Tuesday, October 18, 2011

Pengertian Mujtahid, Muqallid dan Muhtât


By Ahl-Bait Team

Mukaddimah
Agama Islam – sebagaimana maklum – meliputi masalah-masalah aqidah, fiqih dan akhlak.  Di dalam masalah akidah (ushuluddin), khususnya menurut ajaran madzhab Ahlul Bait as tidak dibenarkan bertaqlid buta dan mengikuti akidah orang lain tanpa memahami dalil-dalil dan argumen-argumennya.  Misalnya dalam masalah menetapkan dan meyakini adanya Tuhan Sang Pencipta alam semesta ini, adanya hari pembalasan, mengenai keesan Tuhan dan lain-lain, dalam hal ini kita tidak boleh ikut-ikutan dan bertaqlid buta kepada orang lain, sekali pun kepada guru atau orang tua kita sendiri, artinya kita harus mencari atau memahami dengan baik dan benar akan dalil-dalil dan argumen-argumen yang berhubungan dengan masalah tersebut. Sehingga ketika kita ditanya orang; Apakah Tuhan itu ada?  Kalau Tuhan itu ada, apakah Dia itu esa, satu ataukah ada tiga?  Apakah hari kiamat itu pasti terjadi? Dan pertanyaan-pertanyaan akidah lainnya, kita dapat menjawabnya sekali pun dengan argumen-argumen yang sangat sederhana sekali; seperti bahwa Tuhan Pencipta itu ada, dalilnya adalah adanya kita dan alam semesta ini.

Berbeda halnya dengan masalah fiqih atau furu’uddin (cabang-cabang agama). Sehubungan dengan masalah ini, khususnya dalam hal-hal yang sifatnya bukan “darûriyyatuddin” seperti kewajiban shalat dll,  kaum muslimin secara umum dan apa pun madzhab dan alirannya dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok ‘Ulama Mujtahid, kelompok muqallid dan kelompok muhtath.

Sebelum kami menjelaskan masing-masing definisi Mujtahid, Muqallid dan Muht, dan demi memperjelas pengertian “darûriyyatuddin“, baiklah akan  kami  jelaskan pembagian “Ahkam Syari’ah“ (Hukum-hukum Islam).

Hukum-hukum syari’at (ajaran Islam) ditinjau dari sudut pandang upaya mengenal dan mengetahuinya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
  1. Ahkam Daruriah, yaitu hukum-hukum darûriyah yang biasa juga disebut darûriyyatuddîn artinya adalah hukum-hukum yang sudah jelas, gamblang dan ma’ruf serta telah menjadi keyakinan seluruh kaum musliminin. Karena untuk mengetahuinya tidak perlu menguras tenaga dan kemampuan untuk mengkaji, meneliti dan menggunakan kaidah-kaidah ushul, dengan kata lain untuk mengetahui hukum-hukum darûriah itu tidak memerlukan ijtihad, contohnya seperti wajibnya salat, zakat, haji dan lain-lain atau seperti haramnya berzina, membunuh dan lain-lain yang mana seluruh kaum musliminin telah meyakini  dan mengetahui dengan jelas tanpa berijtihad atau belajar lama di Hawzah (pesantren)
  2. Hukum-hukum syari’at yang bukan  dharuri, artinya hukum-hukum yang tidak gamblang (jelas) bagi setiap muslim yang biasa juga disebut “Ahkam Ghairu Daruriyyah“  yaitu selain hukum-hukum daruriyyah. Ahkam ghairu darûriyah ini menuntut segenap kemampuan dan kerja keras untuk dapat mengetahuinya, yaitu dengan cara menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqih dan ilmu-ilmu alat lainnya (seperti, tata bahasa arab, ilmu hadits, tafsir, dll) agar dapat menentukan hukum-hukum tersebut, seperti perincian hukum-hukum ibadat dan muamalat pada umumnya. Sudah tentu tidak setiap muslim mampu melakukan pekerjaan berat semacam ini, bahkan tidak juga setiap ‘Ulama mampu melakukannya.
Pekerjaan seperti ini dinamakan ijtihad yang hanya dapat dilakukan oleh para Mujtahid. Untuk dapat mencapai tingkat ijtihad ini diperlukan keseriusan dalam belajar di tingkat Bahtsul Kharij, yaitu peringkat tinggi dalam pelajaran fiqih dan ushul. Tingkat Bahtsul Kharij ini dapat dimasuki oleh seorang santri/thalabeh setelah melewati peringkat suthuh. Setidaknya Menurut hemat kami,  mereka yang duduk dalam tingkat Bahtsul Kharij ini menghabiskan waktu kurang lebih selama lima belas tahun untuk dapat melakukan ijtihad. Sedang peringkat suthuh itu dapat ditempuh secara normal selama delapan tahun, setelah itu barulah ia dapat memasuki pelajaran fiqih dan ushul pada tingkat Bahtsul Kharij.
Seorang Mujtahid Mutlak untuk dapat mencapai tingkat marja’iah (menjadi marja’ dan nara sumber hukum bagi masyarakat umum) biasanya ada syarat-syarat khusus yang ia harus ia tempuh, seperti adanya kesaksian dari beberapa orang ulama dan telah menulis Risâlah ‘Amaliah. Seorang ‘Ulama Syi’ah Imamiyah  yang merupakan seorang mujtahid dan telah mencapai tingkat marja’ berkata: “Mengingat ijtihad itu memerlukan ilmu yang “canggih”, keseriusan dan kerja keras yang istiqomah, oleh karena itu sedikit sekali orang-orang yang mampu mencapai peringkat mulia dan terpuji ini.  Keadaan seperti inilah  yang menyebabkan mayoritas kaum muslimin harus merujuk kepada seorang mujtahid sebagai nara sumber dalam masalah-masalah fiqih. Dan inilah yang  disebut dengan “taqlid”.

Definisi MujtahidMuqallid dan  Muht
Mujtahid  ialah : Orang yang  -dengan ilmunya yang tinggi dan lengkap-  telah mampu menggali dan menyimpulkan hukum-hukum Islam dari sumber-sumbernya yang asli seperti Al-Qur’an dan Hadits. Mujtahid inilah yang menjadi rujukan (marja’) bagi orang-orang awam dan kelompok muqallid.

Muqallid  ialah : orang-orang awam yang belum atau tidak sampai kepada derajat ijtihad. Mereka ini diwajibkan ber-taqlid kepada seorang Mujtahid atau Marja’ yang telah memenuhi syarat.  Pendeknya bahwa muqallid adalah orang yang ber-taqlid atau mengikuti seorang Mujtahid.  Sedang arti taqlid itu sendiri adalah beramal ibadah, ber-mu’amalah, bermasyarakat dan bertingkah laku sesuai dengan fatwa-fatwa seorang Mujtahid atau marja’.

Muht ialah : Orang yang juga belum mencapai peringkat ijtihad, tetapi lebih tinggi derajatnya dari mukallid karena ia telah mampu mengkaji dan membandingkan antara fatwa-fawa seorang Marja’ dengan fawa-fatwa Marja’ lainnya, sehingga ia dapat memilih fatwa yang lebih hati-hati dan lebih berat untuk diamalkan.  Singkatnya definisi muhtadalah orang yang berhati-hati dalam segala amal ibadah dan perbuatannya. Kelompok muht jumlahnya sangat sedikit sekali, karena ber-ihtiyât adalah termasuk pekerjaan yang berat.  Oleh karena itu, kelompok ini pun dibolehkan ber-taqlid kepada seorang marja’.

Kewajiban Bertaqlid Bagi Setiap Muslim
Apabila Anda ditanya orang: Mengapa dalam agama Islam dan khususnya dalam madzhab Syi’ah Imamiah (Ahlul Bait As) setiap muslim dilarang bertaqlid -dalam masalah ushuluddin- kepada orang lain sekali pun kepada ‘Ulama dan para mujtahid, tetapi dalam masalah-masalah fiqih yang bukan “daruriyyatuddin” -setiap muslim yang awam- diwajibkan bertaqlid kepada salah seorang mujtahid atau marja’?
Jawabnya adalah : Karena setiap muslim yang berakal sehat pasti mampu untuk mencari atau memahami argumen-argumen ushuluddin/aqidah dengan menggunakan akal pikirannya, sehingga dalam masalah-masalah aqidah tidak perlu dan tidak dibolehkan bertaqlid kepada orang lain, tetapi dalam masalah-masalah fiqih /furu’uddin tidaklah demikian, artinya tidak semua orang -bahkan sedikit sekali- yang mampu menggali hukum dari sumbernya yang asli yaitu Al-Qur’an dan hadits. Hanya para Mujtahidlah yang mampu melakukan pekerjaan (ijtihad) ini.  Oleh karena itu, dalam masalah fiqih orang awam (yang belum mencapai peringkat ijtihad) diwajibkan bertaqlid kepada seorang marja’.
Dalam masalah pengetahuan umum saja, kalau kita perhatikan kehidupan dan kemajuan zaman sekarang ini, diperlukan adanya spesialisasi-spesialisasi dalam bidang-bidang tertentu. Misalnya kedokteran, filsafat, ekonomi, politik, tehnik dan lain-lain.  Bahkan ilmu kedokteran saja bercabang-cabang lagi, nah apalagi dalam masalah agama dan hukum-hukum dalam Islam, sudah tentu sangat diperlukan adanya para mujtahid dan marja’agar orang-orang awam tidak tersesat dan tidak berani menyimpulkan dan mengeluarkan hukum sendiri.  Sebagaimana dalam masalah penyakit dan pengobatannya orang-orang awam diharuskan merujuk kepada dokter spesialisasi, maka begitu pula dalam masalah-masalah fiqih dan ahkam, yaitu orang-orang awam diharuskan merujuk kepada para mujtahid dan marja’ yang telah memenuhi syarat.  Tentu saja taqlid semacam ini jauh berbeda dengan taqlid kepada orang-orang asing dalam masalah budaya dan adat istiadat, karena bertaqlid kepada mereka dalam masalah ini akan menyebabkan hancurnya akidah, iman dan akhlak Islami seorang muslim.  Seorang muslim haruslah senantiasa menjaga akhlak, iman dan adat istiadat atau budayanya yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.

Dalil-Dalil Keharusan Bertaqlid
Paling tidak ada 5 argumen yang bisa dijadikan sebagai dasar kebolehan dan keharusan bertaqlid bagi orang-orang awam – dalam masalah-masalah fiqih – kepada  seorang mujtahid atau marja’.  5 buah argumen itu ialah :
1.      Sirah al-’uqala (Tingkah laku orang-orang yang berakal)
Argumen terpenting sehubungan dengan masalah ini adalah argumen prilaku ‘uqala sepanjang sejarah kehidupan.  Dalam kehidupan sehari-hari kita saksikan bahwa mayoritas masyarakat umum senantiasa mengikuti, bertaqlid dan merujuk kepada para ahli di bidangnya masing-masing. Misalnya mereka yang bukan ahli dalam bidang elektronik ketika TV mereka rusak, mereka akan merujuk tempat-tempat servis TV dimana tenaga ahli terdapat disitu dan bahkan mereka siap mengikuti dan mengamalkan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh para ahli tersebut.
Janganlah coba-coba apabila Anda bukan ahli dibidangnya untuk memperbaiki TV, membongkar mesin mobil atau pun menservis komputer, karena pasti  Anda tidak akan berhasil dan mayarakat umum pun akan mencaci maki Anda. Tetapi, rujuklah para ahli di bidangnya masing-masing.  Kalau dalam urusan materi dan dunia saja harus demikian, apalagi dalam hal-hal yang berhubungan erat dengan kehidupan alam akhirat yang kekal dan abadi. Logiskah apabila Anda menanyakan apa hukumnya bekerja di bank, bagaimana cara melakukan ibadah haji dan lain-lain kepada penjual sayuran di pasar atau kepada ahli bangunan?
2.   Al-Qur’an,
Artinya: “Hendaklah ada sekelompok dari  orang-orang yang beriman yang mendalami masalah-masalah agama untuk memberikan peringatan kepada kaumnya”.(Qs. at-Taubah: 122)

Penjelasan :
Ayat tersebut menunjukkan wajibnya melakukan “indzar” (memberikan dan menyampaikan peringatan kepada umat manusia akan adanya siksa Allah Swt ketika mereka tidak mentaati dan melanggar hukum-hukum-Nya). Sudah barang tentu tidak semua orang mampu menentukan, menetapkan dan menjelaskan hukum-hukum Allah Swt tersebut selain para ‘ulama dan mujtahid yang telah mengkaji masalah-masalah agama puluhan tahun. Dengan demikian, ayat tersebut tidak secara langsung mewajibkan orang-orang muslim yang awam  untuk bertaqlid kepada para ‘ulama, maraji’ dan mujtahidin yang telah memenuhi syarat. Sehubungan dengan ayat tersebut sebagian ‘Ulama Ahli Sunnah berkata: “Maka dengan demikian Allah Swt telah mewajibkan kaum muslimin untuk menerima “indzar” dan peringatan yang disampaikan oleh para ‘Ulama, dan hal itu berarti  “taqlid” kepada mereka”.

3.     Al-Qur’an.
Artinya: “Maka hendaklah kalian bertanya kepada “Ahli Dzikir” (para ‘Ulama) jika memang kalian tidak tahu”. (Qs.an-Nahl : 43)

Penjelasan:
Sangat jelas, bahwa ayat tersebut menunjukkan kewajiban bertaqlid bagi orang-orang awam yang belum mencapai peringkat mujtahid. Nampaknya ayat ini lebih jelas tekanannya dibandingkan dengan ayat sebelumnya, karena ayat ini menjelaskan tugas si mukallid, hanya saja yang menjadi masalah adalah siapakah ahli dzikir yang dimaksud oleh ayat tersebut?
Sehubungan dengan pengertian  ahli dzikir, ada beberapa jawaban dan pandangan yang perlu diperhatikan baik-baik iaitu:
1.     Ahli ilmu dan ahli Al-Qur’anul al- Karim.
2.     Ibnu Qayyim al-Jauzi berpendapat: “ bahwa yang dimaksud dengan ahli dzikir ialah ahli tafsir dan ahli hadits” .
3.     Ibn Hazm berkata: “ahli dzikir adalah para perawi hadits Nabi dan para ‘ulama tentang hukum-hukum al-Qur’an” .
Dari beberapa jawaban dan pandangan tersebut dapat kita simpulkan bahwa seluruh umat Islam yang awam yaitu yang belum mencapai derajat ijtihad, diwajibkan untuk bertanya, mengikuti dan bertaqlid kepada Ahli Dzikir, yaitu para ‘Ulama yang betul-betul telah mendalam pengetahuannya tentang al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi. Hal ini sesuai dengan penafsiran secara umum dan sesuai pula dengan kondisi sekarang ini, dimana kita hidup pada masa “ghaibah kubra“nya Imam Zaman As.  Sedang  “ahli dzikir” menurut pandangan yang lebih dalam, lebih luas dan khusus yang ditopang oleh ayat-ayat lainnya dan berbagai riwayat adalah: Para Imam Ma’shum yang jumlahnya ada 12 orang.  Maaf, kami tidak dapat menyinggung masalah yang luas ini dalam risalah yang sederhana ini.
4.     Al-Qur’an
Artinya: “Katakanlah pada mereka: ‘Taatilah Allah, Rasul-Nya dan Ulil Amri  dari kalian’“. (Qs.an-Nisa ayat : 59)

Penjelasan:
Sebagian ‘Ulama Ahli Sunnah menjadikan ayat ini sebagai dalil atas wajibnya bertaqlid, mereka mengatakan : “Sesungguhnya Allah Swt -dalam ayat ini- telah memerintahkan hamba-Nya agar mentaati-Nya, mentaati Rasul-Nya dan ‘Ulil Amri’ yaitu para ‘Ulama atau para ‘Ulama dan Umara. Dan taat kepada mereka berarti mentaqlidi mereka atas segala apa yang mereka fatwakan, karena sesungguhnya jika tidak ada taqlid, tidak akan ada ketaatan yang khusus kepada mereka”.
Para ‘Ulama Syi’ah Imamiah – berdasarkan riwayat-riwayat yang juga bersumber dari kitab-kitab Ahli Sunnah – mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “Ulil Amri” dalam ayat tersebut adalah : “Para Imam Dua Belas” setelah wafatnya Rasulullâh saw dari mulai Imâm ‘Alî bin Abî Tâlib As sampai kepada Imâm Zaman al-Mahdi As.  Dengan demikian ayat tersebut berarti : “Hendaknya kalian senantiasa mentaati Allah Swt, Rasul-Nya dan para Imam Ma’sum yang 12 orang”.   Sedang pada masa ghaibah kubra Imam yang ke-12 sekarang ini, kalian wajib mentaati “Wali Faqih“  yaitu Imam Ali Khamene’i  Hf dan marja’ kalian masing-masing yang telah memenuhi syarat.

5.     Riwayat Imam Hasan al-Askari As
Artinya:  “Adapun terhadap seorang FAQIH yang senantiasa menjaga dirinya dari perbuatan dosa, selalu menjaga agamanya, melawan hawa nafsunya dan selalu mentaati perintah-perintah “Maula“nya, maka DIWAJIBKAN bagi semua orang awam untuk bertaqlid kepadanya”.


Penjelasan
Telah jelas dan masyhur bahwa riwayat  ini menunjukkan dan menjelaskan kewajiban bertaqlid bagi semua orang awam -pada masa sekarang ini-  kepada seorang marja’ dan mujtahid yang sebagian syarat-syaratnya telah disebutkan dalam riwayat tersebut.
Kalau kita perhatikan para pengikut madzhab Ahli Sunnah di seluruh dunia pada masa sekarang ini  - di dalam masalah fiqih – sebagian mereka bertaqlid kepada Imam Syafi’i, sebagian lainnya bertaqlid kepada Imam Maliki, Hanafi dan Hanbali. Terlepas mereka itu paham atau pun tidak akan masalah taqlid, mereka sadari atau pun tidak, yang jelas mereka itu  -dalam masalah furu’uddin- bertaqlid dan mengamalkan fatwa-fatwa salah seorang dari para mujtahid dan marja’ tersebut.
Sedang para pengikut madzhab Syi’ah Imamiah diwajibkan untuk bertaqlid – dalam  masalah furu’uddin yang bukan daruriyyatuddîn dan pada masa ghaib kubra sekarang ini – kepada seorang mujtahid dan marja’ yang telah memenuhi syarat. Dan mayoritas mujtahidin itu kini berada di Negara Republik Islam Iran, khususnya di kota Qum al-Muqaddasah.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid dan marja’ yang bisa ditaqlidi, sebagaimana telah dijelaskan oleh para ‘Ulama di dalam kitab-kitab fiqih mereka ialah:.
1.     Telah mencapai peringkat mujtahid.
2.     Adil.
3.     Laki-laki.
4.     Beriman ( Syi’i Imami ).
5.     Bukan anak hasil zina.
6.     Wara’.
7.     Lebih alim dari mujtahid lainnya.
8.     Dll.
Apabila terdapat beberapa orang yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut, sebagaimana kenyataan sekarang ini, maka si muqallid -untuk dapat memilih dan mentaqlidi salah seorang dari mereka- haruslah dengan bantuan dan perantara “Ahli Khibrah “.  Ahli Khibrah ialah: Orang-orang yang telah lama (kira-kira lebih dari 20 tahun) mempelajari dan mengkaji ilmu-ilmu agama sehingga mereka telah mampu menilai, menentukan dan membedakan antara Mujtahid dengan yang bukan/belum Mujtahid dan antara yang a’lam dengan yang tidak.
Menurut Imâm Khomeini Ra, Sayyid al-Qâid Hf, dll. Minimalnya harus melalui perantara dua orang Ahli Khibrah untuk dapat memilih, menentukan dan mentaqlidi seorang mujtahid atau marja’.  Dengan demikian si mukallaf atau mukallid yang awam tidak dibenarkan memilih dan menentukan marja’nya dengan penilaiannya sendiri, apalagi jika penilaian dan pemilihannya  atas seorang marja’ itu didasari oleh sifat rakus dan tamaknya terhadap materi dan dunia, seperti -misalnya- jika marja’ yang ia pilih itu lebih dekat dan lebih banyak memberikan bantuan kepadanya daripada marja’  lainnya. Nah, dasar penilaian dan pemilihan seperti ini jelas kebatilannya, karena satu-satunya tolok ukur a’lamiah seorang marja’ adalah:  Lebih pandaiannya dalam beristinbat dan menetapkan suatu hukum dari sumber-sumbernya, dan sama sekali bukan yang lebih pandai dalam masalah-masalah sosial, politik apalagi materinya.

Pembagian Taqlid
Taqlid seseorang kepada orang lain -dalam hal apa pun dan secara rasional-  tidak keluar dari empat macam,yaitu:
  1. Taqlid seorang alim kepada alim lainnya.
  2. Taqlid seorang jahil kepada jahil lainnya.
  3. Taqlid seorang alim kepada orang yang jahil.
  4. Taqlid seorang yang jahil kepada orang alim.
Bagian pertama, yaitu taqlid seorang yang alim kepada orang alim lainnya, menurut penilaian akal sehat adalah suatu perbuatan yang jelek dan tidak terpuji, karena tidak ada alasan bagi orang yang telah mengetahui (alim) tentang suatu masalah bertaqlid kepada orang lain yang juga mengetahui permasalahan yang sama. Oleh karena itu, seorang mujtahid  tidak dibenarkan dan tidak dibolehkan bertaqlid kepada mujtahid lainnya.
Bagian kedua, yaitu taqlid seorang jahil, bodoh dan tidak mempunyai ilmu pengetahuan kepada orang jahil yang sama. Sudah tentu akal sehat menilai perbuatan semacam ini sangat buruk dan tidak logis. Bagaimana mungkin orang yang bodoh bertaqlid kepada orang yang bodoh pula. Hal ini tidak ada bedanya dengan orang buta yang berkata kepada kawannya yang juga buta pula: “peganglah tanganku dan tuntunlah aku menuju ke suatu tempat di sana”.
Bagian ketiga, yaitu taqlid seorang ‘alim kepada orang jahil. Taqlid semacam ini adalah paling buruk dan hinanya perbuatan di mata masyarakat umum dan bahkan menurut penilaian anak kecil sekali pun. Mana mungkin orang yang dapat melihat dengan baik minta bantuan untuk dituntun ke suatu tempat kepada orang yang buta matanya.

Bagian keempat adalah: taqlid seorang jahil kepada orang alim dan pandai (ahli ilmu). Hal ini sangatlah wajar dan logis. Bahkan menurut akal sehat memang begitulah seharusnya, yaitu orang yang awam dan bodoh diharuskan bertaqlid dan mengikuti saran-saran, nasihat-nasihat, fatwa-fatwa dan jejak langkah ahli ilmu. Dalam hal ini, agama pun -terutama madzhab Ahlul Bait As- sangat menekankan dan mewajibkannya. Taqlid semacam ini tidaklah dikategorikan sebagai “taqlid buta” yang memang sangat dicela oleh akal sehat dan Al-Qur’an al-Karim. Contoh taqlid keempat ini tidak ada bedanya dengan seorang awam yang terkena penyakit tertentu berkonsultasi dan berobat kepada seorang dokter spesialisasi di bidangnya.
”Taqlid buta” adalah satu sifat yang sangat buruk, rendah dan tercela, yaitu ketika seseorang mengikuti orang lain tanpa dalil dan argumen yang jelas, kuat dan logis, baik dalam hal ibadat, maupun dalam hal adat istiadat. Baik yang diikuti itu masih hidup, atau pun sudah mati. Baik kepada orang tua dan nenek moyang, maupun kepada bangsa lain. Sifat inilah yang disandang oleh orang-orang kafir dan dungu, dari dahulu kala hingga pada zaman kita sekarang ini, dimana mereka menjalankan ibadah mereka sehari-hari berdasarkan taqlid buta dan mengikuti lampah dan perbuatan nenek-nenek moyang mereka yang tidak mempunyai dalil dan argumen sama sekali. Allah Swt berfirman: “Dan apabila dikatakan kepada mereka (orang-orang kafir dan yang menyekutukan Allah ): “Ikutilah semua ajaran dan petunjuk yang telah Allah turunkan”. Mereka menjawab: “Kami hanya mengikuti segala apa yang telah dilakukan oleh nenek-nenek moyang kami”. Padahal nenek-nenek moyang mereka itu tidak mengerti apa-apa dan tidak juga mendapat hidayah ( dari Allah Swt )” (Qs.Al-Baqarah : 170).
Dengan kata lain, bahwa nenek-nenek moyang mereka itu adalah orang-orang yang bodoh dan tersesat, tetapi walau pun demikian mereka tetap mengikuti dan mentaqlidinya. Mereka menolak bertaqlid kepada orang-orang yang telah mendapat hidayah dari Allah Swt, ma’sum (terjaga) dari segala kesalahan dan dosa dan ahli ilmu pengetahuan, yang sifat-sifatnya telah jelas disebutkan oleh Allah Swt di dalam Al-Qur’an al-Karim, yaitu para Nabi, Rasul, Imam-Imam suci dan para ‘ulama yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah kami singgung di atas.
Para pembaca yang budiman, mengingat risalah ini sengaja dibuat seringkas mungkin, maka kami kira bukan pada tempatnya untuk menjelaskan masalah taqlid yang lebih luas lagi, terutama yang berhubungan dengan masalah “marja’iah” dan “a’lamiah“.
Secara singkat kami katakan, bagi Anda yang baru baligh atau baru masuk/pindah ke madzhab Syi’ah Imamiah  pada masa sekarang ini, dimana tidak ada kata sepakat dari para Ahli Khibrah tentang a’lamiah seorang mujtahid atau marja’,  jika ingin bertaqlid kepada seorang mujtahid atau marja’, maka carilah dua orang Ahli Khibrah yang menyaksikan dan menyatakan a’lamiahnya. Di samping itu pula, tentunya Anda dituntut untuk mengenal dan memperhatikan Ahli Khibrah tersebut, baik dari sisi akhlak, pengetahuan, zuhud, dll. Baik melalui cerita-cerita orang-orang yang mengenalnya, membaca biografi dan karangan-karangannya, atau dengan cara-cara lainnya. Karena Ahli Khibrah itulah yang menyampaikan Anda kepada seorang mujtahid atau Marja’Taqlid.
Sedang Marja’ Taqlid itu menyampaikan dan menyambung tali hubungan Anda dengan Imam Zaman Ajf. Dan Imam Zaman Ajf adalah sebagai tali penghubung dan “Al-Urwah al-Wustqa” kepada Allah Swt bagi setiap mukallid,  bahkan secara umum bagi setiap insan dan jin yang berusaha mencari dan menelusuri jalan menuju al-Haq. Bahkan lebih dari itu, Imam Zaman Ajf yang berperan sebagai “al-Hujjah” di muka bumi fana ini, adalah sebagai tonggak dan poros utama bagi keteraturan alam semesta ini dengan segala aktivitasnya, “Lawlal Hujjah Lasaakhatil ardlu biahlihaa”( tanpa adanya “al-Hujjah”- Imam Zaman Ajf sebagai Imam Maksum yang ke 12-, akan hancur luluhlah  bumi ini dengan segenap penduduk dan isinya). 
Pembahasan tentang Imam Zaman ajf sebagai‘al-Hujjah“, “Wasilah” dan “Al-’Urwah al-Wutsqa” ini, berhubungan erat dengan pembahasan  “hukum kausalitas, sebab akibat dan “Sunnatullah” di dalam pelajaran dan kajian filsafat. Hal ini tidak dapat kami bahas dalam risalah sederahana ini. Namun Anda dapat menanyakannya kepada seorang Ustadz yang telah mempelajari dan mengkaji akidah Syi’ah Imamiyah dengan baik dan mendalam.
Dengan ungkapan lain yang lebih jelas sehubungan dengan peran penting kehadiran seorang marja’ dan Imam Zaman Ajf dalam kehidupan kita sehari-hari, kami katakan bahwa kita tidak akan dapat mencapai makam “mardlatillah” yang murni dan sempurna tanpa mengenal Imam Zaman Ajf dan menapaki jalan-jalan syari’at dan bimbingan beliau.  Sebagaimana pula kita yang awam ini tidak mungkin akan dapat mentaati dan melaksanakan segala perintah, syari’at dan bimbingan beliau tanpa menjalankan berbagai aturan dan tata cara beribadah, bermu’amalah, bermasyarakat dst yang telah dirangkum dalam “Risâlah ‘Amaliah” seorang mujtahid/marja’.
Dengan demikian, betapa urgen dan pentinganya kehadiran sebuah “Risâlah ‘AmaliahMarja’ Taqlid Anda di sisi Anda. Bila hal ini dapat Anda pahami dengan baik dan benar, sehubungan dengan “Hablumminallah” dan “Hablumminannas“, maka tidak ada alasan lagi bagi Anda untuk mengabaikan dan membiarkan “Risâlah ‘Amaliah” jauh keberadaannya dari sisi Anda, dan tidak mungkin pula Anda akan lebih mengutamakan membaca koran-koran, majalah-majalah dan media lainnya hanya sekedar untuk mengorek-ngorek informasi dan berita-berita dunia yang tidak ada hubungannya dengan peningkatan keimanan Anda dan tidak ada kaitannya pula dengan nasib Anda di alam akhirat yang kekal abadi.
Tidaklah mengherankan apabila terdengar  adanya satu dua orang  yang dengan sengaja mengabaikan dan tidak mempedulikan kehadiran sebuah “Risâlah ‘Amaliah” dalam praktek kehidupannya sehari-hari, dan mereka itu lebih mengutamakan sisi afkar (pemikiran)  dan aqidah global  dalam madzhab Syi’ah Imamiah, lantaran mereka belum dapat memahami dengan baik bagaimana menggapai keridlaan Imam Zaman Ajf  sebagai langkah “wasilah” menuju titik sasaran utama dan terakhir “Mardlatillah Swt“.
Harapan dan do’a kami, semoga kini tidak terdengar lagi ungkapan-ungkapan seperti: “Yang penting kan pemikiran, fiqih itu tidak perlu”, atau “Untuk memjadi Syi’ah cukup dengan mempercayai dua belas Imam, dan tidak perlu mempraktikkan fiqih Syi’ah sebelum akidah kita mantap”. Padahal, sekedar mengkaji dan meyakini adanya dua belas Imam tidaklah ada artinya sama sekali, apabila dalam beramal ibadah masih meyakini dan mengikuti aturan-aturan yang datang dari selain mereka.
Demi untuk mempermudah para pecinta dan pengikut setia ajaran Ahlul Bait As di Tanah Air tercinta yang ingin bertaqlid kepada Imam Khamene’i Hf (Ayatullâh al-’Uzma Sayyid Ali al-Khamene’i Hf), maka kini kami tunjukkan dua orang Ahli Khibrah yang telah menyaksikan dan menyatakan a’lamiah beliau. Dua orang Ahli Khibrah itu ialah: 1. Ayatullâh Syaîkh Muhammad Yazdi Hf. 2. Ayatullâh Sayyid Ja’far al-Karimi Hf.   Informasi tentang dua orang Ahli Khibrah ini kami peroleh langsung dari kantor Sayyid al-Qa’id Hf  pada tanggal 21 Rabi’ul Awwal  Th. 1421 H.   Isi surat yang kami ajukan dengan bahasa Arab tersebut kurang lebih demikian isinya:
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Bismihi Ta’ala
Dengan ini kami kabarkan kepada Antum (Petugas istiftaat) yang mulia – sesuai dengan pengetahuan kami yang dangkal – bahwa  mayoritas mutasyayyi’in (pengikut Syiah) di negeri kami  (Indonesia) bertaqlid kepada yang mulia Ayatullâh al-’Uzma Sayyid Ali Khamene’i Hf..  Hal itu demi menghimpun pada pribadi beliau yang mulia antara Marja’iah dan Qiyadah atau Wilayah, dan nyatanya memang maslahat menuntut demikian.  Disamping itu  pula bahwa beliau telah masyhur dengan predikat a’lam dari sisi politik, bahkan lebih dari itu, Imam Khomeini ra yang agung  telah memberikan isyarat  tentang kelayakan beliau dalam hal tersebut.  Dan para mutasyayyi’in tersebut bertaqlid kepada beliau yang mulia tanpa muroja’ah (merujuk) terlebih dahulu kepada Ahli Khibrah . Dan apabila Antum berpendapat bahwa taqlid semacam ini tidak dianggap sah, artinya: mereka itu harus muroja’ah terlebih dahulu kepada Ahli Khibrah untuk mengokohkan a’lamiah beliau, maka hal itu merupakan tugas yang sulit buat mereka dan taklif yang tidak mampu untuk dipikul (Lâ Yukallifullâhu nafsan illâ wus’ahaa ).
Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan  kepada Antum yang terhormat agar kiranya dapat menunjukkan kami atau menyebutkan nama-nama Ahli Khibrah yang mendukung a’lamiah Ayatullâh al-’Uzma Sayyid Ali Khamene’i Hf. Karena terus terang, kami sendiri tidak mampu untuk meneliti dan mohon penjelasan tentang a’lamiah beliau secara langsung dari Ahli Khibrah. Oleh karena itulah kami bertawassul kepada Antum untuk dapat bertaqlid kepada beliau yang mulia.  Semoga Antum mendapatkan ganjaran yang besar dari sisi Allah Swt. Amin……
Qom al-Muqaddasah,
17 Jumaditsatsni 1420 H.


Fatwa Rasmi Ayatullah al-Uzma Sayyid Ali Khamenei (Rahbar)
Berkaitan TAQLID DAN WILAYATUL FAQIH
(Petikan dari Kitab Ajwibatul Istiftaat, mengandungi 1086 soal-jawab)

"Carilah seorang seperti Khamenei yang komitmen terhadap Islam,
pengkhidmat, dan yang hatinya yang berpikir melayani bangsa ini,
tentu kalian tidak akan mendapatkannya.
Aku telah mengenalnya bertahun-tahun"
Imam Khomeini r.a

TAQLID DAN WILAYATUL FAQIH

SOAL 1:
Apakah masalah kewajiban bertaqlid bersifat rasional saja, ataukah juga memiliki dalil syar'i?

JAWAB:
Kewajiban bertaqlid adalah masalah yang berdasarkan dalil syar'i, dan secara rasional, akal juga mengharuskan orang yang tidak tahu akan hukum-hukum agama untuk merujuk kepada seorangmujtahid yang memenuhi syarat.

SOAL 2:
Menurut Anda, manakah yang lebih utama, bertindak berdasarkan ihtiyâth ataukah taqlid?

JAWAB:
Karena bertindak berdasarkan ihtiyâth bergantung pada pengetahuan tentang letak-letak dan cara ber-ihtiyâth, dan hal itu diketahui oleh hanya sedikit orang, di samping karena bertindak berdasarkan ihtiyâth sering kali memerlukan waktu yang lebih banyak, maka yang lebih utama adalah bertaqlid kepada mujtahid yang memenuhi seluruh persyaratan.

SOAL 3:
Apakah batas lingkup ihtiyâth dalam hukum di antara fatwa-fatwa fuqaha’? Dan apakah wajibkah menyertakan fatwa-fatwa para fuqaha (juris) yang telah lalu?

JAWAB:
Yang dimaksud dengan ihtiyâth dalam konteks kewajibannya ialah mempertimbangkan semua kemungkinan yurisprudensial (yang bersifat fiqhiyah) berkenaan dengan konteks itu apabila ada dugaan akan wajibnya mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan tersebut.

SOAL 4:
Beberapa minggu lagi putri saya akan mencapai usia taklif (menjadi mukallaf, aqil balig). Sejak saat itu ia berkewajiban memilih seorang marja’ taqlid . Mengingat memahami masalah ini sulit baginya, maka kami mohon Anda menjelaskan kepada kami tentang apa yang wajib dilakukan?

JAWAB:
Jika ia tidak menyadari sendiri tugas syar’i-nya berkenaan dengan masalah ini, maka taklif (tugas) Anda adalah mengingatkan, membimbing dan mengarahkannya.

SOAL 5:
Yang populer adalah bahwa identifikasi subyek hukum adalah tugas mukallaf, sedangkan identifikasi hukum itu sendiri merupakan tanggungjawab mujtahid. Bagaimana kita bersikap terhadap identifikasi-identifikasi subyek hukum yang dilakukan oleh marja’? Apakah wajib bertindak sesuai identifikasi-identifikasi tersebut, karena kami acap kali menemukan campur tangan marja’ dalam hal itu?

JAWAB:
Identifikasi subyek hukum memang merupakan tugas mukallaf. Karenanya tidak wajib baginya mengikuti identifikasi yang dilakukan oleh mujtahid yang ia ikuti, kecuali jika ia yakin tentang hal itu, atau jika ternyata subyek hukum itu tergolong subyek-subyek mustanbathah (bersifat interpretatif).

SOAL 6:
Apakah orang yang tidak mempelajari hukum-hukum syar'i tergolong pelaku maksiat?

JAWAB:
Apabila keengganannya untuk mempelajari hukum-hukum syar'i mengakibatkan ia meninggalkan sesuatu yang wajib atau melakukan sesuatu yang haram, maka ia adalah pelaku maksiat.

SOAL 7:
Sebagian orang yang tidak memiliki wawasan luas ketika kami tanya: “Kepada siapa Anda bertaqlid?”, menjawab: “Kami tidak tahu ”, atau mengaku bertaqlid kepada marja’ si fulan, namun mereka tidak merasa terikat untuk merujuk ke buku fatwanya dan mengamalkannya. Apakah hukum perbuatan mereka?

JAWAB:
Jika perbuatan-perbuatan mereka sesuai dengan ihtiyâth, atau sesuai dengan hukum yang sebenarnya (wâqi’i), atau sesuai fatwa mujtahid yang wajib diikutinya, maka hukumnya sah.

SOAL 8:
Dalam masalah-masalah yang di mana mujtahid yang lebih pandai (a’lam) menetapkan ihtiyâth wajib kami bisa mengikuti mujtahid a’lam yang lain setelahnya. Yang kami tanyakan ialah, jika mujtahid a’lam kedua tersebut menetapkan ihtiyâth wajib juga dalam masalah tersebut, bolehkah kami mengikuti mujtahid a’lam yang ketiga dalam masalah itu? Dan jika yang ketiga juga demikian, apakah dibenarkan kami merujuk kepada mujtahid a’lam berikutnya dan begitulah seterusnya? Kami mohon penjelasan tentang masalah ini?

JAWAB:
Tidak ada masalah mengikuti mujtahid yang tidak berihtiyâth dalam masalah tertentu, melainkan ia memiliki fatwa secara tegas, selama memperhatikan urutan a’lam.

SYARAT-SYARAT TAQLID

SOAL 9:
Bolehkah bertaqlid kepada seorang mujtahid yang bukan marja’ dan tidak mempunyai risâlah fatwa?

JAWAB:
Jika terbukti bagi seorang mukallaf yang hendak bertaqlid bahwa ia adalah mujtahid yang memenuhi syarat-syarat, maka hal itu diperbolehkan.

SOAL 10:
Bolehkah seorang mukallaf bertaqlid kepada orang yang berijtihad (secara terbatas) dalam satu bab fiqih tertentu seperti puasa dan shalat, maka ia bertaqlid padanya dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan ijtihadnya?

JAWAB:
Fatwa seorang mujtahid parsial (mutajazzi’) mengikat (hujjah) bagi dirinya sendiri. Namun, masalah boleh-tidaknya orang lain bertaqlid kepadanya adalah musykil, meskipun peluang diperbolehkannya hal itu tidak tertutup.

SOAL 11:
Bolehkah bertaqlid kepada ulama-ulama di negara-negara lain meskipun kita tidak mungkin bertemu dengan mereka?

JAWAB:
Bertaqlid dalam masalah-masalah syari’ah kepada seorang mujtahid yang memenuhi seluruh syarat, tidak disyaratkan senegara dan sedaerah dengan mukallaf.

SOAL 12:
Apakah sifat adil (‘adalah) yang merupakan syarat bagi mujtahid dan marja’ sama dengan sifat adil yang ditetapkan sebagai syarat bagi imam jamaah, ataukah berbeda secara kualitatif?

JAWAB:
Mengingat sensitifitas dan urgensi jabatan marja’, maka berdasarkan ihtiyâth wujubi, di samping sifat adil, marja’ taqlid juga disyaratkan mampu menguasai hawa nafsu yang memberontak dan tidak gemar pada dunia.

SOAL 13:
Seperti diebutkan, bahwa dalm hal bertaqlid harus memilih mujtahid yang adil, apa yang dimaksud dengan adil?

JAWAB:
Adil adalah orang yang ketaqwaannya mencapai tingkat dimana ia tidak akan berbuat dosa dengan sengaja.

SOAL 14:
Apakah pengetahuan tentang berbagai situasi zaman dan tempat merupakan salah satu syarat dalam ijtihad?

JAWAB:
Boleh jadi ia berpengaruh untuk sebagian masalah.

SOAL 15:
Berdasarkan pendapat Imam Khomeini ra bahwa marja’ taqlid wajib mengetahui seluruh masalah politik, ekonomi, militer, sosial dan kepemimpinan, di samping pengetahuannya tentang hukum-hukum ibadah dan muamalat, maka setelah sebelumnya kami bertaqlid kepada Imam Khomaini ra, atas bimbingan sebagian ulama yang terhormat dan atas keyakinan kami sendiri, kami menganggap wajib untuk bertaqlid kepada Anda. Dengan demikian, kami telah satukan antara (jabatan) kepemimpinan dan kemarja’an. Bagaimana pendapat Anda?

JAWAB:
Syarat-syarat kelayakan marja’ taqlid -dalam masalah-masalah yang mana selain mujtahid dan muhtâth harus melaksanakannya berdasarkan taqlid kepada pribadi yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan- telah disebutkan secara rinci dalam buku Tahrir al-wasilah dan lainnya.

Adapun masalah pembuktian syarat dan penentuan terhadap orang yang layak ditaqlidi di antara para fuqaha (juris), maka itu tergantung kepada pandangan mukallaf.

SOAL 16:
Apakah dalam bertaqlid kepada marja’ disyaratkan keunggulannya dalam ilmu (‘alamiyah). Dan apakah kriteria-kriteria dan penyebab-penyebab a’lamiyah itu?

JAWAB:
Wajib, berdasarkan ihtiyâth, bertaqlid kepada yang a’lam dalam masalah-masalah yang menjadi tema perbedaan antara fatwa-fatwa yang a’lam dan fatwa-fatwa lainnya.

Tolok ukur a’lamiyah adalah bahwa ia lebih mampu daripada mujtahid lainnya dalam mengetahui hukum Allah dan menyimpulkan tugas-tugas ilahi dari dalil-dalilnya. Dan pengetahuannya tentang situasi zamannya -sesuai proporsi yang berpengaruh dalam pengidentifikasian terhadap subyek-subyek hukum syariah dan dalam mengungkapkan pendapat fiqhiyah yang diperlukan untuk menerangkan tugas-tugas syar’i (taklif syar’i) - mempunyai andil dalam ijtihad juga.

SOAL 17:
Apakah tidak sah taqlid seseorang yang mengikuti selain a’lam karena ia menduga bahwa a’lam tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk ditaqlidi?

JAWAB:
Berdasarkan ihtiyâth, tidak diperbolehkan bertaqlid kepada selain a’lam dalam masalah-masalah yang diperselisihkan (khilafiyah), hanya karena didasari dugaan bahwa yang a’lam tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan.

SOAL 18:
Jika telah dilakukan identifikasi terhadap sejumlah ulama bahwa mereka sebagai yang a’lam dalam masalah-masalah tertentu, sedemikian rupa sehingga masing-masing merupakan a’lam dalam masalah yang berbeda, maka apakah diperbolehkan merujuk kepada mereka, ataukah tidak?

JAWAB:
Tidak ada masalah dalam bertaqlid secara terpisah-pisah (tab’idh), bahkan apabila setiap dari mereka merupakan a’lam dalam masalah tertentu yang ia taqlidi, maka wajib berdasarkan ihtiyâth, bertaqlid secara terpisah (tab’idh) jika fatwa-fatwa mereka berbeda dalam masalah itu.

SOAL 19:
Apakah diperbolehkan bertaqlid kepada selain a’lam meski ada yang a’lam?

JAWAB:
Tidak ada masalah merujuk kepada selain a’lam dalam masalah-masalah yang mana fatwanya tidak bertentangan dengan fatwa yang a’lam.

SOAL 20:
Apa pendapat Anda tentang ke-a’lam-an seorang marja' taqlid? Dalil apakah yang mendasari pendapat Anda itu?

JAWAB:
Jika fuqaha yang memenuhi syarat-syarat berfatwa berjumlah lebih dari satu dan mereka berbeda dalam fatwa, maka wajib, berdasarkan ihtiyâth, atas mukallaf yang bukan mujtahid bertaqlid kepada yang a’lam, kecuali bila fatwanya bertentangan dengan ihtiyâth (kehati-hatian), dan fatwa selain a’lam sesuai dengannya (ihtiyâth).

Adapun dalil yang mendasarinya adalah praktek orang-orang berakal (binâ’ al-‘uqala) dan hukum akal (hukm al-‘aql) karena perkaranya berkisar antara penentuan (ta’yin) dan pilihan (takhyir).

SOAL 21:
Berkenaan dengan taqlid, kepada siapakah kita wajib bertaqlid?

JAWAB:
Wajib bertaqlid kepada mujtahid yang memenuhi syarat-syarat berfatwa (iftâ’) dan kemarja’an (marja’iyyah). Hendaklah ia seorang yang a’lam, berdasarkan ihtiyâth.

SOAL 22:
Bolehkah bertaqlid untuk pertama kali (taqlid ibtida’i) dengan mengikuti seorang yang telah wafat?

JAWAB:
Hendaknya tidak meninggalkan ihtiyâth dalam bertaqlid kepada mujtahid yang masih hidup dan a’lam bagi orang yang akan bertaqlid untuk pertama kali (taqlid ibtida’i).

SOAL 23:
Apakah taqlid (taqlid ibtida’i) kepada mujtahid yang telah wafat untuk pertama kali harus berlandaskan pada taqlid kepada mujtahid yang masih hidup ataukah tidak?

JAWAB:
Diperbolehkannya taqlid untuk pertama kali (taqlid ibtida’i) kepada mujtahid yang telah wafat atau tetap bertaqlid kepada mujtahid yang telah wafat tergantung pada pendapat mujtahid yang masih hidup dan a’lam.


CARA-CARA PEMBUKTIAN IJTIHAD, A’LAMIYAH DAN MENDAPATKAN FATWA
SOAL 24:
Setelah membuktikan kelayakan seorang mujtahid berdasarkan kesaksian dua orang yang adil, apakah wajib menanyakan hal itu kepada orang lain?

JAWAB:
Mengandalkan kesaksian dua orang adil dari kalangan para ahli tentang kelayakan mujtahid tertentu yang memenuhi syarat-syarat untuk ditaqlidi adalah sah, dan tidak wajib menanyakannya kepada orang lain.

SOAL 25:
Cara-cara apakah yang bisa digunakan untuk memilih marja’ dan memperoleh fatwanya?

JAWAB:
Membuktikan ke-mujtahid-an dan ke-a’lam-an seorang marja’ taqlid harus dilakukan dengan cara menguji, memperoleh kepastian, meskipun dari opini umum yang membuahkan kepastian, kemantapan dan kesaksian dua orang yang adil dari kalangan para ahli. Sedangkan cara memperoleh fatwa dari seorang marja’ taqlid ialah dengan mendengar darinya, nukilan dua atau satu orang yang adil, bahkan nukilan dari satu orang yang terpercaya (tsiqah) yang ucapannya menimbulkan kemantapan dan dengan merujuk ke buku fatwa (risâlah 'amaliyah) yang bebas dari kesalahan.

SOAL 26:
Sahkah mewakilkan (tawkil) pemilihan marja’ kepada seseorang, seperti seorang anak yang mewakilkan kepada ayah, atau murid kepada gurunya?
JAWAB:
Jika yang dimaksud dengan perwakilan (wikâlah) adalah menyerahkan tugas memeriksa tentang mujtahid yang memenuhi syarat-syarat kepada ayah, guru, pendidik, pengasuh, atau lainnya, maka hal itu tidak ada masalah. Pendapat mereka dalam masalah ini merupakan hujjah (alasan) dan diakui secara syar’i jika membuahkan kepastian atau kemantapan, atau memenuhi syarat-syarat sebagai bukti (bayyinah) dan kesaksian (syahadah).

SOAL 27:
Saya telah bertanya tentang pribadi yang a’lam kepada sejumlah mujtahid dan dijawab, bahwa merujuk kepada si fulan (semoga Allah meninggikan derajatnya) dapat membebaskan saya dari tanggungan (mubri’ li al-dzimmah). Bolehkah saya berpegang pada ucapan mereka, padahal saya tidak mengetahui ke-a’lam-annya, atau hanya menduga, atau justru meyakini dia bukan yang a’lam, karena ada orang lain yang punya bukti (bayyinah) serupa, misalnya.

JAWAB:
Jika telah ada bukti syar’i tentang ke-a’lam-an seorang mujtahid yang memenuhi seluruh syarat untuk berfatwa (ifta’) dan selama belum diketahui adanya bukti yang menentang maka ia menjadi alasan (hujjah) syar’i yang boleh dipegangi, dan tidak disyaratkan memperoleh kepastian atau kemantapan, oleh sebab itu tidak perlu meneliti kesaksian-kesaksian yang menentangnya.

SOAL 28:
Apakah seseorang, yang tidak mempunyai izin resmi (ijazah), dan terkadang melakukan kesalahan dan menyampaikan hukum secara keliru, diperbolehkan menjawab pertanyaan tentang hukum-hukum syariah? Bagaimana apabila ia menyampaikannya dengan membaca buku fatwa (risâlah 'amaliyah)?

JAWAB:
Tidak disyaratkan adanya ijazah dalam menyampaikan fatwa mujtahid dan menerangkan hukum-hukum syariah, namun tidak dibenarkan menjalankan perbuatan ini dengan salah dan keliru. Seandainya ia keliru ketika menyampaikan suatu masalah lalu sadar, maka wajib atasnya memberitahukan kesalahan tersebut kepada orang yang pernah mendengarnya. Dan bagaimanapun juga, seorang pendengar tidak diperbolehkan melaksanakan fatwa melalui penyampaian dari seorang penukil jika belum mantap akan kebenaran ucapan dan penyampaiannya.

‘UDUL (BERPINDAH-TAQLID)
SOAL 29:
Kami telah mendapatkan izin dari mujtahid yang bukan a’lam untuk tetap bertaqlid kepada mujtahid yang sudah wafat. Jika disyaratkan izin dari yang a’lam dalam masalah tersebut, maka wajibkah berpindah ('udul) kepada yang a’lam dan mendapatkan izin untuk tetap bertaqlid kepada mujtahid yang sudah wafat?

JAWAB:
Apabila fatwa yang bukan a’lam sesuai dengan fatwa yang a’lam, maka tidak ada masalah mengikutinya, dan tidak perlu berpindah ('udul) kepada yang a’lam.

SOAL 30:
Apakah berpindah-taqlid dari salah satu fatwa Imam Khomaini ra wajib merujuk lebih dahulu kepada fatwa mujtahid yang mengizinkan untuk tetap bertaqlid kepada mujtahid yang sudah wafat? Ataukah juga boleh merujuk kepada mujtahid-mujtahid lain?

JAWAB:
Wajib merujuk dalam masalah tersebut kepada mujtahid yang darinya anda telah meminta izin untuk tetap bertaqlid kepada mujtahid yang telah wafat.

SOAL 31:
Bolehkah mengganti marja' taqlid (berpindah-taqlid)?

JAWAB:
Tidak dibenarkan berdasarkan ihtiyâth wajib untuk melakukan ‘udul (berpindah-taqlid) dari seorang mujtahid yang hidup kepada mujtahid hidup yang lainnya, kecuali kepada mujtahid yang a’lam atau memiliki kemungkinan a’lam.

SOAL 32:
Saya adalah pemuda yang taat, sebelum menjadi mukallaf saya bertaqlid kepada Imam Khomaini ra tanpa bukti syar’i, namun hanya berdasarkan keyakinan bahwa bertaqlid kepada Imam Khomaini Qs dapat membebaskan beban (dzimmah). Dan setelah selang beberapa waktu kemudian, saya berpindah-taqlid kepada marja’ lain, namun perpindahan itu tidak benar. Setelah marja’ tersebut wafat, saya berpindah-taqlid kepada Anda. Apa hukum taqlid saya kepada marja’ tersebut)? Apa hukum amal perbuatan saya khususnya pada masa itu? Apa tugas (taklif) saya masa kini?

JAWAB:
Amal-amal Anda dahulu yang didasari pada taqlid kepada almarhum Imam Khomaini pada masa hidupnya yang diberkati dan setelah wafatnya (baqa’) dengan tetap bertaqlid kepadanya dihukumi sah. Adapun yang didasari pada taqlid kepada selainnya, bila sesuai dengan fatwa-fatwa orang yang dahulu wajib ditaqlidi, atau sesuai dengan fatwa orang yang kini wajib Anda taqlidi, hukumnya sah dan dianggap cukup. Jika tidak, Anda wajib menambal perbuatan-perbuatan terdahulu. Kini Anda dapat memilih tetap bertaqlid kepada marja’ yang telah wafat atau berpindah-taqlid kepada orang yang Anda anggap –berdasarkan norma-norma syar’i- layak menjadi rujukan dalam taqlid.

TETAP BERTAQLID KEPADA MAYIT
SOAL 33:
Salah seorang bertaqlid kepada marja’ tertentu setelah wafat Imam Khomaini qs dan kini hendak bertaqlid kepada Imam Khomaini ra lagi. Bolehkah?

JAWAB:
Berpindah-taqlid dari mujtahid hidup yang memenuhi syarat-syarat untuk di-taqlidi kepada mujtahid yang telah wafat, berdasarkan ihtiyâth, tidak diperbolehkan, namun apabila mujtahid yang hidup tidak memenuhi syarat-syarat maka perpindahan ('udul) kepadanya tidak sah (batal), dan mukallaf masih tetap sebagai muqallid mujtahid yang telah wafat dan ia boleh memilih melanjutkan taqlid kepadanya atau berpindah kepada mujtahid hidup yang boleh ditaqlidi.

SOAL 34:
Saya telah mencapai usia taklif pada masa hidup Imam Khomaini Qs dan bertaqlid padanya dalam sebagian hukum, namun masalah taqlid bagi saya belum jelas ketika itu. Apa taklif saya sekarang?

JAWAB:
Jika Anda melakukan amal-amal ibadah dan lainnya pada masa hidup Imam Khomaini qs sesuai fatwa-fatwanya dan Anda menjadi muqallid-nya, meskipun dalam sebagian hukum, maka Anda diperbolehkan untuk tetap bertaqlid kepadanya dalam semua masalah.


SOAL 35:
Apa hukum tetap melanjutkan taqlid (baqa’) kepada mujtahid yang sudah wafat jika ia lebih unggul dalam ilmu (a’lam)?

JAWAB:
Bagaimanapun juga boleh melanjutkan taqlid kepada mujtahid yang sudah wafat. Namun tidak sepatutnya meninggalkan sikap hati-hati (ihtiyâth) dengan tetap bertaqlid kepada mujtahid a’lam yang telah wafat.

SOAL 36:
Apakah disyaratkan meminta izin kepada mujtahid a’lam untuk tetap bertaqlid kepada mujtahid yang telah wafat, ataukah boleh meminta izin kepada mujtahid manapun?

JAWAB:
Tidak wajib bertaqlid kepada a’lam dalam masalah bolehnya tetap bertaqlid kepada mujtahid yang telah wafat, dengan catatan fuqaha (para juris) bersepakat dalam masalah ini.

SOAL 37:
Seseorang bertaqlid kepada almarhum Imam Khomaini qs dan setelah wafatnya ia bertaqlid kepada mujtahid lain dalam sebagian masalah, lalu mujtahid itu wafat. Apa taklifnya?

JAWAB:
Sebagaimana sebelumnya, ia diperbolehkan untuk tetap bertaqlid kepada marja’ pertama. Dalam masalah-masalah yang mana ia berpindah-taqlid kepada marja’ yang kedua ia dapat memilih untuk tetap bertaqlid kepadanya, atau berpindah-taqlid kepada mujtahid yang masih hidup.

SOAL 38:
Setelah Imam Khomaini Qs wafat saya menyangka bahwa, berdasarkan fatwanya, tidak diperbolehkan tetap bertaqlid kepada mujtahid yang telah wafat. Karena itulah, saya memilih bertaqlid kepada mujtahid yang masih hidup. Bolehkah saya kembali bertaqlid kepada Imam Khomaini Qs lagi?

JAWAB:
Anda tidak diperbolehkan untuk kembali bertaqlid kepadanya setelah berpindah-taqlid kepada mujtahid yang masih hidup dalam seluruh masalah fikih (al-masâ’il al-fiqhiyah), Kecuali apabila fatwa mujtahid yang hidup tersebut mewajibkan untuk tetap bertaqlid kepada mujtahid a’lam yang telah wafat, dan Anda yakin bahwa almarhum Imam Khomaini Qs adalah a’lam daripada mujtahid yang hidup, maka dalam konteks demikian Anda wajib tetap bertaqlid kepada Imam.

SOAL 39:
Apakah saya boleh bertaqlid kepada mujtahid yang telah wafat dalam suatu masalah dan kepada mujtahid yang masih hidup dan a’lam dalam masalah yang sama namun pada waktu yang lain, meskipun mereka berbeda fatwa dalam masalah tersebut?

JAWAB:
Boleh tetap bertaqlid kepada mujtahid yang telah wafat, namun setelah berpindah-taqlid darinya kepada mujtahid yang masih hidup, maka tidak diperbolehkan bertaqlid lagi kepada yang telah wafat.

SOAL 40:
Apakah wajib atas para muqallid Imam Khomaini Qs dan mereka yang hendak tetap bertaqlid kepadanya meminta izin kepada salah satu marja’ yang masih hidup? Ataukah dalam masalah ini cukup kesepakatan sebagian besar para marja’ dan ulama terkemuka tentang diperbolehkannya tetap bertaqlid kepada mujtahid yang telah wafat ?

JAWAB:
Berdasarkan kesepakatan para ulama masa kini tentang diperbolehkannya tetap bertaqlid kepada mujtahid yang telah wafat, diperbolehkan tetap bertaqlid kepada almarhum Imam Khomaini Qs, dan tidak perlu merujuk kepada mujtahid tertentu mengenai masalah tersebut.

SOAL 41:
Apa pendapat Anda tentang masalah baqa’ (tetap bertaqlid) kepada mujtahid yang telah wafat dalam masalah yang pernah dan yang belum pernah dilakukan oleh mukallaf?

JAWAB:
Tetap bertaqlid kepada mujtahid yang sudah wafat dalam semua masalah termasuk yang tidak pernah dilakukan hukumnya boleh (jâ’iz) dan memadai (mujzi).

SOAL 42:
Apakah hukum diperbolehkannya tetap bertaqlid pada mujtahid yang sudah wafat, berlaku atas orang-orang yang mengamalkan fatwa-fatwanya, meskipun mereka belum menjadi mukallaf pada masa hidup mujtahid tersebut?

JAWAB:
Tidak ada masalah untuk tetap bertaqlid kepada mujtahid yang telah wafat jika diasumsikan mereka telah bertaqlid, meskipun belum mencapai usia baligh pada masa hidup mujtahid tersebut.

SOAL 43:
Kami termasuk para muqallid Imam Khomaini Qs dan tetap bertaqlid kepada beliau setelah wafatnya. Mungkin kami menghadapi masalah-masalah syar’i yang baru, apalagi kita kini hidup di era perlawanan terhadap para thaghut dan arogansi global, dan dalam kehidupan kami merasa perlu untuk merujuk kepada Anda dalam seluruh masalah syar’i. Karena itulah kami ingin berpindah-taqlid kepada Anda. Apakah hal itu diperbolehkan?

JAWAB:
Kalian boleh tetap bertaqlid kepada almarhum Imam Khomaini Qs, dan tidak ada sesuatu apapun saat ini yang mengharuskan Anda untuk berpindah taqlid dari beliau. Jika merasa perlu untuk mengetahui hukum syar’i dalam sebagian peristiwa-peristiwa kontemporer, untuk hal itu kalian dapat menghubungi kantor kami. Semoga Allah mensukseskan kalian dalam perbuatan-perbuatan yang diridhai-Nya.

SOAL 44:
Apakah tugas muqallid kepada seorang marja’ ketika ia dapat membuktikan ke-a’lam-an (a’lamiyah) marja’ yang lain?

JAWAB:
Wajib, berdasarkan prinsip ihtiyâth berpindah-taqlid -dari marja’ yang sedang ia taqlidi kepada marja’ yang telah ia buktikan ke-a’lam-annya- dalam masalah-masalah yang mana fatwa marja’ taqlid-nya yang sekarang berbeda dengan fatwa marja’ a’lam.





SOAL 45:
  1. Dalam kondisi apakah seorang muqallid diperbolehkan berpindah-taqlid ('udul) dari marja’-nya?
  2. Apakah boleh berpindah-taqlid kepada mujtahid yang tidak a’lam jika fatwa-fatwa marja’ yang a’lam tidak selaras dengan zaman, atau sulit melaksanannya?

JAWAB:
a. Wajib berdasarkan ihtiyâth berpindah taqlid apabila marja’ kedua adalah yang a’lam (lebih unggul secara keilmuan) dari marja’ pertama dan fatwa marja’ kedua dalam masalah ini bertentangan dengan fatwa marja’ yang pertama. Adapun jika keduanya sama secara keilmuan maka berdasarkan ihtiyâth tidak diperbolehkan.
b. Tidak diperbolehkan berpindah-taqlid dari a’lam kepada mujtahid lain hanya karena menduga bahwa fatwa-fatwa marja’ yang wajib ditaqlidinya tidak sesuai dengan kondisi sekitar, atau sulit dilaksanakan.

LAIN-LAIN SEPUTAR TAQLID

SOAL 46:
Apa yang dimaksud dengan jâhil muqashshir?

JAWAB:
Jâhil muqashshir adalah orang yang sadar akan kebodohannya dan mengetahui cara-cara yang bisa melenyapkannya (kebodohan), namun dia tidak menempuh cara-cara tersebut.

SOAL 47:
Siapakah jâhil qâshir itu?

JAWAB:
Jâhil qâshir adalah orang yang tidak menyadari kebodohannya sama sekali, atau orang yang tidak memiliki jalan untuk melenyapkan kebodohannya.

SOAL 48:
Apa arti ihtiyâth wajib?

JAWAB:
Artinya, wajib melakukan atau wajib meninggalkan suatu perbuatan atas dasar kehati-hatian?

SOAL 49:
Apakah kata fiihi isykâl (bermasalah) yang tertera dalam fatwa-fatwa menunjukkan hukum haram?

JAWAB:
Berbeda-beda sesuai konteksnya. Jika kata tersebut digunakan dalam konteks jawâz (diperbolehkannya suatu perbuatan), maka pada tingkat praktek meniscayakan hukum haram.

SOAL 50:
Apakah redaksi berikut: “fihi isykâl” (ada masalah), “musykil” (bermasalah),” la yakhlu min isykâl” (tidak lepas dari masalah), dan “la iyskala fiihi” (tidak ada masalah) merupakan fatwa ataukah ihtiyâth?

JAWAB:
Semuanya bermakna ihtiyâth kecuali redaksi isykâl (la isykâla fihi) yang berarti fatwa.

SOAL 51:
Apa perbedaan antara “tidak diperbolehkan” ('adamul-jawâz) dan haram?

JAWAB:
Dalam konteks pelaksanaan, keduanya tidak berbeda.

MARJA’IYAH DAN KEPEMIMPINAN
SOAL 52:

No comments:

Post a Comment