzah di Iran, institusi
marjaâiyyah sendiri mungkin baru resmi berdiri ketika Sayyid Muhsin al-Hakim
mendirikan sebuah lembaga untuk menginstitusionalisasikan distribusi khumus
sebagai bentuk pendidikan gratis pada para pelajar di Najaf. Institut itu
bernama Al-Marjaiyyah al-Diniyyah Ammah (Chibli Mallat, the Renewal of Islamic
Law, 1995).
Beragam debat seputar marjaiyyah masih berlangsung hingga
kini. Walaupun konsep marjaiyyah adalah sesuatu yang bersifat fikih, tetapi ia
sangat berpengaruh membentuk budaya intelektual di kalangan Ahlul Bait.
Dari Literatur Syiah ke Marjaiyyah (2)
2 02 2011
Ustadz
Miftah F. Rakhmat
SENGAJA saya berangkat dari hierarkhi intelektual itu untuk
menggambarkan secara global khazanah literatur Ahlul Bait dewasa ini. Proses
yang tidak mudah untuk menjadi seorang mujtahid atau ulama, secara tidak
langsung menghambat perkembangan dunia pemikiran Syiâh. Maksud saya, awam,
masyarakat kebanyakan akan langsung merujuk pada para ulama dalam bidang
apapun, apalagi dalam bidang fikih yang menjadi spesialisasi mereka. Penambahan
gelar Ayatullah, shahib al-fadhilah ma zilluhâ dan lain sebagainya di belakang
nama sang pengarang adalah jaminan akan substansi buku yang berbobot. Taruhlah,
misalnya, dua buku tentang filsafat. Yang satu ditulis oleh Ayatullah Muhammad
Ashari dan yang lain ditulis oleh hanya Abu Ali Akbar saja. Walau kedua penulis
itu ternyata sama, masyarakat Syiah akan memilih yang pertama. Ini, sekali lagi
diakibatkan oleh hierarki yang berkembang turun temurun tadi.
Di satu sisi, situasi seperti ini akan menghasilkan buku-buku
yang berkualitas. Warisan intelektual Syiâh adalah legasi yang bisa dinikmati
sepanjang masa. Tengoklah buku-buku Mulla Shadra, yang walaupun tak bergelar
ayatullah seperti zaman sekarang ini (karena dulu mungkin belum populer) tetapi
tetap melewati jalur-jalur standar seorang mujtahid. Ibnu Sina, seorang Syiah
Ismailiyyah, juga menghasilkan karya-karya yang abadi sepanjang masa. Belum
lagi warisan di bidang ˜irfan yang tak terhitung banyaknya. Mulla Faydh Kasyani
dan Nashiruddin Thusi adalah sedikit contoh di antaranya.
Di sisi lain, hierarki itu sedikit banyak menghambat para
pemikir muda. Mereka, biar bagaimana pun adalah murid para ayatullah senior
itu. Sangat susah, dalam hierarkhi Syiâh yang top down untuk menentang fatwa sang guru. Bukan hanya susah,
kebanyakan murid adalah pelanjut dari guru mereka masing-masing. Karena itu,
untuk menjembatani, atau menuju ke proses itu “sebagai salah satu cara
legitimasi” para pemikir muda biasanya menyusun kitab (musannif) alih-alih
menciptakannya (mu`allif). Maka bermunculanlah buku-buku hasil susunan para
penulis muda. Buku demikian tak terhingga jumlahnya. Apalagi dengan sistem
hawzah yang sekarang berkembang, khususnya untuk para santri asing, buku-buku
standar itu diringkas dan dijadikan satu.
Masih ada jalan lain untuk memperoleh legitimasi masyarakat
awam, ialah dengan menulis pada ratusan jurnal yang tersedia di tengah-tengah
masyarakat. Jurnal-jurnal itu antara lain risalah al-tsaqalayn, al-hayat
at-tayyibah, sophia perennis, afaq wa turats, dan lain sebagainya. Para penulis
muda itu antara lain Rasul Jafariyan, Thalib Sanjari, Asad Abu Said, Irfan
Mahmud dan sebagainya. Kebanyakan mereka masih menggunakan pola musannif dan
bukan muallif.
Dominasi hawzah (pesantren) sangat kuat dalam tradisi
intelektual Syiah. Karena itu, sangat sulit bagi seorang Syariati atau Abdul
Karim Shouroush untuk dapat menembus lingkaran elit itu. Syariati yang akrab
dengan mahasiswa pada era sebelum revolusi mendapat ruang berbicara yang luas.
Karena partisipasi para muridnya jugalah informasi yang disampaikan Syariati
menembus ruang dan waktu. Walaupun kurang populer di masyarakat hawzah,
Syariati mashur di kalangan universitas. Agaknya, untuk bidang keagamaan, para
akademisi pun (khususnya dari kalangan universitas) masih mendapat kesulitan
untuk menembus hierarki hawzah yang ada. Dr. Arif Zadeh, penulis buku Kamus
Irfan adalah contohnya. Beliau yang berasal dari Universitas Teheran tetap
harus menimba ilmu dulu di hawzah, sebelum akhirnya menerbitkan buku.
Lebih jauh, keterbatasan perkembangan ilmu itu tidak saja
didominasi oleh dua kota Qum dan Najaf, tetapi juga oleh warisan keluarga.
Beberapa keluarga ternama dalam Syiah adalah penyumbang besar khazanah
literatur Syiah dewasa ini. Tengoklah misalnya, keluarga Shadr (Muhammad Baqir
Shadr, Bintul Huda Shadr), keluarga Amili (Murtadha al-Askari al-Amili, Haydar
Amili), keluarga Hakim (Muhsin al-Hakim, Murtadha al-Hakim) dan sebagainya.
Belakangan ini, literatur Syiah diwarnai oleh corak yang beragam.
Jafar Subhani mencuat sebagai teolog dan ahli ilmu kalam, sedang rekannya
Ibrahim Amini lebih pada masalah-masalah kekeluargaan. Mazahiri sebagai ahli
ilmu akhlak, dan Jawad serta Hasan Zadeh Amuli yang terkenal dalam Irfan. Di
bidang filsafat, Sayyid Kamal Haydari dan Taqi Mishbah Yazdi menempati urutan
atas. Tentu, kita harus segera menambahkan gelaran ayatullah di depan nama-nama
itu. Bagaimana halnya dengan bidang fikih? Fikih tentu adalah dominasi para
ayatullah yang mencapai tataran itu setelah melewati serangkaian proses yang
panjang. Di antara yang patut disebut adalah Sayyid Muhammad Husain Fadhlullah
yang banyak mengeluarkan terobosan baru dalam bidang fikih. Dalam bidang ushul,
terobosan terakhir yang pernah meramaikan dunia pesantren Syiah diprakarsai
oleh Syahid Sayyid Muhammad Baqir Shadr dengan bukunya, Maalim al-jadida fi
al-ushul.
Tetapi, sumbangan terbesar bagi khazanah literatur Syiah
adalah keberhasilan revolusi Islam di Iran. Dengan revolusi itu, tampil para
penulis baru, angkatan kedua setelah Imam Khumaini. Sayang, kebanyakan mereka
telah dipanggil Tuhan. Lihatlah Syahid Behesyti yang menguasai bahasa Perancis,
Jerman, Inggris dan Belanda. Kenanglah Syahid Mustafa Khumaini yang menulis
tafsir sufi al-Quran. Atau Syahid Musawi di Beirut yang meninggalkan
naskah-naskah yang tak selesai. Syariati dan Muthahhari adalah contoh yang
lebih kentara lagi. Tangan kasih Tuhan jelas lebih pantas untuk menerima
keberadaan mereka daripada dunia yang fana ini.
Namun, ketiadaan mereka telah membuka kembali masalah lama
dalam pengembangan khazanah literatur dan keilmuan Ahlul Bait dewasa ini:
dominasi ulama, hierarki kesarjanaan, dan salah satunya juga adalah marjaiyyah.
Apakah marjaiyyah mempersempit peluang untuk berbeda pendapat? Apakah karena seseorang
patuh sebagai muqallid yang baik maka ia tak bisa mengambil alternatif dari
marja yang lain?
Dari Literatur Syiah ke Marjaiyyah (3)
2 02 2011
Ustadz
MIFTAH F. RAKHMAT
BERIKUT beberapa kritik terhadap marjaiyyah yang umum
dibicarakan. Marilah kita jadikan pembahasan ini diskusi yang menarik.
Sebagaimana kita membuka pintu lebar-lebar bagi seorang muslim untuk
mempertanyakan keislaman mereka, agar pada akhirnya ia dapat memahami Islam dan
menjalaninya dengan lebih baik. Marilah juga kita buka lebar-lebar kritik kita
terhadap paham-paham Syiahh, dengan harapan kita dapat memahaminya jauh lebih
baik dari apa yang mungkin sudah kita pelajari hingga saat ini.
Beberapa
Kritik atas Marjaiyyah
1. Ada sekitar 100 tahun setelah ghaybah Imam Mahdi ketika
masyarakat awam Syiah hanya merujuk kepada ulama saja, tanpa ada keharusan
kepada satu marja tertentu, apalagi yang dibumbui syarat alamiyyah (yang paling
berilmu. Siapakah yang menilainya?).
2. Tampaknya kemunculan institusionalisasi marjaiyyah
didasarkan atas proses sosial politik yang menyertainya. Ayatullah Shirazi
sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme; Ayatullah Muhsin Hakim untuk
melembagakan pendistribusian khumus; dan Ayatullah al-Imam Ruhullah Khumaini
sebagai salah satu bentuk kontrol terhadap keutuhan negara Islam yang beliau
dirikan. Bayangkan bila terjadi banyak marja dan ternyata mereka tidak semuanya
sepakat tentang bentuk yang pasti akan pemerintahan Islam dan undang-undang
yang menyertainya.
3. Marjaiyyah menutup ruang untuk kritik. Dari hierarki yang
sangat panjang, orang akan enggan untuk mengkritik ulama yang lebih senior
karena faktor keilmuan.
4. Marjaiyyah tidak fleksibel. Keputusan seorang marja boleh
jadi hanya didasarkan pada kondisi demografis tertentu.
5. Banyaknya metode istinbath (pengambilan keputusan) akan
berakibat pada beragamnya hasil keputusan mujtahid.
6. Proses istinbath berdasar pada nash. Nash yang menjadi
dasar hukum adalah nash yang dilahirkan dengan situasi sosial waktu itu.
Terdapat jarak yang sangat jauh antara penetapan nash dengan situasi sekarang
ini.
7. Menurut Syahid Baqir Shadr, seorang mujtahid bisa jatuh ke
dalam empat kekeliruan (Ijtihad Dalam Sorotan, 1985):
a). Justifikasi, Shadr menyebutnya dengan tabrir al-waqiâ
(pembenaran realitas). Misalnya, ketika di masyarakat Islam berkembang bunga
bank, seorang mujtahid harus menundukkan nash yang tidak mengenal bunga bank ke
dalam penafsiran yang sesuai. Jadi, bukannya mengubah realitas untuk tunduk
pada nash. Bunga bank, misalnya, dihalalkan karena riba yang dilarang dalam
Al-Quran adalah adhâf mudhafaât (berlipat ganda). Batasan berlipat ganda pun
kemudian harus dirumuskan. Padahal, dalam ayat lain disebutkan, “jika kamu
bertobat, maka bagimu pokok harta kamu, kamu tidak menganiaya dan tidak
dianiaya.” (Q.S. Al-Baqarah: 279).
b). Interpolasi, Shadr menyebutnya dengan damj al-nash dhimna
ithar al-khash (memasukkan nash ke dalam kerangka tertentu). Misalnya, seorang
mujtahid yang berusaha menafsirkan kata-kata dalam nash dengan pengertian
mutakhir yang ia pahami dari istilah modern sesuai ilmu pengetahuan yang
berkembang.
c). Manipulasi, Shadr menyebutnya dengan tajrid al-dalil
al-syarâ min zhurufih wa syuruthih (melepaskan dalil syarâ dari situasi dan
kondisinya). Salah satu contoh kekeliruan ini ialah memahami taqrir. Taqrir
adalah sunnah nabawiah yang dinyatakan dengan diam. Diamnya Nabi diartikan
sebagai kebolehan. Taqrir bisa pada amalan tertentu ataupun yang umum. Tetapi,
hadis yang menjadi taqrir tidak bisa menjadi sunnah kecuali dengan tiga syarat:
harus terjadi di zaman Nabi; harus diyakini tidak ada larangan syariat
tentangnya; dan harus diketahui berbagai kondisi dan situasi ketika terjadi
taqrir.
d). Subyektifikasi, Shadr menyebutnya dengan ittikhadz mauqif
muaayyan bi shurah musabaqah tujah al-nash (mengambil sikap tertentu
[prematur?] terhadap nash). Dua orang mujtahid akan mencoba memahami nash yang
sama, tetapi dengan kecederungan yang berbeda. Yang satu, misalnya,
menyorotinya dari aspek sosial dan yang lain dari sisi hukum Islam dan
ketatanegaraan. Kedua sikap itu akan menghasilkan keputusan yang berbeda.
e). Inakurasi, yang ini tambahan dari Ustadz Jalaluddin
Rakhmat. Menurutnya, seorang mujtahid bisa merujuk pada nash yang tidak valid
atau tidak relevan. Misalnya, nash dirujuk, dijadikan premis utama untuk
premis-premis berikutnya. Tidak diteliti dulu apakah nash itu relevan untuk
premis berikutnya.
8. Pada zaman Rasul, kata Ijtihad tidak berarti sebuah proses
pengambilan hukum. Hadis yang menunjukkan pujian Rasul atas ijtihad Muadz bin
Jabal dicela oleh Ibn Hazm sebagai tidak shahih. Begitu pula sepeninggal nabi
tercatat 32 kesalahan ijtihad yang dilakukan Abu Bakar; 109 Umar dan 29 Utsman.
9. Sepeninggal Imam Mahdi as, komunitas Syiah terbagi ke
dalam dua kelompok besar: akhbari dan ushuli. Faham ushuli kini mendominasi
pemikiran dunia Syiah, terhitung sejak awal abad 19.
10. Zaman modern membutuhkan pengetahuan marja atas hal-hal
yang berkembang dengan pesat.
Dari Literatur Syiah ke Marjaiyyah (4)
2 02 2011
Ustadz
MIFTAH F. RAKHMAT
Masih
Pentingkah Ijtihad?
TENTU. Yang baru dibahas hanyalah kemusykilan sebuah proses
ijtihad dan panjangnya hierarki untuk menjadi mujtahid. Karena berbagai
kemusykilan itulah mungkin, sebagian ulama menutup pintu ijtihad. Apalagi
setelah ada kecenderungan dalam sejarah bahwa ulama tertentu bisa dipesan untuk
mengeluarkan fatwa.
Tetapi, biar bagaimana pun kebutuhan umat untuk memperoleh
jawaban dari Islam terus berkembang. Umat sekarang dihadapkan pada banyak
tantangan: pengaruh Barat, tradisi kuno, permasalahan-permasalahan kontemporer
seperti perkembangan ilmu teknologi, kesehatan, sains, dan sebagainya.
Menghadapi kekhawatiran itu, sebagian ulama kontemporer berkumpul dan
merumuskan pentingnya ijtihad. Di antara alasan pentingnya ijtihad: jauhnya
dengan zaman tasyri, syariat disampaikan secara komprehensif, nash hanya
memberikan kaidah umum, dan Islam sebagai risalah universal.
Solusi
Belakangan di dunia Syiah timbul pemikiran untuk membuat suatu institusi marjaiyyah internasional. Karena pola marjaiyyah sekarang sangat bergantung pada kondisi demografis dan banyak hal lainnya, maka diusulkan untuk dibentuk muassasah marjaiyyah, sebuah dewan yang terdiri dari kumpulan ulama besar (marja) seluruh dunia, mewakili seluruh pengikut mazhab Syiah. Dewan ini kelak dipimpin oleh seorang juru bicara (semisal Paus di Vatikan). Dalam dewan ini dibagi tugas secara khusus kepada setiap marja. Misalnya, ada yang menangani masalah ekonomi, ada yang khusus politik, dan ada yang khusus perkembangan teknologi, kedokteran dan berbagai bidang lain yang berkenaan dengan kehidupan umat sehari-hari.
Belakangan di dunia Syiah timbul pemikiran untuk membuat suatu institusi marjaiyyah internasional. Karena pola marjaiyyah sekarang sangat bergantung pada kondisi demografis dan banyak hal lainnya, maka diusulkan untuk dibentuk muassasah marjaiyyah, sebuah dewan yang terdiri dari kumpulan ulama besar (marja) seluruh dunia, mewakili seluruh pengikut mazhab Syiah. Dewan ini kelak dipimpin oleh seorang juru bicara (semisal Paus di Vatikan). Dalam dewan ini dibagi tugas secara khusus kepada setiap marja. Misalnya, ada yang menangani masalah ekonomi, ada yang khusus politik, dan ada yang khusus perkembangan teknologi, kedokteran dan berbagai bidang lain yang berkenaan dengan kehidupan umat sehari-hari.
Tetapi, ketika ide ini pertama kali dicetuskan Sayyid
Muhammad Husain Fadhlullah, beliau ditentang dengan keras, bahkan sempat
dikafirkan. Karenanya, wacana marjaiyyah dan dekonstruksinya, mungkin masih
hanya sebatas perubahan paradigma pemikiran saja. Terima kasih.
Miftah
F. Rakhmat
[Sebuah elaborasi lanjutan dari pengantar pada diskusi di Redaksi Mizan, 21 Juni 2000. Disampaikan lagi di IJABI, 21 November 2001. Tulisan ini belum pernah dipublikasikan karena keterbatasan (dan kekhawatiran) saya dalam bidang ini. Tapi saya beranikan diri dengan harapan akan menerima lebih banyak lagi ilmu dan pencerahan, dari mereka yang lebih mumpuni dalam bidang ini. Semoga Allah Taâla memanjangkan usia mereka dan memberikan kepada kami limpahan ilmu mereka. Semoga Allah Taala mengampuni kekeliruan saya dan memaafkan keterbatasan saya dalam berusaha memahami ajaran agama-Nya. Wallahu muwaffiq ila aqwami thariq]
No comments:
Post a Comment