Tuesday, October 18, 2011

Imam Ali b. Musa Ar-Ridha as (w.203h)


Imam Ali b. Musa Ar-Ridha as (w.203h)
(Ali bin Musa bin Jaafar bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib)


Gambar Makam Imam di Masyhad, Iran

Nama : Ali
Gelar : Ar-Ridha
Julukan : Abu al-Hasan
Ayah : Musa al-Kadzim
Ibu : Taktam yang dijuluki Ummu al-Banin
Tempat/Tgl Lahir : Madinah, Kamis, 11 Dzulqo'dah 148 H
Hari/Tgl Wafat : Selasa, 17 Shafar 203 H.
Umur : 55 Tahun

Sebab Kematian : Diracun oleh Khalifah Makmum al-Abbasi (Khalifah Kerajaan Bani Abbasiyah selepas kejatuhan Kerajaan Bani Umayyah)

Makam : Masyhad, Iran
Jumlah Anak : 6 orang; 5 Laki-laki dan 1 Perempuan
Anak laki-laki : Muhmmad Al-Qani', Hasan, Ja'far, Ibrahim, Husein
Anak perempuan : Aisyah

Riwayat Hidup
Setelah Imam Musa al-Kazhim as syahid (Ahl-Bait Nabi ke-7), Imam Ridha dalam usia 35 tahun harus memegang tali kendali imamah, menjaga norma-norma Islam dan membimbing para pengikutnya. Masa keimamahan/kepemimpinan Imam Ridha as adalah dua puluh tahun.  
 Kita dapat membagi masa tersebut dalam tiga fase:
a. 10 pertama masa imamahnya yang bertepatan dengan masa pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyid.
b. 5 tahun setelah masa tersebut yang bertepatan dengan masa pemerintahan Khalifah Amin, putra Harun.
c.  5 tahun kedua yang bertepatan dengan masa pemerintahan Khalifah Ma`mun Al-Abbasi, saudara Amin.

"Imam adalah orang yang menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dan mengharamkan apa yang diharamkan-Nya".
"Imam adalah seorang yang berilmu bukan seorang yang bodoh, yang akan membimbing umat bukan membuat makar (tipudaya)".
"Imam itu tinggi ilmunya, sempurna sifat lemah lembutnya, tegas dalam perintah, tahu tentang politik, punya hak untuk menjadi pemimpin".
"Sesungguhnya Imam itu kendali/pengawal agama dan sistem bagi kaum muslimin serta pondasi/asas Islam yang kokoh. Dengannya, salat, zakat, puasa dan haji serta jihad menjadi lengkap".
"Imam bertanggung jawab memelihara Islam, serta mempertahankan syariat, aqidah dari penyimpangan dan penyesalan".
"Imam bertanggungg jawab mendidik. umat, karenanya harus bersifat memiliki ilmu, pakar tentang situasi dan kondisi sosial, politik dan kepemimpinan".

 Tulisan di atas merupakan sedikit penjelasan tentang makna keimaman yang dikemukakan Ali bin Musa Ar-Ridha a.s.

Beliau adalah pewaris keimamahan setelah ayahnya, Musa al-Kazim a.s. yang wafat diracun oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid. lbunya, Taktam yang dijuluki Ummu al-Banin dia adalah seorang yang shalehah, ahli ibadah, utama dalam akal dan agamanya dan setelah melahirkan Ali ar-Ridha a.s, Imam Musa memberinya nama at-thahirah.

Imam Ali ar-Ridha a.s hidup dalam bimbingan, pengajaran dan didikan ayahnya selama tiga puluh lima tahun. Sejarah menjadi saksi nyata bahwa para Imam Ahlul Bait ini sangat utama dalam kedudukannya yang sekaligus merupakan rujukan bagi kaum muslimin dalam setiap permasalahan. Begitu juga Imam Ali ar-Ridha yang tumbuh dalam didikan ayahnya pantas menjadi seorang Imam serta mursyid (guru penunjuk) yang akan memelihara madrasah Ahlu Bait Nabi dan menduduki posisi kepemimpinan di mata kaum muslimin.

    Begitulah, setiap Imam akan dibimbing oleh Imam sebelumnya dan setiap Imam akan memperkenalkan dan menunjukkan identitas Imam yang akan menggantikannya, agar kaum muslimin tidak kebingungan tentang siapa penerus misinya guna merujuk kepadanya dalam mencari pengetahuan tentang syariat Islam, menimba ilmu dan ma'rifat serta mengikuti kepemimpinan dan pentunjuknya.

    Di zaman Ali ar-Ridha a.s. bidang ilmu, kegiatan penelitian, penulisan buku dan pendukumentasian telah berkembang pesat. Di masa ini juga hidup As-Syafi'i, Malik bin Anas, As-Tsauri, As-Syaibani, Abdullah bin Mubarok dan berbagai tokoh-tokoh ilmu pengelahuan syariat dan logika serta kemasyarakatan. Mengenai situasi sosial saat itu, siapapun yang mengkaji akan mengetahui bahwa kehidupan islam yang dipimpin Bani Abbasiyyah iaitu Khalifah  al-Mahdi, al-Hadi, ar-Rasyid, al-Amin dan al-Makmun adalah kehidupan yang sarat dengan kefoya-foyaan, penuh dengan budak-budak perempuan, para penyanyi, penari dan gelas-gelas khamar (Arak). Ribuan juta dinar dan dirham dihambur-hamburkan sementara rakyat hidup dalam penekanan, pajak yang tinggi serta kelaparan dan berbagai teror yang ditujukan kepada mereka.

Di saat seperti inilah Imam Ahlul Bait menunjukkan sikap ramahnya kepada kaum tertindas yang hidup dalam serba ketakutan serta menyerukan perbaikan dan perubahan yang sejalan dengan prinsip-prinsip Islam. Karenanya, mereka mengalami penyiksaan, pengejaran, pemenjaraan pembunuhan dll dalam memelihara agama yang dibawa oleh datuknya- Muhammad Saw. Sedang situasi politik saat itu, setelah Khalifah Harun Ar-Rasyid meracuni ayahnya dia masih hidup beberapa tahun bersama Iman Ali Ar-Ridha. Perlakuan Harun Ar-Rasyid kepada Imam Ali ar-Ridha tidak seperti perlakuan terhadap ayahnya- Imam Musa.

 Sebelum Khalifah Harun ar-Rasyid meninggal, dia membagi negeri kekuasaannya di antara ketiga orang anaknya; al-Amin, al-Makmun, al-Qosim. Situasi politik dan perekonomian mengalami kemerosotan yang tajam. Sementara itu, Imam Ali Ridha mempunyai pengaruh yang besar terhadap para pengikutnya. Untuk mengantisipasi keadaan itu dan sekaligus memadamkan adanya beberapa pemberontakan dari kaum Alawiyin, al-Makmun kemudian mengumumkan rencananya untuk mengangkat Imam Ali Ridha sebagai putra mahkota sepeninggalnya.

Walaupun rencana itu mendapat tantangan yang keras dari pihak keluarganya, namun dia tetap bersikeras untuk mempertahankan rencananya. Kemudian dia mengirim utusan kepada Imam Ridha dan memintanya agar datang ke Khurasan untuk bermusyawarah berkenaan dengan pengangkatan beliau sebagai putra mahkota. Dengan terpaksa Imam Ali Ridha a.s. memenuhi panggilan itu. Setelah sampai di tempat al-Makmun, rombongan kemudian ditempatkan di sebuah rumah, sedang Imam Ridha a.s., di tempatkannya di sebuah rumah tersendiri.

Akhirnya, al-Makmun menuliskan nash baiat untuk Imam Ridha a.s. dengan tangannya sendiri, dan Imam pun menanda tangani nash baiat, yang menyatakan bahwa beliau menerima pengangkatan dirinya sebagai putra mahkota.

 Namun, sejarah berbicara lain, al-Makmun bukan orang yang tidak suka kepada kedudukan. Dia telah membunuh saudaranya al-Amin dan juga membunuh orang-orang yang telah mengabdi kepada saudaranya dan juga ayahnya, seperti Thahir bin Husain, al-Fadhl bin Sahl dan lain-lain yang telah berjasa dalam mengukuhkan pemerintahannya, maka bukan juga hal yang mustahil jika dia akhirnya menyusun siasat untuk membunuh Imam al-Ridha dengan cara meracuninya.

 Imam Ridha a.s. syahid pada hari terakhir bulan Safar tahun 203 Hijriah di kota Thus (Masyhad-Iran) dan dimakamkan disana juga, di rumah Humaid bin Qahthabah di sisi kuburan Harun ar-Rasyid pada arah kiblat. Sekarang, makam beliau merupakan makam yang sangat menonjol, yang dikunjungi oleh jutaan peziarah yang berdesak-desakan di sekelilingnya. Kota di mana beliau di makamkan telah menjadi kota yang besar di Republik Islam Iran. Letaknya berbatasan dengan Rusia. Ia merupakan kota yang indah dan damai. Di dalam nya terdapat perkumpulan-perkumpulan ilmiah dan sekolah agama.

***************************************************************
Raja’ bin Abi adh-Dahhak—yang ditugasi oleh Khalifah Makmun untuk mengawal Imam ar-Ridha a s dalam perjalanan dari Madinah hingga Khurasan, ibu kota pemerintahan Makmun—menceritakan keagungan Imam Ridha as: “Demi Allah, saya tidak pernah melihat seseorang yang lebih takwa kepada Allah, lebih banyak berzikir dalam setiap waktunya dan lebih takut kepada Allah Azza wa Jalla darinya. Beliau tidak singgah di sebuah kota kecuali dituju oleh manusia menanyakan tentang ajaran agama mereka maka beliau menjawab pertanyaan mereka dan menyampaikan banyak hadis dari ayah-ayah beliau dari Ali dari Rasulullah saww. Dan ketika saya sampai dan menjumpai al-Makmun, beliau bertanya kepadaku tentang keadaannya (ar-Ridha), saya beritahukan kepadanya apa yang saya saksikan di malam dan siangnya.... Maka al-Makmun berkata: ‘Benar wahai Ibnu Abi adh-Dhahhak, ia adalah sebaik-baik penduduk bumi, paling pandai, dan paling tekun beribadah.’”

Hadis Silsilah adz-Dzahab (Silsilah "Emas"- Merujuk kepada kepiawaian periwayatnya)

Sejarah mencatat betapa dikenalnya Imam Ali ar-Ridha a s dan dialu-alukan oleh umat kakek beliau saww, hal itu terlihat dalam perjalanan beliau menuju kota Khurasan, ketika beliau melewati kota Naisyabur—kota ilmu dewasa itu. Di sebutkan dalam Tarikh Naisyabur, sebagaimana dikutip Ibnu Shabbagh al-Maliki dalam alFushul al-Muhimmah; Sesungguhnya Imam ketika memasuki kota Naisyabur dalam perjalan beliau ke Maru (Khurasan), beliau berada di sebuah qubah tertutup menunggang kuda hitam, maka dua imam dan hafidz hadis-hadis Nabi saww yang tekun memburu hadis iaitu; Abu Zar’ah ar-Razi dan Muhammad bin Aslam ath-Thusi bersama banyak pelajar dan ulama hadis, mereka berdua berkata: “Wahai tuan yang mulia dan putra para imam, demi hak ayah-ayah Anda yang suci dan sesepuh/keturunan Anda yang mulia, kami memohon agar Anda berkenan menampakkan wajah mulia nan penuh berkah Anda dan riwayatkan untuk kami hadis dan ayah-ayah Anda dari Rasulullah saww yang kami dapat selalu mengingat Anda dengannya.”

Maka beliau memberhentikan kendaraan beliau dan memerintahkan para pembantu agar membuka tirai dan qubah itu dan beliau menggembirakan mereka dengan memperlihatkan wajah beliau yang penuh berkah dan mereka semuanya berdiri sesuai dengan kedudukan masing-masing memandang beliau, di antara mereka ada yang menjerit, menangis, dan ada yang bergulung-gulung di tanah, ada yang menciumi kaki kuda beliau, suarapun menjadi ramai maka para ulama dan fuqaha meminta mereka tenang;

“Wahai manusia dengarkan dan perhatikan sesuatu yang bermanfaat bagi kalian, dan jangan ganggu kami dengan suara tangis dan jeritan histeris kalian,” lalu Imam Ali ar-Ridha menyampaikan hadis, beliau berkata; “Ayahku Musa al-Kadzim mengabarkan kepadaku dan ayah beliau Ja’far ash-Shadiq dan ayah beliau Muhammad al-Baqir dari ayah beliau Ali Zainal Abidin dan ayah beliau Husain as-Syahid di tanah Karbala dan ayah beliau Ali bin Abi Thalib, sesungguhnya beliau berkata; ‘kekasih dan kecintaanku Rasulullah saww mengabarkan kepadaku, beliau bersabda; mengabarkan kepadaku, ia berkata; ‘Aku mendengar Tuhan pemilik kemuliaan Allah SWT berfirman:
"Kalimat "lailaha illallah" (tiada Tuhan selain Allah) adalah benteng-Ku maka barang siapa mengucapkannya ia masuk ke bentengKu dan barang siapa masuk ke benteng-Ku ia aman dari siksa-Ku."

Kemudian beliau menutup kembali tirai tersebut dan melanjutkan perjalanan....maka para ulama dan ahli tulis menghitung mereka yang mencatat, jumlah mereka dua puluh ribu orang.’”
Imam Ahmad bin Hambal berkata: Andai nama-nama suci dalam sanad hadis itu dibacakan atas orang gila pasti ia akan sembuh.
Abu Nu'aim berkata setelah meriwayatkan hadis di atas: Ini adalah hadis yang masyhur dengan sanad (jalur) tersebut dari riwayat orang-orang suci dari ayah-ayah mereka yang suci, dan sebagian salaf kami (Ahmad —maksudnya) mengatakan ketika ia meriwayatkan dengan sanad itu: Ini adalah sanad jika dibacakan atas seseorang yang gila pasti ia akan sembuh.

No comments:

Post a Comment