Thursday, March 29, 2012

Keseimbangan yang Arif dalam Kepribadian Sayid Syarif Radhi


"Syarif Radhi adalah seorang Syiah yang mempercayai mazhab Ahlul Bait. Dia berupaya menyebarkan kebaikan-kebaikan mereka, menceritakan sejarah mereka, dan merasa sakit seperti yang mereka rasakan. Namun demikian, keyakinannya itu tidak mencegahnya untuk menghormati dan memuliakan yang lain."

Sebelumnya perlu dijelaskan bahwa yang di maksud dengan keseimbangan di sini bukan seperti yang tebersit dalam benak kita pada pandangan pertama, yaitu ada kesamaan di antara dua sisi, dan lain sebagainya. Akan tetapi yang dimaksud dengan keseimbangan di sini adalah memenuhi realitas secara adil dengan cara menempatkan sesuatu pada tempatnya tanpa menimbulkan ketidakadilan terhadap bagian-bagiannya. Pemenuhan tersebut merupakan kondisi terbaik untuk kepentingan kesempurnaan. Mungkin inilah yang disebut dengan "keseimbangan yang arif" atau "keseimbangan yang adil." Sebagai contoh, kalau kita amati sisi naluri manusia, akan kita temukan bahwa nalurinya memerlukan kepuasan tertentu. Naluri manusia terkadang menuntut kepuasan lebih dari yang dibenarkan, sehingga berdampak kepada kepuasan naluri-naluri yang lain. Apabila ia diberi kepuasan melebihi tuntutan realitas dan tujuannya, berarti keseimbangan yang diperlukan untuk memuaskan naluri sudah terganggu. Keseimbangan bukan berarti harus memuaskan satu naluri sama dengan kepuasan yang diberikan kepada naluri-naluri yang lain.

Apabila konsep di atas sudah dipahami, dapat dikatakan bahwa secara global konsep ini tidak membutuhkan inferensi, karena teori penciptaan alam pasti dibuat dengan kebijaksanaan dan ketelitian. Keberadaan syariat pasti mengandung hikmah hukum yang seiring sejalan dengan hikmah alam. Inilah salah satu teori al-Quran paling jelas, yang berkali-kali diterangkan dan diisyaratkan dalam berbagai ayatnya. "Bijaksana" juga merupakan salah satu sifat yang ditegaskan oleh al-Quran kepada Allah Swt setelah menampilkan tanda, menyebutkan nikmat, menetapkan hukum, atau menjelaskan aspek-aspek penciptaan, dan lain sebagainya.

Berkenaan dengan manusia, al-Quran telah menentukan tujuan penciptaannya dengan sangat jelas tatkala Allah Swt berfirman, "Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku."[1] Ayat ini menjelaskan bahwa manusia akan sempurna manakala sifat penghambaan kepada Allah Swt sebagai individu mengakar dalam dirinya. Puncak kesempurnaan individu tercermin pada diri seorang nabi, dan sifat tertinggi yang dianugerahkan kepada seorang nabi adalah "sebaik-baik hamba". Allah Swt berfirman, "Dan kepada Dawud Kami karuniakan (anak bernama) Sulaiman; dia adalah sebaik-baik hamba. Sungguh, dia sangat taat (kepada Allah).
"[2]

Ketika seorang mukmin bersaksi kepada Rasulullah Saw sang penghulu para rasul, pertama-tama ia mengutarakan penghambaan seraya mengatakan, "Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya." Ini mencerminkan manusia sebagai sebuah masyarakat, dimana hamba-hamba Allah yang saleh dan para nabi sebagai pemimpinnya bekerja untuk membangun masyarakat yang taat beribadah. "Dan sungguh Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah dan jauhilah tagut."[3]Dengan demikian, perjalanan hidup manusia yang benar, seimbang dan integral berada dalam dua jalur: jalur ibadah dan jalur menjauhi tagut. Kedua jalur itu merupakan output dari kondisi penghambaan yang total kepada Allah Swt.

Di sini kita dihadapkan pada gambaran yang lebih jelas dan lebih detil tentang penghambaan yang tercermin dalam ibadah dan menjauhi tagut. Jadi, tujuannya adalah membentuk kepribadian seimbang yang memuaskan syahwatnya, tapi tetap sesuai dengan jalur yang telah digariskan Allah, aktif membimbing orang lain, menggunakan semua masalah untuk menyampaikan kalimat kebenaran dan menyebarkan perilaku terpuji, terbuka kepada orang lain seraya tetap memelihara karakteristik dan keyakinan kepribadian tersebut.

Karakteristik itulah yang kita lihat secara sempurna dalam kepribadian Sayid Syarif Radhi. Peneliti mana pun yang mengkaji kepribadian cendekiawan, sastrawan, dan penyair ulung, Sayid Syarif Radhi, akan menemukan fenomena "keseimbangan yang arif" dalam dirinya secara menakjubkan. Karakteristik tersebut menjadikannya layak dijadikan sebagai tokoh besar bagi berbagai generasi.

Riwayat Hidup dan Kondisi Politik
Sayid Syarif Radhi lahir pada awal babak kedua abad keempat Hijriyah di Baghdad, pusat kekuasaan khilafah Daulah Abbasiyah yang sudah terhuyung-huyung di bawah kendali orang-orang Dailam dan Turki, di saat keluarga Syiah mengontrol sebagian besar dunia Islam, keluarga Buwaih di Irak dan Iran, Dinasti Hamdani di Syam, Dinasti Fatimi di Mesir, marga Alawi di Afrika Utara, dan lain sebagainya.

Keluarga Sayid Syarif Radhi termasuk keluarga bangsawan Hasyimi. Ayahnya bergelar al-Thahir Dzu al-Manaqib (seorang yang suci dan memiliki kedudukan terhormat), termasuk tokoh yang luar biasa dalam bidang keilmuan, kemasyarakatan dan politik. Karena hubungan yang tidak baik dengan ‘Adud al-Daula al-Buwaihi, ayah dan paman Sayyid Syarif Radhi ditangkap, harta keduanya disita, lalu mereka diasingkan di sebuah penjara di Paris dari tahun 369 H hingga tahun 376 H. Meskipun tindakan itu sangat berpotensi menggerakkan massa untuk menentang ‘Adud al-Daula, namun perbaikan dan pembangunan yang dilakukannya secara besar-besaran membuat lawan-lawannya bungkam.

Setelah ‘Adud al-Daula wafat pada tahun 372, dia digantikan oleh putranya, Shamsham al-Daula, yang meneruskan kebijakan represif sang ayah. Namun saudara laki-lakinya, Syaraf al-Daula, yang menetap di Karman berinisiatif membebaskan ayah Sayid Syarif Radhi. Tentu saja tindakan itu membuat murka Shamsham, sampai akhirnya pada tahun 376 H. terjadi peperangan di antara keduanya. Syaraf al-Daula memenangkan peperangan dan berhasil menaklukkan Baghdad. Selepas itu, ayah Sayid Syarif Radhi pulang kepada keluarganya di Baghdad.

Ibu Sayid Syarif Radhi bernama Fatimah, seorang wanita terhormat keturunan al-Nashir al-Kabir sang penakluk Mazandaran dan Gilan (Iran). Dia mempunyai status sosial yang tinggi dan mendapatkan kedudukan terhormat di hadapan almarhum Syaikh Mufid yang mengarang sebuah buku untuknya berjudul Ahkam al-Nisa'.

Fatimah sangat memperhatikan kedua putranya, Radhi dan Murtadha, meskipun menderita ditinggal suami. Dia mendatangkan guru-guru besar untuk kedua putranya sehingga mereka tumbuh menjadi orang-orang terpelajar yang pantas dibanggakan dalam sejarah dan memperoleh status sosial yang terhormat. Sayid Radhi sendiri digelari Naqib al-Asyraf pada usia dua puluh satu tahun, kemudian mendapatkan gelar al-Amir al-‘Amm dan menjadi wakil khalifah yang menangani urusan jemaah haji. Setelah itu, Sayid Radhi diangkat sebagai kepada Dewan al-Mazhalim, sebuah jabatan tinggi yang bertugas mendaftar berbagai persiapan dan kekuatan. Menakjubkan sekali, Sayid Radhi diberi jabatan tersebut, padahal saat itu ada tokoh seperti Syaikh Mufid dan Sayyid Murtadha yang kedudukan ilmiahnya sangat tinggi hingga mencapai level sebagai ulama Syiah terbesar sepanjang sejarah.

Sayid Syarif Radhi telah menulis sembilan belas buku, dan sejauh ini sudah tujuh buku yang dicetak. Spesialisasinya adalah bidang al-Quran, hadits dan sastra. Dia mendirikan madrasah bernama Darul Ilmi yang mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan. Boleh jadi inilah madrasah pertama di kelasnya. Saudara laki-lakinya, Sayyid Murtadha, juga mendirikan madrasah. Syaikh al-Thusi dan Qadhi Abdul Aziz bin al-Baraj, dua ulama besar, adalah lulusan madrasah tersebut. Tentu saja dua sekolah ini lebih dulu ada daripada Madrasah al-Nizhamiyah, kurang lebih delapan puluh tahun, dan boleh jadi al-Nizhamiyah mencontoh keduanya.

Puluhan mahasiswa Syarif Radhi diketahui menjadi ulama dan tokoh-tokoh terkemuka. Bukunya yang berjudul Nahjul Balaghah, berisi kumpulan petuah-petuah Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib dianggap sebagai karyanya yang paling monumental. Putri dari saudara laki-lakinya, Sayid Murtadha, turut meriwayatkan buku tersebut setelah mempelajarinya langsung di bawah asuhannya.

Sayid Syarif Radhi wafat pada tahun 406 H pada usia empat puluh tujuh tahun, dengan meninggalkan warisan ilmu, sastra, dan syair yang tak ternilai harganya, meskipun ada sementara orang yang tidak menghargainya karena motif-motif fanatisme mazhab, ilmu, atau sastra.

Dalam artikel ini, kita akan menyoroti fenomena umum, yaitu "keseimbangan yang arif" karena itulah yang tampak dengan jelas bagi setiap orang yang mengkaji kehidupannya dan mengeksplorasi psikologinya melalui syair yang sudah sampai pada level puncak, dan karya-karyanya yang sudah dicetak dan sampai kepada kita. Sayang, masih banyak karyanya yang masih belum tercetak, meskipun ada beberapa di antaranya yang sampai kepada kita dalam keadaan tidak utuh. Bukunya yang sangat mengagumkan, Haqa'iq al-Ta'wil, sampai kepada kita, jilid kelimanya saja, berisi tafsir surah Alu ‘Imran dan al-Nisa'. Dalam hal ini Sayid Syarif Radhi melanggar pakem yang sudah dikenal dalam kaidah sastra, hukum, atau logika. Menurutnya, enam ayat pertama surah Alu ‘Imran termasuk ayat-ayat muhkamat dan dia fokus pada tiga puluh satu ayatnya.

Membanggakan dan Membela Suatu Mazhab seraya Tetap Terbuka kepada Mazhab Lain
Kenyataannya antara dua hal itu tidak kontradiksi, meskipun sementara orang beranggapan sebaliknya, tapi fakta menegaskan dua hal itu bisa seiring sejalan. Adalah normal bila seseorang membanggakan apa yang diyakininya dan dianggapnya benar sebagai landasan beribadah kepada Allah. Namun, itu bukan berarti menolak yang lain, apalagi sampai menghina dan mengafirkannya.

Syarif Radhi adalah seorang Syiah yang mempercayai mazhab Ahlul Bait. Dia berupaya menyebarkan kebaikan-kebaikan mereka, menceritakan sejarah mereka, dan merasa sakit seperti yang mereka rasakan. Namun demikian, keyakinannya itu tidak mencegahnya untuk menghormati dan memuliakan yang lain.

Mungkin ada benarnya pendapat yang mengatakan bahwa minatnya dalam menjelaskan karakteristik retorika al-Quran dan kefasihan Nabi Saw merupakan sanggahan atas berbagai kebohongan yang dialamatkan kepada Syiah, atau klaim bahwa Syiah tidak memperhatikan al-Quran dan hadits. Oleh karena itu, dapat kita pahami bahwa Syarif Radhi adalah seorang penulis dan ilmuwan besar, yang senantiasa terjaga untuk memelihara persatuan Islam, yaitu dengan akhlak yang mulia.[4]

Dengan semua itu, objektivitas dan intelektualitasnya semakin mengangkat kepribadiannya dalam bermazhab. Dia tertarik mengkaji mazhab Imam Syafi‘i secara utuh. Seperti kita ketahui, anak didiknya, Syaikh al-Thusi, juga tertarik mengkaji Imam Syafi‘i dan menuangkan hasil kajiannya dalam buku yang berjudul al-Khilaf. Bahkan, al-Subki—semoga Allah merahmatinya—menilai Syaikh al-Thusi sebagai ulama mazhab Syafi‘iyah.[5]Tampaknya toleransi menjadi ciri umum kala itu. Sebagai bukti lain, Sayyid Murtadha mengarang buku berjudul al-Nashiriyat untuk memenuhi permintaan kakeknya, Nashir, yang bermazhab Zaidiyah, dengan fokus pada poin-poin persamaan, dan boleh jadi didukung oleh pendapat lain. Sebagai contoh, Sayyid Murtadha mengatakan, "Ada alasan kuat dalam diri saya—awalnya sekilas kemudian menjadi bahan renungan—untuk membenarkan mazhab Syafi‘i."[6]

Indah sekali melihat hubungan antara Syarif Radhi dan Abu Ishaq al-Shabi'i yang begitu dekat dan intim, padahal agama dan umur mereka berbeda. Saat Abu Ishaq meninggal, Sayyid Murtadha meratapinya dengan sebuah syair yang mengagumkan. Di bagian awal syairnya dia mengatakan:

Tahukah kamu orang-orang yang membawa tongkat? Tahukah kamu bagaimana cahaya pertemanan padam?

Aku tidak tahu sebelum kamu bersemayam di dalam tanah bahwa tanah lebih tinggi daripada gunung

Antara Watak Penyair dan Etika serta Kesucian Para Ulama

Memang benar bahwa watak dan imajinasi para penyair membuat mereka cenderung kepada hal-hal berbau romantis, cinta, dan keindahan, bahkan pada saat paling suci, yaitu Haji. Dalam sumber-sumber kami, Hijaz adalah tempat tersuci, tetapi bagi Syarif Radhi tidak lebih dari gambaran puitis dan tidak mencerminkan kesucian dan karakter yang mulia. Namun demikian, dia memenuhi syairnya dengan nasihat dan landasan pendidikan.

Itulah yang terlihat pada sebagian besar ulama, termasuk orang-orang arif dan orang-orang saleh yang telah mencapai derajat makrifat (rabbani). Terkadang mereka mengungkapkan kebingungan mereka dengan syair karena kecintaan kepada kekasih sejati. Seseorang pasti merasakan keindahan cinta yang murni, semangat yang tinggi dan terkesan ketika menyelami syair-syair Syarif Radhi tentang Hijaz dan puisi cintanya yang orisinal, baik yang bercorak pedalaman maupun bercorak perkotaan.

Selama berabad-abad, bait-bait syair berikut masih bergema, menggambarkan kondisi perpisahan dengan rumah tercinta:

Aku tinggal di rumah mereka. Puing-puingnya dijarah meskipun rapuh.

Aku menangis hingga kafilah berteriak-teriak karena lelah meredakan tangisanku dan terus mencelaku.

Mataku berpaling, lalu sejak puing-puing bersembunyi dariku, hati pun turut berpaling

Syarif Radhi mulai berimajinasi seraya mengatakan:

Orang yang banyak tidur di atas bantalnya tidak akan tahu bagaimana aku dibuat gelisah oleh bantalku

Seandainya tidak memperturutkan keinginanmu, tentu aku tidak akan hina. Keagunganku meminjamkan kedermawanan hatiku

Atau dia mengatakan:

Aku menangis, dia tersenyum, dan kegelapan ada di antara kita, sampai dia menerangi mulutnya dan air mataku

Jika engkau merasa malu menegur bulan, ia akan tetap terbenam dan tak kunjung terbit

Aku pasti balas berpaling darimu seperti bulan, jika hatimu tidak ada di antara tulang-tulang rusukku.

Tapi, kesucian juga memenuhi syair-syairnya, sehingga perjalanannya menjadi seimbang. Dia mengatakan dalam syairnya:

Kesucian diri seperti yang dikehendaki Allah membuatku senang, meskipun di awal dan pertengahannya menyakitkan.

Dalam bait syair yang lain dia mengatakan:

Ketika sedih karena orang yang kucintai, benteng penghalang membuatku bosan

Tapi kesucian mampu mencegahku

Dalam bait yang lain:

Ekorku menjaga kesucian dari keburukan, seolah-olah di bawahnya ada tali dan hijab

Dalam bait yang lain:

Aku telah diajarkan untuk menyucikan dosaku sejak pagi dan menjaga kesucian adalah pakaianku

Banyak sekali syairnya yang memotivasi untuk semangat beramal, berperilaku baik, dan berkemauan keras, antara lain dia mengatakan:

Seorang pemuda akan beroleh kehormatan diri dari waktu yang dijalaninya. Kesulitan akan menghampiri seseorang sesuai dengan kapasitasnya

Dalam syair yang lain, dia mengatakan:

Kefakiran bukanlah aib, meskipun auratnya terbuka. Aib adalah memiliki harta dengan cara yang tidak terpuji

Dia mengatakan:

Orang pemberani lagi sombong pasti binasa. Dia pasti mati dalam kehinaan

Dia mengatakan:

Orang yang bergantung kepada waktu ibarat orang yang tidur di ujung bayang-bayang, sementara bayang-bayang berlalu dengan cepat

Dia mengatakan:

Kemuliaan digapai dengan sungguh-sungguh, bukan hanya sekadar berusaha

Keberuntungan akan terus berjalan meninggalkan orang-orang, meskipun mereka berhenti

Dia mengatakan:

Harta yang aku kumpulkan hanyalah ganimah bagi orang yang hidup sepeninggalku dan tuduhan bagi Penciptaku

Masih banyak syair-syair lain yang menunjukkan kepada kita bahwa Sayid Syarif Radhi adalah orang yang zuhud dan pendidik yang arif. Memang banyak parameter keseimbangan dalam pribadi agung ini, seperti keseimbangan yang telah kita lihat antara pedalaman dan perkotaan, antara menahan penderitaan dan keluhuran jiwa, antara menghargai leluhur dan keluarga dan mengesampingkan kerabat yang durhaka, dan lain sebagainya. Apa yang telah dipaparkan di atas sudah lebih dari cukup.

Sebagai penutup, tentunya tulisan dan penelitian ini masih banyak kekurangan. Semoga yang lain bisa menutupi dan mudah-mudahan Allah memberkati. (IRIB Indonesia/Taqrib/SL)

[1]QS. al-Dzariyat [51]: 56.

[2]QS. Shad [38]: 30.

[3]QS. al-Nahl [16]: 36.

[4]‘Abqariyah al-Syarif al-Radhi al-Mubarak, jilid 1, hlm. 36.

[5]Thabaqah al-Syafi'iyyah al-Kubra, jilid 3, hlm. 51.

[6]Muqaddimah al-Nashiriyyat, hlm. 43.

No comments:

Post a Comment